top of page

Sejarah Indonesia

Cape Verde Si Hiu Biru Yang Menggebrak Sejarah Piala

Cape Verde, Si Hiu Biru yang Menggebrak Sejarah Piala Dunia

Charles Darwin pernah mampir ke Cape Verde. Timnasnya lolos ke Piala Dunia tak semata karena naturalisasi dan barisan diaspora namun juga karena dedikasi dan kemauan berproses.

21 Oktober 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

SUASANA Praia, ibukota Cape Verde di Pulau Santiago yang lazimnya tenang dan ritme kehidupan masyarakatnya begitu santai mendadak pecah dalam euforia pada 13 September 2025. Sekolah-sekolah dan perkantoran diliburkan seolah ada hari libur nasional karena segenap manusianya turun ke jalan. Mereka merayakan kebahagiaan tim nasionalnya ke Piala Dunia 2026.


“Hari Kemerdekaan dan 13 Januari 1991 –yang mana digelar Pemilu multipartai pertama– adalah dua hari yang simbolis yang menyatukan rakyat kami. Lolos ke Piala Dunia bisa dianggap momen menentukan ketiga bagi negara kami,” ujar direktur protokol kenegaraan José Maria Silva dikutip The Guardian, 14 Oktober 2025.


Cape Verde atau Cabo Verde menurut lidah orang lokal merupakan negeri kepulauan kecil dengan sistem republik presidensial di Afrika Barat. Usianya 30 tahun lebih muda dari Indonesia.


República de Cabo Verde nama resminya ketika merdeka dari Portugal pada 5 Juli 1975, hari di mana bendera nasional mereka pertamakali dikibarkan di Estádio da Várzea. Di stadion bersejarah di ibukota itu pula tepat 100 hari pasca-HUT ke-50 kemerdekaannya, Cape Verde mengukir sejarah untuk pertamakali lolos ke Piala Dunia.


Tim asuhan Pedro ‘Bubista’ Leitão Brito itu jadi debutan ketiga di Piala Dunia 2026 setelah Yordania dan Uzbekistan. Mereka juga sekaligus jadi negara terkecil kedua (populasi 527.326 jiwa) ikut pesta sepakbola dunia itu setelah Islandia (populasi 352.721) pada 2018 lalu.


Timnas Cape Verde resmi mengunci satu dari 9 jatah negara-negara Benua Afrika lewat kemenangan 3-0 kala menjamu Eswatini pada 13 September 2025 di Estádio da Várzea. Skuad berjuluk Tubarões Azuis alias “Si Hiu Biru” itu pun menyegel 23 poin untuk memuncaki klasemen akhir kualifikasi Piala Dunia Zona CAF (Konfederasi Afrika) Grup D dengan 23 poin dari total 10 laga dengan rekor tanpa sekalipun pernah kalah di kandang.


“Di era 2000-an kami bahkan tak punya perlengkapan yang memadai. Ini kemenangan untuk rakyat Cape Verde, baik yang di sini maupun para diasporanya. Ini juga kemenangan untuk kesatuan negeri kami,” tutur Bubista yang juga mantan bintang timnas Cape Verde kurun 1989-2005, dikutip laman resmi FIFA, 15 Oktober 2025.


Pelatih Cape Verde, Pedro Leitão Brito alias Bubista (kanan) (fifa.com)
Pelatih Cape Verde, Pedro Leitão Brito alias Bubista (kanan) (fifa.com)

Tak Sekadar Naturalisasi dan Diaspora

Seperti halnya timnas Indonesia, Cape Verde juga diperkuat banyak pemain keturunan atau diaspora. Bedanya, negeri kepulauan kecil dengan luas wilayah hanya 4.033 km² itu tidak sekadar bergantung pada proyek instan naturalisasi. Cape Verde juga memadukannya dengan kemauan untuk berproses berkelanjutan lewat kerja keras dan dedikasi para segenap insan sepakbolanya yang tak memanfaatkan panggung sepakbola demi kepentingan dan ambisi pribadi.


Warga pribumi Cape Verde termasuk rumpun Macaronesia sebagaimana kepulauan lain di lepas pantai barat Afrika macam Kepulauan Azores, Kepulauan Madeira –tempat lahirnya megabintang Cristiano Ronaldo– dan Kepulauan Selvagens yang masuk wilayah Portugal, serta Kepulauan Canarias yang masuk teritorial Spanyol. Nama Cape Verde sendiri berasal dari penyebutan bahasa Portugis yang sebuah semenanjung, Cap-Vert (berarti Tanjung Hijau), ketika penjelajah Portugis dan Genoa (Italia) mulai merambah ke kepulauan itu di pertengahan abad ke-15.


Portugis mendirikan pemukiman pertamanya pada 1462 di Ribeira Grande (kini Cidade Velha) di Pulau Santiago. Kepulauan ini sempat jadi salah satu tempat mengungsinya ribuan orang Yahudi yang terusir dari Spanyol pasca-Reconquista atau penaklukan kembali di Semenanjung Iberia (718-1492).


Naturalis Charles Darwin pernah mampir ke kepulauan itu pada awal 1832. Sosok yang mematenkan Teori Evolusi itu menumpang kapal Angkatan Laut Inggris HMS Beagle dalam rangka ekspedisi survei geologi dan ilmu alam kurun 1831-1836.


“Cape Verde jadi pemberhentian pertama Beagle di barat lepas pantai Afrika. Di sini Darwin meneliti geologi Pulau St. Jago. Ia antusias ketika menemukan bebatuan yang terdapat bekas sisa aliran lava yang pernah sampai ke lautan. Ia terduduk bahagia di atas sebuah batu putih setelah sukses membuktikan kronologi sejarah pulau itu dengan banyak bukti di sekitarnya. Lalu Beagle melanjutkan perjalanannya ke arah Brasil,” ungkap John Van Wyhe dalam Charles Darwin: The Man, His Great Voyage, and His Theory of Evolution.


Meski begitu, bukanlah bangsa Portugis yang lantas membawa sepakbola ke Cape Verde pada awal abad ke-20. Justru Inggris yang mengekspor permainan itu seiring kapal-kapal mereka makin sering wara-wiri di perairan Kepulauan Cape Verde sejak pertengahan abad ke-19 hingga kemudian mendirikan pemukiman untuk stok batu bara.


“Kapal-kapal Inggris sering melewati dan bahkan menyerang Cape Verde selama berabad-abad. Sampai akhir abad ke-19 setelah Inggris tak lagi menyerangnya, terdapat komunitas ekspatriat Inggris dan tak diragukan lagi ikut membawa sepakbola ke sana, sebagaimana komunitas ekspatriat Inggris lainnya di seluruh dunia,” tulis Stuart dan Philip Laycock dalam How Britain Brought Football to the World.


Sepakbola mulai dimainkan para ekspatriat Inggris pada 1910-an setelah kian banyak mereka datang ke Cape Verde. Utamanya di Mindelo di Pulau São Vicente, di mana EIC atau Kongsi Dagang Hindia Timur Inggris mendirikan stasiun-stasiun pengisian batu bara dan maskapai maritim Royal Mail Steam Packet Company mendirikan kantornya.


Di Mindelo pula kemudian lahirlah klub sepakbola pertamanya, Clube Sportivo Mindelense, medio 1919 meski baru diresmikan kemudian pada 25 Mei 1922. Klub yang kemudian menaungi legenda sepakbola Cape Verde, Adérito Carvalho de Sena yang namanya kemudian diabadikan jadi nama stadion berkapasitas 5.000 penonton di Mindelo, Estádio Municipal Adérito Sena.


Berturut-turut lahir pula klub-klub sepakbola di kota-kota lain, di antaranya GS Castilho pada Februari 1922, Sporting Clube da Praia di Pulau Santiago pada 5 Desember 1923, dan FC Derby pada 5 Agustus 1929.


“Meski masih minim informasi mendetail, FC Derby juga disebutkan didirikan orang-orang Inggris, mengingat di Mindelo terdapat komunitas Inggris yang besar dan berpengaruh saat itu. Kemudian FC Derby jadi salah satu klub tersukses di Cape Verde,” lanjut Stuart dan Philip Laycock.


Namun sepakbola di negeri itu berjalan lamban di bawah kolonialisme Portugis. Kejuaraan lokalnya baru eksis pada 1938. Mulai 1953 muncul pembaruan dengan Colonial Championships. Tiga tahun pascamerdeka dari Portugal, timnasnya juga baru terbentuk. Laga persahabatan internasional pertamanya dilakoni pada 29 Mei 1978, di mana Tim Hiu Biru kalah 0-1 dari Guinea-Bissau.


Kendati begitu, federasinya, FCF baru berdiri pada 1982 atau setengah abad lebih muda dari PSSI. Dan masih jauh perjalanan untuk setidaknya menorehkan catatan di peta sepakbola Afrika. Pasalnya baru pada 2013 mereka lolos ke putaran final Piala Afrika. Itupun juga setelah mendatangkan banyak pemain keturunan atau diaspora dari Eropa. Hasilnya cukup mencengangkan, mencapai babak perempatfinal setelah dihentikan Ghana, 2-0.


Cape Verde lantas terus berbenah. Mereka terus mencari para pemain diaspora di Eropa secara selektif. Terutama mereka yang sudah terbina sejak dini dalam sistem-sistem sepakbola Eropa di Portugal, Belanda, Prancis, hingga Irlandia. Tak sedikit dari mereka yang tampil di liga-liga kompetitif di Türkiye, Yunani, hingga Amerika Serikat. Salah satunya Roberto Carlos ‘Pico’ Lopes yang lahir di Irlandia dan berkarier di klub Shamrock Rovers, di mana ia dihubungi FCF via platform media sosial LinkedIn.


Tidak semata memanfaatkan para pemain diaspora, Cape Verde juga sangat terbantu oleh program pembiayaan FIFA Forward. Organisasi sepakbola internasional itu menguluran tangannya untuk pembiayaan pembangunan lapangan-lapangan dengan rumput sintesis, renovasi Estádio Municipal Adérito Sena, hingga akomodasi dan fasilitas laga-laga persahabatan dengan tim-tim dari konfederasi lain untuk beberapa timnas aneka jenjang, mengingat FCF sangat kekurangan dana.


“Perjalanan, akomodasi, staf, material lainnya itu semua butuh biaya. Dua puluh tahun lalu mereka hanya mampu memainkan dua sampai tiga laga saja setahun dan itu tidak cukup. Sekarang, mereka terus bermain (laga persahabatan), dan mereka sudah mempersiapkan diri dan hasilnya begitu baik,” ujar FIFA Deputy Chief Member Association Officer/Regional Director Africa Gelson Fernandes.


Bubista selaku arsitek tim pun dimudahkan dengan naturalisasi dan sokongan FIFA. Belum lagi Piala Dunia 2026 jadi yang pertama dengan 48 peserta dan Afrika mendapat 9 jatah. Cape Verde pun tak menyia-nyiakannya. Meski setengah dari total 26 pemain di Skuad Cape Verde dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026 adalah hasil naturalisasi dan diaspora, Bubista mampu memadukannya dengan para pemain lokal dengan dukungan penuh pihak FCF lewat pendekatna-pendekatan teknis dan personal antara para anggota tim.


“Kami memiliki para pemain hebat. Tentu kami takkan seperti sekarang jika bukan karena masa lalu dan para pendahulu kami. Jalan kami mengarahkan kami sampai sekarang. Dalam hal organisasi, federasi juga sangat berdedikasi kepada semua orang. Saat segalanya selaras dalam harmoni, para pemain mampu bersatu dan itulah yang membantu kami mencapai level seperti saat ini,” tandas Bubista.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Kedua jenis ulos ini biasa digunakan dalam pesta sukacita orang Batak. Sadum untuk perempuan dan Tumtuman bagi laki-laki.
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
bottom of page