top of page

Sejarah Indonesia

Gerinda Suka Diejek Pki

Gerinda Suka Diejek PKI

PKI mengejek anggota Gerinda karena kuno, konservatif, feodal, tak terpelajar dan bodoh.

17 Desember 2012

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kampanye PKI.

Kampanye PKI.


SETELAH vakum selama masa pendudukan Jepang, Pakempalan Kawula Ngayogyakarta (PKN) muncul kembali pada 1951 sebagai partai politik dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda). Ketuanya dipegang Pangeran Suryodiningrat, pendiri PKN.


Meski tak punya cabang-cabang di daerah, kecuali wakil-wakil penerangan partai di tiap kabupaten, Gerinda mendapat sambutan hangat. Mereka meraih kursi lumayan dalam pemilihan DPRD Yogyakarta tahun 1957. Pesaing utamanya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang belum sembuh benar akibat pukulan telak militer karena Peristiwa Madiun 1948. Dari total 57 kursi, PKI meraih 14 kursi. Diikuti oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8 kursi dan Gerinda 6 kursi.


Dari seluruh perwakilan DPR provinsi, kota dan kabupaten di seluruh Yogyakarta, PKI menduduki tempat pertama dengan 65 kursi, disusul PNI 37 kursi, Masyumi 29 kursi, dan Gerinda 28 kursi. Jumlah kursi seluruhnya adalah 207 kursi.


Kendati tak punya perangkat ideologi eksplisit, Gerinda bisa diterima masyarakat pedesaan Yogyakarta yang buta huruf karena ketertarikan atas cara-cara mistik yang disampaikan anggota-anggota Gerinda. Sebaliknya, meski tak sepenuhnya dimengerti masyarakat pedesaan, PKI menarik hati kaum proletar miskin yang berharap akan masa depan yang lebih baik.


Seperti pada Gerinda, pengkultusan pemimpin juga terjadi di PKI. Semua keputusan dan perintah DN Aidit, ketua PKI, merupakan pedoman untuk kegiatan-kegiatan anggotanya di seluruh Indonesia. “Gambarnya terpajang di rumah anggota-anggota PKI. Pimpinan dan anggota biasa adalah saudara tua yang senantiasa ada dalam partai,” tulis Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta.


Para anggota Gerinda dan PKI mempunyai perasaan kelompok yang kuat. Namun, bagaimana cara perasaan kelompok itu terbentuk berbeda-beda. Perasaan kelompok di PKI dibentuk dengan ceramah dan indoktrinasi oleh pimpinan. Mereka biasa menggunakan kata-kata asing: kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, kolektivisme, dan Marxisme. Ini dilakukan agar terkesan intelektual bagi masyarakat tak berpendidikan dan buta huruf.


Menurut Soemardjan, untuk membuat kaum komunis sadar akan rasa perbedaan, dengan sengaja mereka menerapkan metode “menonjolkan perbedaan”. Di tingkat pusat, PKI menetapkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai lawan politik. Sedangkan di Yogyakarta, Gerinda dipilih sebagai sasaran. Pemuda Rakyat dan ormas pemuda PKI begitu agresif mengejek anggota Gerinda yang dianggap kuno, konservatif, feodal, tak terpelajar, dan bodoh.


“Sebagian besar anggota PKI yang aktif di Yogyakarta adalah generasi muda yang bergerak menjauh dari generasi tua,” tulis  Soemardjan. Selain itu, tak ada partai lain di Yogyakarta yang memiliki kesiagaan, keterampilan berorganisasi dan taktik-taktik militan yang menyamai PKI.

Anggota Gerinda hampir tak pernah bereaksi secara progresif terhadap PKI atau Pemuda Rakyat, kecuali kalau ada penghinaan pribadi. Seperti keluhan seorang anggota Gerinda: “Kami telah dipesan oleh pangeran (Suryodiningrat, pemimpin Gerinda) untuk mengurus urusan kami sendiri dan tidak mencampuri urusan partai-partai lain. Kami tak tahu kenapa kaum komunis itu demikian agresif terhadap kami, tapi kami tetap diam saja.”


Gerinda adalah produk kebudayaan khas masyarakat Jawa di Yogyakarta. Seluruh aspeknya menggambarkan struktur sosial di Yogyakarta lama. Gerinda berakar pada kebudayaan masyarakat sebelum perang yang masih diteruskan generasi tua. Tak heran jika perubahan sosial, sejak kemerdekaan dan berkembangnya pendidikan, berdampak pada mereka. Banyak anggota Gerinda yang penuh dedikasi dan membeli kartu-kartu partai untuk keturunan harus kecewa karena anak-anak mereka menolak kartu-kartu itu. Anak-anak mereka lebih suka tidak terlibat dalam politik atau memasuki partai politik yang dipilih sendiri.


Baca juga: 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page