- Mohammad Kholid Ridwan

- 11 Sep
- 4 menit membaca
PENJARAHAN rumah pejabat dan politisi, disertai kerusakan puluhan fasilitas publik di berbagai kota, mengejutkan banyak orang. Yang lebih mengejutkan bukan hanya kekacauannya. Tapi juga reaksinya: masyarakat tidak serentak mengutuk, sebagian justru merasa lega, bahkan menyebutnya “karma instan” atau “pajak sosial mendadak.”
Mengapa tindakan yang jelas-jelas destruktif justru memantik tepuk tangan di sebagian kalangan? Apakah ini tanda moralitas publik runtuh, atau justru ekspresi dari kemarahan yang terlalu lama dipendam? Atau jangan-jangan, ini juga bagian dari pertarungan elite yang mengorbankan massa di lapis bawah?
Ketika Rakyat Merasa Terwakili
Reaksi publik yang ambigu itu bukan lahir di ruang hampa. Ia tumbuh di tengah ketimpangan yang stagnan –Gini Ratio (parameter untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan atau kekayaan) Indonesia lima tahun terakhir tetap di 0,39-0,40– dan di tengah menurunnya kepercayaan pada mekanisme formal yang seharusnya mengatur keadilan. Pajak progresif tak terasa progresif, subsidi sering salah sasaran, korupsi lolos berkali-kali.
Maka, ketika rumah elite dijarah, sebagian rakyat melihatnya sebagai momen kejatuhan simbol ketidakadilan. Mereka yang bersorak bukan hanya mengincar sofa atau televisi. Mereka sedang merayakan runtuhnya pagar-pagar yang selama ini tak tersentuh.
Fenomena ini bukan baru. Mari kita runut ke belakang.
1965/1966. Di masa pergolakan politik pasca-G30S, penjarahan sering kali menyertai aksi pembersihan mereka yang dituduh terkait PKI. Rumah, aset, hingga sawah disita atau dirampas dengan dalih penyelamatan negara. Banyak yang kemudian tahu, di baliknya juga ada perebutan sumber daya dan pertarungan elite politik.
1974 –Peristiwa Malari. Jakarta kembali bergolak. Mobil-mobil Jepang dibakar, kantor dagang dirusak. Amarah publik diarahkan pada modal asing, tetapi di balik itu, ada rivalitas politik dalam tubuh rezim Orde Baru yang ikut meniupkan bara.
1998. Krisis moneter menghancurkan daya beli. Jakarta, Medan, dan kota-kota lain menyaksikan pusat perbelanjaan dijarah, rumah-rumah elite diincar. Kala itu, suara “yang di atas jatuh” menggema di jalanan. Lagi-lagi, gelombang rakyat bercampur dengan strategi elite yang ingin menggeser tatanan.
Polanya nyaris abadi: ketimpangan yang beku, lalu meledak.
Setiap kali kanal keadilan formal membeku, rakyat menciptakan kanal sendiri: brutal, gaduh, dan tak beraturan. Seperti sungai yang ditahan terlalu lama oleh bendungan rapuh, ia akan mencari jalannya sendiri –meski harus menghanyutkan pagar-pagar hukum yang selama ini hanya menjadi ornamen.
Namun, seperti badai, redistribusi instan hanya menyapu permukaan. Ia tidak membangun struktur baru. Hanya mengacak-acak struktur lama, lalu pergi.
Penjarahan yang Dilegalkan
Apa yang terlihat di layar gawai –kaca pecah, lemari diangkut, gedung rusak– hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya berlangsung penjarahan lain yang lebih besar, lebih rapi, dan kerap dilabeli “investasi” atau “pembangunan.”
Melalui mekanisme ekonomi global yang berpihak pada pemilik modal, sebagaimana dijelaskan David Harvey (2004) dalam konsep accumulation by dispossession, kekayaan terus dialihkan dari bawah ke atas: izin lahan yang mengusir masyarakat adat, ekspor mineral mentah dengan harga rendah, perdagangan data pribadi tanpa kompensasi, hingga pasar karbon yang lebih banyak menciptakan rente daripada menyelamatkan bumi.
Di Indonesia, wajah penjarahan modern itu tampak dalam ekspansi sawit yang menggerus hutan tropis, konsesi tambang yang menyingkirkan kampung-kampung tua, dan arus nikel yang keluar negeri tanpa nilai tambah berarti. Tidak ada linggis, tidak ada massa, tetapi dampaknya jauh lebih menghimpit: ketimpangan yang membatu dan generasi penerus yang menanggung ongkosnya.
Siapa yang Sebenarnya Menjarah?
Kita cepat menghukum mereka yang memecah kaca, tetapi lamban mempertanyakan mereka yang memindahkan miliaran melalui celah pajak. Pada 2023, Direktorat Jenderal Pajak mencatat potensi pajak yang hilang karena penghindaran pajak korporasi mencapai lebih dari Rp130 triliun per tahun –setara ribuan kali lipat nilai barang yang dijarah dalam satu malam kerusuhan.
Banyak yang mengutuk perampok kecil yang membawa sofa atau karung beras, tetapi tak sedikit pula yang justru merasa puas –seolah penjarahan itu menjadi cara simbolik membalas ketidakadilan yang lebih besar. Ironisnya, kita tetap menggelar karpet merah bagi perampok besar yang menguasai ribuan hektar lahan dengan izin yang diproses secara politis. Kita mendidik anak agar tidak mencuri, tetapi membiarkan skema perdagangan karbon atau ekspor nikel mentah mengalirkan keuntungan ke luar negeri, sementara masyarakat sekitar tambang tetap miskin dan tergusur.
Paradoks inilah yang membuat sebagian masyarakat merasakan kepuasan aneh ketika penjarahan terjadi: setidaknya sekali saja, yang di atas pun bisa jatuh. Bukan karena mereka membenarkan kekerasan. Tetapi karena selama ini penjarahan yang lebih masif –ratusan triliun rupiah per tahun– justru dilegalkan atas nama investasi dan pembangunan.
Menuju Keadilan yang Tidak Spontan
Penjarahan tidak pernah menjadi solusi. Ia hanya gejala dari sistem yang membiarkan ketidakadilan membusuk. Setiap krisis besar hanya menjadi pemantik baru: amarah meledak, rumah dirusak, rasa puas sekejap menggantikan ketidakberdayaan, lalu semuanya kembali seperti semula.
Jalan keluarnya bukan patroli tambahan atau hukuman yang lebih keras, melainkan keadilan yang terencana: pajak progresif yang benar-benar memungut dari mereka yang memiliki lebih, subsidi yang tidak bocor ke tangan yang salah, transparansi yang menjadi kebiasaan, dan keberanian memutus rantai rente yang selama ini membajak sumber daya publik.
Keadilan yang lahir dari sistem selalu lebih kokoh daripada keadilan yang lahir dari amarah. Ia tidak meledak di jalanan, tidak meninggalkan puing dan bara, tetapi berjalan dalam aturan yang dipercaya semua pihak. Selama keadilan itu belum hadir, setiap letupan krisis hanya akan jadi jeda sebelum amarah berikutnya.
Menolak Menjadi Penjarah, Menolak Dijarah
Pada akhirnya, kisah penjarahan ini bukanlah sekadar cerita tentang orang-orang yang menerobos batas hukum. Ia merupakan cermin dari ketimpangan yang jauh lebih mendalam –sering kali juga menjadi cermin dari pertarungan elite yang memanfaatkan krisis sosial untuk kepentingan politiknya. Negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung justru sering absen dalam fungsi dasarnya: menjamin akses adil terhadap kebutuhan pokok warganya, menjaga agar sumber daya tidak terpusat pada segelintir elite, dan memastikan bahwa keadilan tidak menjadi barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang punya kuasa.
Dalam konteks inilah, penolakan untuk menjadi penjarah maupun dijarah bukanlah sikap pasif, melainkan bentuk perlawanan terhadap struktur yang membiarkan ketidakadilan terus berulang. Masyarakat perlu mendesak lahirnya tatanan yang lebih berkeadilan. Sebuah tatanan yang menempatkan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan modal dan kooptasi global.
Seruan ini tidak hanya menjadi tugas warga biasa, tetapi harus terus digemakan oleh mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat. Mereka tidak boleh hanya menjadi corong penguasa atau penyambung lidah korporasi, melainkan penjamin bahwa fungsi negara berjalan sebagaimana mestinya: melindungi yang lemah, mengatur yang kuat, dan menjaga keseimbangan kepentingan agar tidak berubah menjadi penindasan yang dilegalkan.
Menolak menjadi penjarah berarti menolak terjerumus dalam logika kekerasan struktural yang diwariskan. Menolak dijarah berarti berani bersuara menentang sistem yang menghalalkan eksploitasi. Di sinilah letak martabat kita sebagai bangsa. Bukan dalam membiarkan penjarahan berlangsung di depan mata, tetapi dalam menyusun ulang peta keadilan yang terlalu lama dibengkokkan oleh kekuasaan dan modal.*
Penulis adalah dosen dan peneliti senior Universitas Gadjah Mada












Hanya 2 kata untuk kondisi saat ini"Bubarkan DPR", karena sarang korupsi banyak di lembaga tersebut