top of page

Sejarah Indonesia

Dhalia Dan Orang Orang Baru Dari

Dhalia dan Orang-orang Baru dari Banten

Dhalia dikenal sebagai bintang film papan atas Indonesia. Ia juga dramawan perempuan yang mengalihwahanakan novel Pramoedya Ananta Toer ke dalam naskah drama.

28 September 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Dhalia, aktris film populer Indonesia di tahun 1940-1950an di Film Lewat Djam Malam sekitar tahun 1954. (Varia via Wikimedia Commons).

SEBAGIAN besar orang tentu sudah tidak asing dengan novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Novel yang diterbitkan oleh Jawatan Penempatan Tenaga Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga pada 1958 itu merupakan hasil reportase dan wawancara singkat Pramoedya ketika mengunjungi wilayah Banten Selatan yang subur tetapi miskin di tahun 1957.


Tak lama setelah diterbitkan, novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan dialihwahanakan menjadi naskah drama dengan judul Orang-orang Baru dari Banten. Akan tetapi, alih-alih Pramoedya, naskah drama tersebut ditulis oleh seorang aktris terkenal dalam perfilman Indonesia bernama Dhalia.


Sepanjang hidupnya, wanita kelahiran Medan itu memang memiliki kaitan erat dengan dunia seni peran. Ayahnya, Tengku Katam, yang masih kerabat Sultan Deli, merupakan seorang penulis pentas. Nama Dhalia diambil dari kelompok teaternya, Dhalia Opera.


Dibesarkan dalam lingkungan seni panggung, Dhalia bersinggungan dengan rombongan teater sang ayah. Sejak muda bakat akting dan menyanyinya sudah mulai terlihat. Akan tetapi, menurut penulis yang juga redaktur media sejarah Historia.ID, Hendri F. Isnaeni, ayah Dhalia justru menginginkan putrinya untuk mengutamakan pendidikan dan melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.


“Dhalia pernah menempuh pendidikan HIS di Medan, kemudian MULO di Yogyakarta. Tapi ketika dia ke Jogja untuk melanjutkan sekolah MULO, Dhalia justru tertarik dengan dunia seni peran. Akhirnya, saat berada di Jogja itulah dia mulai ikut rombongan sandiwara dan kemudian dari sandiwara dia beralih ke dunia film,” jelas Hendri dalam diskusi buku “Orang-orang Baru dari Banten”, yang menjadi bagian dari acara Festival Seni Multatuli 2025, di Aula Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten pada Minggu (21/9/2025).


Di usia 14 tahun, Dhalia debut sebagai pemain film. Ketika itu, pada 1940, sutradara Fred Young mencari seorang gadis yang wajahnya mirip dengan bintang film Roekiah, seorang aktris dan penyanyi keroncong yang namanya tersohor di masa pra-kemerdekaan Indonesia. Dari sekian kandidat yang diseleksi, Dhalia yang terpilih.


Setahun setelahnya, Dhalia beradu akting dengan Fifi Young, yang berperan sebagai ibunya dalam film pertama Dhalia, sebuah film musikal berjudul Pantjawarna tahun 1941. Sejak itu, Dhalia mulai terlibat dalam beberapa film, di antaranya Panggilan Darah, Moestika dari Djemar, serta sejumlah film propaganda Jepang yang diproduksi semasa Dai Nippon menduduki wilayah Indonesia.


Ketika pecah Perang Dunia II, Dhalia ikut ambil bagian dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya. Setelah Indonesia merdeka, wajah Dhalia kembali mewarnai layar perak. Ada beberapa film yang dibintanginya, salah satunya adalah Sangkar Emas di tahun 1951. Empat tahun berselang, Dhalia berhasil meraih gelar aktris terbaik dalam Festival Film Indonesia 1955 lewat aktingnya di film Lewat Jam Malam yang disutradarai Usmar Ismail.


“Tahun 1950-an itu masa keemasan Dhalia... Namanya naik di saat aktris-aktris papan atas era kolonial meredup. Jadi, bisa dikatakan dia termasuk dalam lingkaran aktris papan atas. Popularitasnya itu membuat dia pada 1954 dilantik Sukarno menjadi ketua Barisan Bhinneka Tunggal Ika ... Tugasnya seperti pagar ayu, menjamu pejabat-pejabat negara atau presiden-presiden dari luar negeri. Artis-artis semua ini yang menjadi penyambutnya,” jelas Hendri.


Menggali informasi mengenai sosok Dhalia sebagai aktris film yang tersohor bukan hal yang sulit, mengingat perjalanan kariernya yang panjang dan statusnya sebagai bintang film terkenal. Dalam rentang waktu setengah abad hingga 1990, ia telah bermain peran di lebih dari 50 film. Beberapa filmnya bahkan dipandang sebagai tonggak penting dalam sejarah perfilman Indonesia.


Meski begitu menurut penulis sekaligus penerjemah, Dhianita Kusuma Pertiwi, aktivitas Dhalia sebagai penulis naskah drama Orang-orang Baru dari Banten turut memunculkan sebuah misteri. Sebab, naskah drama tersebut diterbitkan oleh Lekra, lembaga kebudayaan rakyat yang terdampak penumpasan PKI setelah pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965.


penulis yang juga redaktur media sejarah Historia.ID, Hendri F. Isnaeni (kiri), penulis dan penerjemah Dhianita Kusuma Pertiwi (dua dari kiri), serta peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN, Mashuri (dua dari kanan), hadir sebagai pembicara dalam diskusi buku “Orang-orang Baru dari Banten”, yang menjadi bagian dari acara Festival Seni Multatuli 2025, di Aula Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten pada Minggu (21/9/2025). (Tangkapan layar Youtube Festival Seni Multatuli).
penulis yang juga redaktur media sejarah Historia.ID, Hendri F. Isnaeni (kiri), penulis dan penerjemah Dhianita Kusuma Pertiwi (dua dari kiri), serta peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN, Mashuri (dua dari kanan), hadir sebagai pembicara dalam diskusi buku “Orang-orang Baru dari Banten”, yang menjadi bagian dari acara Festival Seni Multatuli 2025, di Aula Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten pada Minggu (21/9/2025). (Tangkapan layar Youtube Festival Seni Multatuli).

“Ada salah satu wawancara dengan Tempo di tahun ‘77, di mana di artikel itu disampaikan bahwa Dhalia ini menepis anggapan yang menyebut dirinya sebagai anggota Lekra. Dia bahkan mengaku tidak diinterogasi, tidak ditangkap sama sekali... Di sisi lain, ada buku yang ditulis Amurwani tentang Gerwani di Plantungan di mana di situ menyebutkan bahwa Dhalia adalah salah satu tapol (tahanan politik, red.),” sebut Dhianita.


Penulis Rumah Dukkha itu memiliki asumsi tersendiri mengenai ketidaksinkronan tersebut. Menurut Dhianita, jika melihat tahun wawancara Dhalia yang berlangsung tahun 1977, di masa ketika Orde Baru masih berkuasa, akan menjadi sangat berisiko bagi aktris film itu untuk menyampaikan pengalaman dan masa lalu hidupnya secara terbuka.


“Ada pernyataan Dhalia yang menyebut ‘film garapan Usmar Ismail tidak bisa tampil di TIM (Taman Ismail Marzuki, red.). ‘Mungkin karena saya’, kata Dhalia... Nah, pernyataan seperti itu memang agak kompleks dalam konteks psikologi seorang tapol... Jadi, ada kompleksitas seperti itu terkait sosok Dhalia, di mana di satu sisi kita mengenal dia sebagai seorang aktris yang moncer, tapi di sisi lain juga dia tidak mengakui keterlibatannya dengan Lekra... Barangkali pertimbangan itu diambil karena dia begitu mementingkan keluarganya,” tambah Dhianita.


Sementara itu, Hendri menyampaikan bahwa keterkaitan Dhalia dengan Lekra dapat ditelusuri dari hubungannya dengan Joebaar Ajoeb. Dhalia sempat menikah dengan Sekretaris Jenderal Lekra tersebut. Selain itu, Dhalia juga pernah menjadi wakil ketua Lembaga Senidrama Indonesia, salah satu lembaga seni di bawah Lekra. Besar kemungkinan di masa inilah Dhalia menerbitkan naskah drama Orang-orang Baru dari Banten, yang merupakan saduran dari novel Pramoedya Ananta Toer, Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Setelah peristiwa G30S, kedua karya tersebut termasuk dalam karya-karya seniman Lekra yang dilarang terbit dan diedarkan.


Terlepas dari keterkaitan Dhalia dengan Lekra, Dhianita memandang naskah drama yang ditulis sang aktris memberi celah untuk menggali lebih dalam peran dramawan perempuan dalam dunia pementasan drama Indonesia, khususnya di masa ketika Orang-orang Baru dari Banten diterbitkan pada 1950-an.


“Terkait jarangnya penulis naskah drama perempuan di Indonesia... salah satunya karena pada saat itu kita sempat berada di masa ketika apresiasi sastra ataupun akademisi juga tonggak-tonggak kualitas itu kemudian ditentukan oleh kebanyakan laki-laki, dan pada akhirnya ada spektrum yang memungkinkan mereka untuk menentukan kualitas mana yang bagus dan mana yang tidak... Nah pada 1950-an, secara genre naskah drama pun sebenarnya cukup jarang di Indonesia... Jadi konteksnya, di satu sisi naskah drama memang mungkin genre yang kurang berkembang di Indonesia, dan di sisi lain juga perempuan dalam ranah teater ataupun drama masih kurang,” kata Dhianita.


“Dalam konteks karya, saya pikir Orang-orang Baru dari Banten itu adalah upaya Dhalia untuk memperkenalkan sastra, khususnya naskah drama modern Indonesia... Dan dalam hal ini Dhalia memiliki peran penting untuk memperkenalkan seperti apa sih naskah drama modern Indonesia... dan itu adalah dari alihwahana yang dia buat,” tambahnya.


Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN, Mashuri menyampaikan bahwa Dhalia memiliki kepekaan dramatik tersendiri di mana fokus yang dia gunakan dalam naskah drama Orang-orang Baru dari Banten berbeda dari novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan.


“Secara subjektif saya mengatakan bahwa karya Dhalia lebih hidup dari karya Pramoedya... Naskah drama yang disusun Dhalia itu memang ditulis untuk dipentaskan... Kalau kita baca naskah dramanya, catatan lakuan pelakunya sangat detail dan petunjuk-petunjuk pemanggungannya itu sangat rigid... Dapat dikatakan Dhalia memiliki keahlian untuk melihat sisi dramatik dari novel Pramoedya.... Kenapa kemudian novel tersebut disadur ke dalam naskah drama untuk dipentaskan? Karena pada zamannya seni pertunjukan atau pertunjukan sastra lebih menarik minat masyarakat,” ungkap Mashuri.


Menurut Hendri, naskah drama Orang-orang Baru dari Banten dipentaskan pertama kali di Medan pada 1960. Pertunjukan tersebut kemudian dipentaskan di banyak tempat di Sumatra Timur. Selanjutnya dipentaskan oleh Lembaga Senidrama Indonesia di Gedung Kesenian Jakarta selama beberapa hari pada Mei 1963.


Popularitas Orang-orang Baru dari Banten menjadi bukti bahwa pertunjukan drama tersebut disambut baik oleh masyarakat pada masa itu. Kendati mengambil latar tempat di satu daerah, isi ceritanya sesungguhnya dapat ditemukan di daerah lain di Indonesia. Inilah yang menjadi daya tarik dari naskah drama yang ditulis oleh Dhalia.


Sementara itu, Dhalia kembali bermain film pada 1974. Sejak tahun 1977 hingga 1990, Dhalia hampir setiap tahun bermain film sebagai pemeran pembantu. Dhalia meninggal dunia di Jakarta pada 14 April 1991. Bertahun-tahun setelah kepergiannya, nama Dhalia dijadikan nama penghargaan khusus untuk pemenang kategori Aktris Pilihan Penonton pada Festival Film Indonesia 2023.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page