top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Dua Kesatuan Tentara Nyaris Bentrok Gegara "Rebutan" Tapol

Nasib tapol harus malang, itu sudah biasa. Tapi yang ini, tapol justru dijadikan "rebutan".

18 Sep 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ir. Djoko Sri Moeljono, insinyur metalurgi lulusan Moskow yang pernah dijadikan "romusha" modern di Banten (Repro "Banten Seabad Setelah Multatuli")

Diperbarui: 12 Jul

KENDATI tak mengerti politik apalagi terlibat di dalamnya, peristiwa politik G30S telah menghancurkan hidup Ir. Djoko Sri Moeljono. Mimpi insinyur metalurgi lulusan Moskowskii Institut Stali i Splawov (Institut Baja dan Alloida Moskwa) itu untuk ikut membangun negeri lewat ilmu yang dimilikinya musnah seketika. Tak hanya Proyek Baja Trikora (cikal-bakal Krakatau Steel), tempatnya bekerja, yang terhenti akibat gonjang-ganjing politik usai G30S tapi juga dirinya ikut dijadikan tahanan politik (tapol).


Menjadi tapol di masa kekuasaan Orde Baru (Orba) ibarat tinggal selangkah lagi ke akhir hidup. Bila selamat dari kematian, tapol tetap harus menjalani kehidupan yang berat, mulai dari disiksa aparat, dihina sampai dikucilkan masyarakat hingga akhir hayat.


Djoko tak pernah tahu apa kesalahannya. Seperti ribuan tapol ’65 lain, dia tak pernah diadili. Yang dia tahu hanyalah hidupnya seketika berubah dan kemerdekaannya hilang lantaran harus mendekam dalam sel. Sedikit “kemerdekaan” baru diraihnya setelah dia dan tapol-tapol lain di Banten dikerahkan dalam proyek-proyek pembangunan daerah sebagai “romusha” alias pekerja paksa.


Di masa menjadi “romusha” modern setelah Indonesia merdeka itulah Djoko pernah mengalami hal tak masuk akal yang cenderung kocak lantaran sebagai tapol dirinya justru “dimanusiakan”. Ceritanya dimulai dari ditugaskannya Djoko dan rekan sesama tapol, Ir. Mamad Sumadiredja, ke Bandung oleh Komandan Proyek BIII (Proyek Karangantu) cum Dan-Yon 308 Mayor Inf. Supeno. Kepergian mereka yang tanpa pengawalan itu dibekali dengan surat jalan yang ditandatangani Mayor Supeno.


Namun, kepergian Djoko pada 1 April 1967 itu tak diketahui Mayor CPM Eddy Sirodz selaku komandan Detasemen Polisi Militer (Denpom) Serang. Sebagai orang nomor satu di Denpom Serang, tempat Djoko dan tapol-tapol yang dipekerjakan di Proyek Karangantu tinggal, Sirodz tak terima Djoko dan Mamad pergi tanpa izin darinya. Sirodz kemudian membahasnya dengan Kepala Seksi I Korem 064 Mayor Inf. Hasibuan. Kedua mayor itu kemudian mendatangi lokasi proyek untuk menemui Mayor Supeno.


Tanpa diduga, dialog ketiga mayor itu berubah jadi perdebatan yang terus memanas. Saling maki pun terlontar dari mulut dua mayor yang saling bersitegang itu. Djoko dan beberapa rekannya yang ada di lokasi sampai bisa mendengarkannya dengan jelas.


“Mayor Supeno menantang kedua mayor yang lain berkelahi. Kami tidak tahu harus berbuat apa seandainya mereka jadi berkelahi. Duel tidak terjadi, kedua tamu meninggalkan Karangantu dengan bersungut-sungut. Mereka sadar yang dihadapi seorang Danyon, kalau dilayani bisa berakibat runyam. Paling tidak ia membawahi empat kompi pasukan, minimal lima ratus orang kalau batalion lengkap,” catat Djoko dalam diary-nya yang dibukukan, Banten Seabad Setelah Multatuli: Catatan Seorang Tapol 12 Tahun dalam Tahanan, Kerja Rodi dan Pembuangan.


Lagi-lagi, para tapol yang harus menanggung akibatnya kendati mereka tak sedikitpun kuasa menentukan apapun. Djoko dan Mamad dijemput dari lokasi proyek oleh seorang utusan dari Denpom, lalu dibawa ke markas Denpom keesokan harinya. Di sana, kedua tapol itu ditahan dalam sebuah sel.


Penahanan Djoko dan Mamad itu tanpa sepengetahuan Mayor Supeno. Ketika kemudian mengetahuinya, Mayor Supeno pun meradang.


“Setelah mengetahui bahwa kami berdua diambil petugas CPM, Mayor Supeno berang karena merasa dilecehkan dan memerintahkan regu Zipur mengepung Denpom Serang. Tentu saja jadi heboh dan gempar, pasukan Zipur mengepung Markas Denpom Serang untuk membebaskan dua tapol. Besar kemungkinan anggota Zipur di Karangantu berada di bawah komando Mayor Supeno, atau dalam istilah militer di BP-kan atau Bawah Perintah. Kemudian kami berdua dikembalikan ke Proyek Karangantu,” sambung Djoko.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page