top of page

Sejarah Indonesia

Dibuang Gara Gara Menagih Utang

Dibuang Gara-gara Menagih Utang

Diederik Durven punya utang kepada Wandoellah karena kalah judi. Ketika menjabat Gubernur Jenderal, ia membuang Kapitan Melayu itu ke Sri Lanka.

13 Maret 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Diederik Durven (1676–1740), Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah pada 1729–1732. (Wikimedia Commons).

PPERSOALAN utang piutang kerap memicu perselisihan. Akibatnya bahkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kekerasan, pembunuhan hingga pembuangan, seperti dialami Kapitan Melayu Wandoellah. Ia dibuang ke Ceylon (kini Sri Lanka) karena berani menagih utang kepada Diederik Durven, yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (berkuasa 1729–1732).


Arsiparis-cum-sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia menyebut Wandoellah merupakan putra seorang Kapitan Melayu bernama Wan Abdul Bagus yang berperan dalam mendirikan Kampung Melayu di wilayah Meester Cornelis (kini Jatinegara). Wandoellah menggantikan posisi ayahnya menjadi Kapitan Melayu selama 16 tahun sejak 1716 hingga dipecat oleh Gubernur Jenderal Durven.


Menurut ahli sejarah Jakarta, Adolf Heuken SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, di zaman kolonial Belanda, Kapitan Melayu merupakan tokoh yang berpengaruh di dalam masyarakat. Selain menjadi perantara bagi pihak pemerintah kolonial dengan penguasa pribumi, Kapitan Melayu juga bertindak sebagai ceremonie-meester atau kepala protokol.


“Ia menerima kepala-kepala kerajaan dari seluruh kawasan Nusantara dan mengurus orang besar dari luar Batavia, yang dikenai tahanan rumah di Batavia,” tulis Heuken. Meski memiliki pengaruh dalam masyarakat, Kapitan Melayu bukan berarti kebal hukum. Itulah yang terjadi pada Wandoellah.



Leonard Blusse and Nie Dening mengisahkan kasus utang piutang yang melibatkan Wandoellah dan Gubernur Jenderal Durven dalam The Chinese Annals of Batavia, the Kai Ba Lidai Shiji and Other Stories (1610–1795).


“Awalnya, Wandoellah, Kapitan Melayu, sangat makmur. Durven sering pergi ke rumahnya untuk berjudi. Suatu kali ia kalah dan tidak punya uang untuk membayar. Wandoellah menyita kereta kuda dan budak Durven sebagai jaminan, ia pun menyuruh Durven kembali ke rumahnya dengan berjalan kaki untuk mengambil uang,” tulis Blusse dan Dening.


Durven yang kala itu belum menjabat Gubernur Jenderal tak terima dihina Wandoellah. Namun, ia menahan diri dan bertanya kepada Kapitan Melayu itu apakah ia bisa membayar utangnya di hari lain. Permintaan tersebut ditolak Wandoellah sehingga Durven pun pulang dengan berjalan kaki untuk mengambil uang dan menebus kereta serta para pelayannya.



Durven tak pernah melupakan perlakuan tak menyenangkan dari Wandoellah itu sampai ia terpilih menjadi Gubernur Jenderal. Sebuah kasus yang melibatkan Wandoellah di kemudian hari memantik kembali kemarahan dalam diri Durven. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menghukum Wandoellah dengan menyita seluruh hartanya serta membuang Kapitan Melayu itu ke Sri Lanka.


Menurut Mona Lohanda, Wandoellah merupakan korban kelicikan Durven yang dipecat dari jabatannya sebagai Gubernur Jenderal karena penyelundupan. “Wandoellah dibuang ke pengasingan di Sri Lanka pada tahun 1729 hanya karena ia berani menagih utang sang Gubernur Jenderal itu kepadanya sewaktu permainan judi,” sebut Mona.



Hal senada diungkapkan oleh Adolf Heuken. “Wan’dullah anak Wan Abdul Bagus adalah Kapten Melayu terakhir; ia ditipu oleh Gubernur Jenderal Durven dan dihukum secara tidak adil, karena gubernur pelit itu tidak mau membayar utangnya,” ungkap Heuken.


Sebelum dibuang ke tempat pengasingan di Sri Lanka, Wandoellah harus menjalani hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Selain itu, barang-barangnya yang diperkirakan lebih dari 100.000 rixdollars disita. Tanah pribadinya, Kampung Melayu, dijual. Durven sendiri dipecat sebagai Gubernur Jenderal pada 9 Oktober 1731, tetapi baru benar-benar turun dari jabatannya pada 1732.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Sebagai anak “broken home”, Soeharto pontang-panting cari pekerjaan hingga masuk KNIL. Copot seragam ketika Jepang datang dan pulang kampung dari uang hasil main kartu.
Lima Generasi Mengabdi di Istana

Lima Generasi Mengabdi di Istana

Dari generasi ke generasi, keluarga Endang Sumitra merawat dan melayani di Istana Bogor.
Guru Besar Itu Bernama Mamdani

Guru Besar Itu Bernama Mamdani

Ayah Zohran Mamdani pernah diusir Diktator Idi Amin. Karya-karyanya menyinggung Afrika pasca-kolonial hingga hukum adat di Indonesia.
Setelah Lama Berpuasa

Setelah Lama Berpuasa

Setelah Orde Baru tumbang, partai-partai berbasis NU didirikan dan berebut suara warga nahdliyin. Tak semuanya bertahan.
Warisan Jaringan Gas Kolonial

Warisan Jaringan Gas Kolonial

Sempat mandeg karena perang, perusahaan gas Belanda beroperasi kembali tapi kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Bagaimana nasib warisan kolonial ini?
bottom of page