- Martin Sitompul

- 28 Jul
- 4 menit membaca
LEBIH dari 90 kain batik asal Rumah Batik Oey Soe Tjoen tampil (OST) di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kain-kain batik itu meliputi berbagai motif. Mulai dari corak buketan bunga-bungaan yang trendi di masa kolonial Hindia Belanda; motif peranakan khas Tionghoa seperti bunga lotus, seruni, anggrek, dan naga; hingga motif kekinian dengan sisipan unsur modern. Tidak hanya menawarkan keindahan warna dan corak, batik-batik tersebut juga merekam perjalanan sejarah dari tiga generasi.
“Ini bukan hanya sebuah kain tapi perjalanan sejarah. Kita melihat bagaimana keterlibatan dari berbagi budaya yang terpengaruh dalam kain batik ini,” kata Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar dalam pembukaan Pameran 100 Tahun Batik Oey Soe Tjoen, 26 Juli 2025.
Pameran bertajuk “Keteguhan Hati Merawat Warisan” mewarnai 100 tahun Batik Oey Soe Tjoen. Seperti namanya, batik tulis halus ini pertama kali dibuat oleh Oey Soe Tjoen, seorang pembatik asal Pekalongan. Bersama Kwee Tjoen Giok Nie (Kwee Nettie) istrinya, Oey mendirikan rumah batik di Kedungwuni pada 1925. Hingga kini, Rumah Batik OST masih eksis memproduksi batik di tangan generasi ketiga yang dikelola Oey Kiem Lian (Widianti Widjaja), cucu dari Oey Soe Tjoen.
Batik OST cukup dikenal di masa kolonial Hindia Belanda. Motif-motif buketan dengan bunga khas Belanda seperti tulip dan mawar begitu diminati saat itu. Karena proses pengerjaannya rumit –mulai dari pola, pewarnaan, hingga pengkanjian, menjadikan batik OST cukup dihargai mutunya. Harganya pun sudah barang tentu cukup tinggi. Untuk sepotong kain batik, diperlukan waktu sekira tiga tahun pembuatan.
Pada generasi pertama, batik OST telah menjadi langganan sejumlah kalangan penggede lokal. Pada 1935, Bupati Pekalongan Raden Mas Toemenggoeng Ario Soerjo pernah meminta Oey Soe Tjoen membuatkan batik bermotif Cuwiri untuk istrinya, Raden Ajoe. Batik pesanan sang bupati itu hendak dikenakan Raden Ajoe saat pesta pernikahan anak mereka. Oey Soe Tjoen lantas membuatkan kain panjang “Pagi Sore” yang memadukan corak budaya Belanda dan Jawa. Perpaduan ini disebut motif Cuwiri Merak Ati dengan memadukan motif bunga mawar (Buketan) dan Cuwiri burung merak. Kelak motif ini menjadi motif ikonik dari OST. Di masa keemasannya, batik OST populer dijadikan sebagai mas kawin.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir, Tjarda Van Starkernborgh Stachouwer, disebut-sebut juga terpikat pada batik OST. Untuk itu, Starkernborgh sampai berkunjung ke Rumah Kidul, Kedungwuni 104, tempat Rumah Batik OST berada, pada Januari 1939. Oey Soe Tjoen kemudian menerima piagam dan medali dari sang gubernur jenderal sebagai tanda apresiasi.
Masa pendudukan Jepang jadi periode yang penuh tantangan. Rumah Batik OST sempat mengalami penjarahan oleh kelompok masyarakat anti-Belanda. Seluruh harta benda, termasuk piagam dan medali dari Gubernur Jenderal Starkernborgh, lenyap dijarah massa. Selain itu, bahan baku kain mori dan obat warna mengalami kelangkaan karena situasi politik dan ekonomi terganggu akibat perang. Untuk terus melanjutkan produksi batik, Oey Soe Tjoen menyiasatinya lewat barter kain batik siap jual dengan kain mori polos. Di era ini pula, Oey Soe Tjoen mulai menawarkan motif yang disukai Jepang yakni bunga sakura, burung merak, dan kupu-kupu.
“Saya paling suka dengan batik motif kupu-kupu dan ada warna pink,” ujar Irene saat menyaksikan koleksi pameran.
Pada generasi berikutnya, batik OST menjelma menjadi karya seni bernilai tinggi. Ia menjadi koleksi museum di mancanegara seperti Amerika Serikat, Eropa dan Asia hingga masuk balai lelang internasional. Untuk membedakan batik OST dari generasinya, dapat dilihat dari tandatangan yang melekat pada ujung kainnya. Tradisi membubuhkan tanda tanganpada setiap lembar batik yang telah selesai merupakan kebiasaan sejak Oey Soe Tjoen mendirikan usaha batik keluarga. Lebih dari sekedar penanda pribadi, tanda tangan ini menjadi simbol jaminan mutu bahwa kain tersebut telah lolos proses pembuatan sesuai standar batik OST.
Generasi pertama Batik OST, Kwee Nettie, menandatangani kainnya dengan tulisan “Oey Soe Tjoen, Kedungwoeni 104” yang berubah seiring perkembangan EYD menjadi “Oey Soe Tjoen, Kedungwuni 104”. Pada generasi kedua, untuk membedakan dari generasi pertama, Li Tjien Nio menambahkan “JAVA” di bawah Kedungwuni menjadi “Oey Soe Tjoen, Kedungwuni 104, JAVA”. Pada generasi ketiga, Widianti mengembalikan penulisan model klasik “Oey Soe Tjoen, Kedoengwoeni 104”.
“Nah, untuk membedakan dengan batik Oey Soe Tjoen, untuk karya-karya batik kontemporer, aku membubuhkan namaku sendiri – 'Oey Kiem Lian',” jelas Widianti.
Tidak hanya koleksi batik dari tiga generasi, pameran juga menampilkan alat-alat yang digunakan untuk membatik sejak generasi pertama. Mulai dari pola desain, kemplongan (untuk menghaluskan kain mori), canting (alat untuk mewarnai), cap, kuwuk, timbangan (untuk menakar campuran zat pewarna), hingga alat press. Buku catatan data produksi dan pemesanan batik maupun sepeda ontel yang dipakai Oey Soe Tjoen juga masih dalam bentuknya yang otentik.
Puncak pameran menampilkan tiga helai kain batik OST mahakarya Widianti sebagai bentuk refleksi sekaligus penghormatan. Kain panjang bertajuk “Iswari Ambaudhendha Nyakrawati” menampilkan sosok Kanjeng Ratu Kidul. Kain panjang “Guan Shi Yin Pusa” menampilkan sosok Dewi Kwan Im. Kain panjang “Maria Immaculata” menampilkan sosok Bunda Maria. Ketiganya mengekpresikan sosok-sosok yang merepresentasikan berbagai sisi dari identitasnya: seorang perempuan peranakan Tionghoa, tumbuh besar di Tanah Jawa, dan dibesarkan dalam nilai-nilai Katolik.
“Saya membuat pameran ini tujuannya adalah untuk meninggalkan jejak digital terhadap apa yang sudah dikerjakan kakek, nenek, papa, dan mama,” terang Widianti yang mengakui belum menemukan penerus untuk generasi keempat batik OST.
Menurut Widianti, pameran ini sebagai ikhtiarnya untuk terus menghidupkan nama batik OST meski pada akhirnya harus tutup karena takdir harus berhenti pada generasi ketiga. Sementara itu, Wamen Irene mengatakan tidak mudah untuk mencapai generasi ketiga. Butuh perjuangan seperti apa yang sudah dirintis batik OST.
“Kita kalau misalkan di perusahaan bisnis keluarga aja kesulitan untuk mempertahankan tiga generasi supaya bisa sebagus dan seluar biasa ini dengan segala tekniknya. Ini sesuatu yang perlu dipanutilah,” tutup Irene.




























































Komentar