- M. Fazil Pamungkas
- 30 Okt 2019
- 3 menit membaca
SAMA seperti Inggris yang menjadikan Australia tempat pembuangan orang-orang bermasalah. Raja-raja Bali –terutama dari Klungkung, Gianyar, Bangli– menjadikan Nusa Penida tempat menyingkirkan para pembuat onar dari negerinya. Umumnya yang dikirim ke Nusa Penida adalah para terhukum yang mendapat ganjaran harus diasingkan dari Bali. Mereka kemudian tinggal bersama penduduk yang sejak era kekuasaan Lombok sudah menempati Nusa Penida.
Ida Bagus Sideman dalam Penjara di Tengah Samudra: Studi tentang Nusa Penida Sebagai Pulau Buangan menyebut ada lima desa yang menjadi tempat bernaung para terhukum setibanya di Nusa Penida, yaitu Batununggal, Ped, Batumadeg, Batukandik, dan Jungutbatu. Mereka ditempatkan di sana oleh pemerintah Klungkung yang membawahi Nusa Penida.
“Empat desa terletak di Nusa Penida dan satu desa (Jungutbatu) di pulau Lembongan,” tulis Sideman.
Di pulau seluas kurang lebih 200 km² ini para terhukum harus bekerja menggarap lahan untuk komoditi-komoditi ekspor beberapa kerajaan Bali, termasuk Klungkung, yang pada abad ke-17 resmi menjadi pemilik Nusa Penida. Kerja paksa tersebut dilakukan seumur hidup hingga diturunkan kepada generasi setelahnya.
Hampir semua literasi Barat yang terkait dengan Nusa Penida menyebut Nusa Penida sebagai pulau bagi orang-orang bermasalah atau Bandieten Eiland (Pulau Bandit). Seperti Claire Holt dalam tulisannya “Bandit Island: A Short Exploration Trip to Nusa Penida” dimuat Traditional Balinese Culture. Namun penyebutan itu dirasa terlalu berlebihan. Karena seolah mengartikan penduduk Nusa Penida sebagai keturunan bandit. Tetapi agaknya perlu juga dicermati arti di balik nama tersebut. Apa yang menyebabkan para penulis Barat menyematkan nama yang cenderung negatif itu pada Nusa Penida.
Syarat Para Terhukum
Mendengar kata ‘bandit’ otomoatis pikiran kita akan terarah pada kasus-kasus pelanggaran berat seperti perampokan dan pembunuhan. Namun nyatanya para terhukum yang dikirim oleh raja-raja Bali ini sangat sedikit yang diadili atas tindakan tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah para pelanggar politik, ekonomi, adat, dan kepercayaan, yang oleh raja dianggap dapat mengganggu kekuasaannya.
Di antara kasus-kasus pengasingan ke Nusa Penida, para terhukum kasus ilmu hitam atau kepercayaan menjadi yang paling berat. Di dalam transkripsi naskah “Paswara Bangli” dimuat Penjara di Tengah Samudra dijelaskan bahwa mereka yang terjerat kasus ini umumnya dijatuhi hukuman mati. Caranya dengan ditenggelamkan di laut. Hukuman teringan yakni diasingkan seumur hidup.
Terpidana kasus politik menjadi yang paling banyak. Dalam buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali karya Made Sutaba, dkk terbitan Direktorat Sejarah disebutkan bahwa para terpidana kasus politik banyak bermunculan sekitar abad ke-19. Saat itu Bali sedang berada di puncak upaya-upaya perluasan wilayah suatu kerajaan terhadap kerajaan di sekitarnya. Hingga tidak jarang menyebabkan perang saudara.
Selama perang tersebut bermunculan kelompok-kelompok pemberontak dari kalangan rakyat kecil. Kelompok pertama adalah mereka yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang dirasa tidak adil. Salah satunya terjadi di kerajaan Karangasem. “… masa pemerintahannya penuh dengan kekejaman. Ia menjalankan dengan tangan besi, sehingga rakyat mengalami kecemasan dan penderitaan,” jelas Sutaba.
Sementara kelompok lainnya tidak dalam kepentingan menghentikan praktek kekejaman penguasa. Mereka berasal dari luar daerah yang diutus oleh musuh untuk memata-matai berbagai aktifitas di dalam kerajaan sasarannya. Para terduga yang terjerat kasus ini mendapat hukuman terberat.
Para terhukum kasus politik, kata Sideman, jumlahnya sangat banyak pada akhir abad ke-19. Situasi politik yang terus memanas, ditambah campur tangan Belanda, semakin memperkeruh suasana di Bali. Satu contoh pengasingan yang cukup banyak diceritakan adalah kasus keluarga bangsawan Gianyar bernama Cokorda Rai Banggul. Bersama istri dan anaknya, Banggul dibuang ke Nusa Penida atas tuduhan pengkhianatan. Ia dihukum seumur hidup dan tidak diberi akses kembali ke tanah Bali.
Sedangkan para terhukum kasus hutang piutang (ekonomi), termasuk denda dan pajak, jumlahnya tidak terlalu banyak. Mereka yang terjerat kasus ini biasanya berusaha sekuat tenaga melunasi dendanya tersebut. Dan jika memang tetap harus dihukum, masa pengasingannya tidak lebih dari 2 tahun.
Namun jangan dibayangkan para terhukum ini selama di Nusa Penida tinggal di sebuah bangunan penjara dengan kamar-kamar kecil di dalamnya. Selain karena memang tidak ada bangunan seperti itu, para pejabat di Nusa Penida berusaha membuat cara yang baik dalam menanggulangi para terhukum di pulau tersebut.
“Narapidana kasus politik, hutang piutang (ekonomi), dan pelanggaran adat ditempatkan bersama-sama di antara penduduk. Nara pidana kasus ilmu hitam ditempatkan dalam barak-barak,” tulis Sideman.













Komentar