top of page

Sejarah Indonesia

Di Atas Geladak Kapal

Seksualitas di Atas Geladak Kapal VOC

Di atas kapal maupun di darat, VOC menanamkan etika puritan yang melarang dan menghukum orang-orang yang melakukan sodomi.

5 Juli 2010

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Diperbarui: 16 Jan

Lukisan armada kapal VOC, 1698. (Amsterdam Museum/Wikimedia Commons).


LEENDERT Hasenbosch masih 14 tahun ketika ayahnya, Johannes Hasenbosch, berlayar ke Batavia bersama ketiga saudara perempuannya: Cornelia, Ursula, dan Maria Elizabeth, sekitar tahun 1708. Hasenbosch tua ingin memulai kehidupan baru setelah kematian istinya, Maria. Ketika menginjak usia 18 tahun, Hasenbosch menjadi serdadu Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC) dan naik kapal Korssloot menuju Batavia.


Hasenbosch ditempatkan di Benteng Batavia. Kesehariannya membosankan: baris-berbaris, parade, dan patroli. Sesekali dia mengunjungi ayahnya atau saudara perempuannya.


Karier Hasenbosch perlahan naik. Dia menjadi kopral, juru tulis militer (military clerk), hingga pemegang buku (bookkeeper). Pada 1724, dia berlayar dengan kapal Prattenburg, satu dari 16 kapal, yang dipimpin Komodor Ewout van Dishoeck. Kapal singgah di Cape Town lalu berangkat lagi. Pada 17 April, Hasenbosch dituduh melakukan sodomi, aktivitas yang bisa mendapatkan hukuman berat.


Hukum di Belanda menganggap sodomi sebagai kejahatan sangat serius, dosa besar, sehingga pelakunya bisa dihukum mati. Istilah homoseksual belum dikenal. Istilah sodomi sendiri merujuk pada segala bentuk aktivitas seksual yang tak berkaitan dengan prokreasi, seperti hubungan seks sesama jenis, seks dengan binatang, bahkan masturbasi. Terkadang sodomi ditujukkan pada lelaki yang bertingkah seperti perempuan. Aturan keras yang melarang sodomi juga diberlakukan di atas kapal-kapal VOC.


Sejak terbentuk pada Maret 1602, VOC membutuhkan dan merekrut banyak orang untuk jadi pegawainya, dari pegawai niaga, serdadu, hingga kelasi. VOC tak memberi kesempatan bagi perempuan untuk jadi pelaut, atau berada di atas kapal. Tapi di atas kertas tak selalu sejalan dengan yang terjadi di atas kapal. Banyak armada VOC berlayar dari Eropa dengan satu atau dua perempuan yang menyamar sebagai laki-laki.


Aturan lainnya, serdadu dan kelasi bisa dari etnis mana saja, asalkan lelaki heteroseksual. Bagi yang ketahuan melakukan aktivitas homoseksual, sekalipun sulit pembuktiannya karena harus ada saksi, bisa terkena hukuman mati. Kedua pelaku, tanpa membedakan yang “aktif” maupun “pasif”, diikat dalam posisi berhadapan punggung, dimasukkan ke dalam karung, lalu diceburkan ke laut. Hukuman yang sama juga berlaku bagi seseorang yang tertangkap basah melakukan hubungan seks dengan binatang.


“Aturan tingkah laku yang ketat ini dirancang untuk memastikan terbentuknya dunia bejana yang terisolasi sebagai sebuah miniatur masyarakat,” tulis Kerry Ward dalam Networks of Empire: Forced Migration in the Dutch East India Company.


Tapi, menurut Kerry Ward, sekalipun berlaku hukuman mati bagi pelaku sodomi, ia tak diberlakukan begitu saja. Dalam kasus upaya membujuk atau melakukan sodomi, atau status dari pihak-pihak yang bersalah adalah berbeda, hukumannya bervariasi. Misalnya, kasus yang menimpa koki kapal Jan Coenraat Ribbe dari Lipstad dan pemain terompet Jan Michiel Loup dari Melt. Ribbe dijatuhi hukuman kerja paksa dengan kaki dirantai selama 20 tahun di pekerjaan-pekerjaan VOC di Pulau Rosengain (sekarang Pulau Hatta) di Kepulauan Banda, sementara Loup dibuang ke kampung halamannya dan tak diperbolehkan menginjakkan kaki di seluruh teritori VOC.


Hukuman berbeda juga diberlakukan dalam kasus Hasenbosch, yang memiliki jabatan lebih tinggi. Dia menerima vonis “harus diturunkan ke darat, sebagai penjahat” di Pulau Ascension. Hukuman itu disahkan oleh Breede Raad (Dewan Umum) yang terdiri atas Komodor Ewout van Dishoeck dan seluruh kapten kapal. Sementara “pasangannya” dilemparkan ke laut.


Pada 3 Mei 1725, kapal Prattenburg yang ditumpangi Hasenbosch mencapai Pulau Ancension. Hasenbosch ditinggal sendiri dengan kotak perbekalan yang hanya cukup untuk dua hari; tenda, persediaan air untuk sebulan, bibit tanaman, injil, pakaian, dan alat tulis. Selama di sana dia menulis buku harian. Ketika bekal air habis, dan tak bisa menemukan sumber air, dia minum darah kura-kura, bahkan air seninya sendiri. Dia meninggal dunia enam bulan kemudian karena kehausan.


Pada Januari 1726 para pelaut Inggris menemukan tenda, juga buku harian dalam bahasa Belanda –Hasenbosch tak menuliskan nama. Buku harian dibawa ke Inggris, kemudian diterbitkan tiga kali dengan berbagai versi. Identitas pemilik buku harian itu baru terungkap oleh buku Een Hollandse Robinson Crusoe karya sejarawan Belanda Michiel Koolbergen, terbit pada 2002, yang bertahun-tahun meneliti arsip-arsip Belanda dan Inggris. Pada 2006, kisah lengkapnya diterbitkan Alex Ritsema dengan judul A Dutch Castaway on Ascension Island in 1725, dengan ulasan yang sedikit berbeda dari Koolbergen.


Sejarawan Belanda Tecla Aerts, seperti ditulis Alex Ritsema, menyebut komunitas di kapal VOC sebagai contoh dari “institusi total”, yakni sebuah lembaga yang ditandai dengan aturan keras, struktur hierarki yang ketat, kurang atau tak adanya kontak dengan lawan jenis, dan kurangnya privasi. Di dalam komunitas seperti ini kontak homoseksual menjadi jauh lebih sering dijumpai ketimbang di dunia luar. Umumnya, orang yang jabatannya lebih tinggi menggoda atau memperkosa orang yang lebih rendah.


Tecla Aerts mempelajari seluruh data pemeriksaan pengadilan kasus sodomi selama abad ke-18, yang dia dapatkan dari arsip-arsip hukum VOC di Cape Town. Umumnya merujuk pada kasus-kasus yang terjadi di atas kapal VOC. Aerts menemukan ada 44 gugatan hukum sodomi antara 1700-1794 yang melibatkan hampir 150 orang sebagai pelaku, kakitangan, atau korban. Dari jumlah itu, sembilan orang dihukum mati. Kebanyakan dihukum kerja paksa di Pulau Robben, Cape Town.


VOC runtuh karena korupsi. Tapi diskriminasi terhadap homoseksual tak ikut runtuh karenanya, bahkan lebih massif.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page