- Petrik Matanasi
- 4 Jul
- 2 menit membaca
BEBERAPA tahun silam, keretaapi dengan rute Makassar–Parepare beroperasi. Banyak orang berpikir, ini adalah jalur keretaapi pertama di Sulawesi Selatan.
Padahal, di zaman kolonial Hindia Belanda sudah ada layanan keretaapi antara Makassar dengan daerah-daerah sekitarnya. Pada 1 Juli 1923, layanan keretaapi antara Makassar dengan Takalar sudah dibuka.
“Jalan rel tersebut yang panjangnya 47 km menghubungkan kota Ujungpandang (dulu namanya Makasar) dengan Takalar,” kata buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Volume 1.
Pembangunan jalur keretaapi itu di tahun 1918 dan 1919 saja sudah menjadi pembicaraan. De Locomotief edisi 28 November 1918 memberitakan bahwa Volksraad (Dewan Rakyat) membicarakan anggaran belanja Modal untuk Kereta Api dan Trem Negara yang ditambah 600.000 gulden untuk pembangunan jalur Takalar-Maros sehingga pos ini menjadi 1.000.000 gulden. Het Vaderland tanggal 12 April 1919 memberitakan, pembangunan jalur keretaapi penghubung Takalar-Makassar-Maros adalah hal penting.
Setelah beroperasi, layanan keretaapi itu dikelola oleh Staatstramwegen op Celebes (STC) yang merupakan bagian dari perusahaan keretaapi negara Staatsspoorwegen (SS). Moda transportasi massal itu menjadi penting dalam angkutan barang antara daerah yang dulunya dikuasai Kesultanan Gowa itu. Salah satu buktinya ditunjukkan oleh sebuah stasiun yang terletak tak jauh dari Pelabuhan Nusantara, Makassar. Tak jauh dari makam Pangeran Diponegoro di Kampung Melayu, Makassar yang dekat dari pelabuhan, dulu pernah ada sebuah stasiun. Stasiun itu disebut dalam koran Belanda sebagai Pasarboeton. Orang setempat menyebutnya Pasar Butung. Pasar ini tak hanya ramai tapi juga terkenal sejak dulu.
“Dulu pasar ini selain berfungsi sebagai tempat perbelanjaan penduduk, juga menjadi tempat perdagangan gelap,” catat Mukhlis Paeni dalam Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan: Mobilitas Sosial Kota Makasar, 1900-1950.
Pasar Butung punya nilai ekonomis tinggi di zaman Hindia Belanda. Dari Stasiun Pasarboeton itu arus barang menyebar ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Pun sebaliknya, beragam komoditi dari berbagai daerah diangkut ke stasiun tersebut untuk dibawa ke Pelabuhan Makassar yang, kurang dari 1 kilometer jaraknya, akan menyebarkan ke berbagai kota besar di luar Sulawesi.
Namun, penggunaan teknologi keretaapi di Sulawesi Selatan jelas punya kendala, bahkan memakan korban. Het Nieuws van den dag van Nederlandsch Indisch tanggal 21 Juli 1924 memberitakan bahwa pada 20 Juli 1924 dua gerbong keretaapi Takalar-Makassar tergelincir di dekat Stasiun Sungguminasa diperkirakan karena salah posisi sakelar. Akibatnya, seorang perempuan dan seorang anak terluka karenanya.
Pengoperasian keretaapi di Sulawesi Selatan tentu punya lika-likunya. De Locomotief tanggal 18 September 1929 memberitakan, pernah ada kemungkinan penghentian pengoperasian trem di Sulawesi. Ketika itu mobil truk barang atau mobil penumpang sudah menjadi pesaing bagi keretaapi. Mobil-mobil itu tentu bisa menjangkau daerah yang tak memiliki stasiun dan jalur keretaapi.
Salah satu solusi yang diambil SS untuk mengatasinya yakni berupaya memperpanjang rel sampai ke daerah Bantaeng. Artinya keretaapi akan melewati pula daerah Jeneponto. Perpanjangan rel akan membuat kereta STC mengangkut banyang barang pula.
Namun, pengoperasian keretaapi rupanya tak berjalan manis di Sulsel era Hindia Belanda. Depresi Ekonomi tahun 1929 telah menghajar perekonomian Sulawesi Selatan pula hingga mobilisasi barang mempengaruhi pelayanan keretaapi di Makassar dan sekitarnya. Setelah Indonesia merdeka, apa yang telah dibangun pemerintah kolonial itu bagaikan tidak pernah ada. Pemerintah Indonesia sejak 1950 hingga puluhan tahun berikutnya tidak menaruh minat kuat pada layanan keretaapi di Sulawesi selatan. Orang Sulawesi Selatan umumnya lebih suka menyewa mobil kecil daripada naik kendaraan besar. Keretaapi pun terlupakan, seperti tak pernah eksis di Sulawesi.
Comments