- Laila Amalia Khaerani
- 12 Jul
- 5 menit membaca
Diperbarui: 25 Jul
SEBAGAI kota penghasil udang, Cirebon dikenal sebagai daerah pesisir. Kondisi ini menjadikan pelabuhan-pelabuhannya dilintasi dan didatangi oleh banyak orang. Istilah Cirebon berasal dari kata Caruban, kemudian Carbon, Cerbon, dan akhirnya Cirebon.
“Caruban berarti campuran, karena tempat itu menurut kitab Carita Purwaka Caruban Nagari, didiami oleh penduduk dari berbagai bangsa, juga agama yang dianut oleh mereka, bahasa dan tulisan mereka menurut bawaannya masing-masing, begitu pula pekerjaan mereka berlain-lain,” catat Atja dalam Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah.
Namun, di tengah hiruk pikuk Cirebon, tersimpan sebuah tempat penuh kesunyian yang berada di dalam Taman Sunyaragi. Taman ini bukan hanya sekadar tempat terbuka hijau, tetapi juga terdapat sebuah gua yang juga dinamakan Gua Sunyaragi.
Istilah sunya berarti sunyi dan ragi berarti raga. Gua Sunyaragi dibangun sekitar awal abad ke-18. Letaknya berada di Kelurahan Sunyaragi, Kesambi, Cirebon. Bangunan ini terbuat dari batu dan bata. Di dalam gua ini terdapat dua pintu gerbang arah ke timur dan barat. Kedua pintu ini diberi nama Candi Bentar.
“Penempatan candi Bentar pada kompleks gua ini merupakan pintu gerbang bagian depan, kemudian diikuti oleh pintu paduraksa yang secara keseluruhan melukiskan motif awan dan karang,” catat I.G.N. Anom, Sri Sugiyanti, Hadniwati Hasibuan dalam Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I.
Candi Bentar merupakan sebutan untuk bangunan gapura simetris yang mencerminkan sisi kanan dan kiri secara identik. Gapura ini berasal dari arsitektur Jawa dan tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga tampak terbelah sempurna. Karena itu, Candi Bentar dikenal sebagai gerbang terbelah.
Setelah melewati Candi Bentar, terdapat pintu gerbang lainnya yang disebut Paduraksa. Pada bagian dindingnya, terdapat hiasan bermotif karang dan awan. Sedangkan di bagian bangunan sebelah timur terdapat relief dalam panel-panel bergambar ular yang sedang berkelahi dengan garuda. Selain itu, Gua Sunyaragi memiliki sejumlah bangunan.
“Selain pintu gerbang, bangunan gua Sunyaragi ini memiliki sejumlah bangunan yaitu: gua Pengawal, pitnu boroton, gua Pawon, gua Lawa, bangsa Jinem, inande Beling, monumen kuburan Cina, gua Padang Ati, gua Kelanggengan, gua Langse, gua peteng, kamar Panembahan terdiri dari: kamar hias, serambi, dan pelataran, kamar Keputren terdiri dari kamar mandi, kamar rias, serambi dan pintu belakang, balai kambang, cungkup balai kambang, kompleks gua Argojumur, dan danau,” catat I.G.N. Anom, Sri Sugiyanti, Hadniwati Hasibuan.
Gua Sunyaragi dibangun pada masa Pangeran Harya Cirebon atau Pangeran Kararangen, keturunan dari penguasa Kasepuhan Cirebon. Saat itu, gua difungsikan sebagai tempat istirahat keluarga sultan, tempat meditasi, latihan perang para prajurit, dan tempat pembuatan alat-alat perang.

Pangeran Kararangen Kacirebonan
Pangeran Kararangen merupakan putra dari Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya, Sultan Kasepuhan Cirebon pertama. Gelar “Sultan Raja Syamsudin” diberikan kepada Pangeran Martawijaya sebagai ciri khas kebangsawanan Islam.
“Perlu diketahui dan sebagai bahan perbandingan, bahwa raja Cirebon mempunyai peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Cirebon dan sekitarnya, karena sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Veth, bahwa kekuasaan para “raja” hanya terbatas pada nilai keagamaan saja,” catat Drs. M. Sanggupri dan Dra. Wiwi Kuswiah dalam Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon.
Pangeran Kararangen juga merupakan adik dari Sultan Jamaludin. Ketika Sultan Sepuh menua, ia menurunkan takhtanya kepada anak siulungnya, Sultan Jamaludin.
“Setelah Sultan Kasepuhan Pertama genap berusia 92 tahun kemudian takhtanya diserahkan kepada putranya Pangeran Dipati dan dinobatkan jumeneng Sultan Sepuh dengan nama Sultan Jamaludin,” catat Bambang Irianto dan Ki Tarka Sustahardja dalam Sejarah Cirebon Naskah Keraton Kacirebonan.
Sebagai adik, Pangeran Kararangen juga berharap memperoleh kedudukan seperti kakaknya. Ia sering memohon kepada kakaknya, Sultan Jamaludin agar mengabulkan permintaannya dengan berbagai cara.
“Jika malam Pangeran Kararangen mendekati Sultan Jamaludin, iapun tidur di lantai tempat tinggal kakaknya. Ia sangat berharap agar Kakanda Sultan memberinya bagian kedudukan untuk masa depan hidupnya,” catat Bambang Irianto dan Ki Tarka Sustahardja.
Tak kunjung dikabulkan, Pangeran Kararangen meminta bantuan kepada penguasa-penguasa Belanda di Cirebon. Ia dibantu oleh Tuan Petor, Tuan Martinus Samson, dan teman-temannya. Mereka adalah para pejabat Belanda di wilayah Cirebon. Usaha yang dilakukan adalah membujuk Sultan Jamaludin dengan memberikan kembang Sri Cempaka Putih.
“Hamba baru saja memetik kembang Sri Cempaka Putih di taman bunga, yang hanya memperoleh dua cungkup saja. Maka hamba berikan kepada kakanda satu cungkup, dan satunya lagi akan hamba berikan kepada seorang kakanda permaisuri,” kata Tuan Petor dalam Sejarah Cirebon Naskah Keraton Kacirebonan.
Sultan Jamaludin menerima pemberian kembang itu dan para tamu Belanda bertepuk tangan sambil bersorak gembira.
“Pangeran Kararangen harus mendapatkan kedudukan, dengan mendapatkan sebagian dari yang bisa dibagikan,” lanjut Tuan Petor.
Sultan Jamaludin luluh dan menyetujui untuk memberikan kedudukan kepada adiknya. Pangeran Kararangen memperoleh separuh kekuasaan Sultan Jamaludin. Ia diberi kawula bala sebanyak dua ratus ribu orang. Kedudukannya di Pakungwati dan menempati Pedaleman sebelah barat.

Saat menduduki jabatannya, Pangeran Kararangen diberi gelar Pangeran Harya Cirebon. Ia dikenal sebagai pengageng yang cakap dalam urusan administrasi. Selain itu, budi pekertinya menjadi panutan bagi para pengikutnya.
“Dalam hal akal dan budi pekerti tiada duanya hanyalah Pangeran Harya Cirebon, yang menjadi panutan para Gusti Wedana sebagai kawula Sang Sultan Jamaludin pada saat itu,” catat Bambang Irianto dan Ki Tarka Sustahardja.
Sebagai raja, Pangeran Kararangen merangkul berbagai pihak, termasuk orang-orang Belanda dan Cina. Dukungan berbagai pihak ini dimanfaatkan olehnya untuk membangun Taman Sunyaragi. Taman Sunyaragi dibangun dengan infrastruktur yang lengkap. Modal pembangunan didapat salah satunya dari orang-orang Cina. Oleh karena itu, tidak heran jika di dalam kompleks Taman Sunyaragi terdapat makam Cina.
Orang-orang Cina di Cirebon banyak berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka bermigrasi akibat pecahnya Perang Trunajaya, yaitu pertempuran Trunajaya dengan Mataram sejak tahun 1676 sampai 1682. Pada 1676 pasukan Trunajaya masuk ke Surabaya dan merebut seluruh Pesisir Timur. Ia menetap di Kediri dan membangun pertahanan berupa keraton dan sejumlah gapura.
“Konflik meletus dengan serangan Raden Trunajaya, seorang pangeran dari Madura Barat yang ingin membalas penghinaan Mataram terhadap keluarganya,” catat Deny Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia Jilid II.
Selama perang berlangsung, banyak penduduk Cina yang datang ke Cirebon. Mereka membawa harta bendanya dengan kapal. Di Cirebon, mereka merasa lebih aman untuk melanjutkan hidupnya. Saat itu Cirebon termasuk ke wilayah di bawah kekuasaan Paku Buwana I yang memiliki hubungan dekat dengan Belanda.
“Tetapi kali ini orang Belanda memihak putra mahkota lain (Paku Buwana I) yang telah menyerahkan semua hak atas Cirebon dan Madura bagian timur kepada mereka,” catat Deny.
Sebagai Tempat Menyepi
Dalam Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung Sumatera Utara, dan Riau, fungsi utama gua ini adalah sebagai tempat raja-raja Cirebon Kasepuhan menyepi dari kesibukan dunia dan berdoa kepada Allah SWT. Selain itu, dalam Cirebon yang Kukenal, taman ini sangat tepat sebagai tempat bertapa sesuai dengan arti namanya. Sunyaragi berarti menyepi dan memuaskan diri dalam suatu tujuan untuk mendapatkan Ridho Tuhan. Selain itu, Gua Sunyaragi dijadikan tempat berselawat karena menggantikan Pesantren Gunung sembung yang telah berfungsi sebagai makam raja-raja.
Gua Sunyaragi dianggap sunyi dan nyaman karena dibuat dalam bentuk taman yang dikeliling elemen alam. Sampai saat ini masih tampak kebun dengan pot-pot bunga dan jambangan yang dipajang, serta kolam kecil dari batu di setiap lokasi gua. Kondisi ini terasa asri dan bisa menyeimbangi Cirebon yang cenderung panas.
“Lingkungan Cirebon yang beriklim panas tampaknya menjadi dasar pula dalam pembangunan Sunyaragi. Unsur air yang dominan dibangunan ini memberi pengaruh kesejukan dalam lingkungannya,” catat Tugiyono Ks, Sutrisno Kutoyo, Ratna dalam Peninggalan Situs dan Bangunan Islam di Indonesia.
Pada 1763, Sultan Tajul Asyikin Amirsena Zaenudin atau Sultan Syamsudin IV mengembangkan pembangunan Gua Sunyaragi. Tidak berlangsung lama, pembangunan dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Amir Shidik atau Sultan Sepuh Muhammad Shofiudin. Ia membuat ruang bawah tanah yang luas. Pada masa pemerintahannya, kompleks gua dijadikan sebagai tempat latihan perang. Namun, pada tahun 1780an, kompleks ini diserang pasukan Belanda sehingga Gua Sunyaragi dihancurkan menjadi puing-puing bangunan. Baru pada tahun 1980, gua ini direvitalisasi oleh pemerintah.
“Situs ini telah mengalami beberapa kali pemugaran, antara lain ketika masa pemerintahan Sultan Syamsuddin IV, dan tahun 1937-1938 dipugar oleh Pemerintah Belanda. Empat puluh enam tahun kemudian atau tepatnya tahun 1984, situs masa Islam ini selesai dipugar oleh Pemerintah,” catat I.G.N Anom dan Tjepi Kusman dalam Album Peninggalan Sejarah Purbakala.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 139/M/1998, Gua Sunyaragi menjadi situs cagar budaya. Kini, Taman Sunyaragi digunakan sebagai tempat pertunjukan kesenian Kraton Kasepuhan. Dalam kesehariannya, tempat ini dijadikan sebagai wisata edukasi di Cirebon.*















