- Petrik Matanasi
- 30 Mei
- 2 menit membaca
SETELAH pemerintah Hindia Belanda menerapkan Politik Etis, program Kolonisatie atau transmigrasi kolonial –yang para transmigran atau pendatangnya disebut kolonist– pun dijalankan. Mula-mula, pemerintah membuat semacam koloni untuk daerah permukiman pendatang. Gedong Tataan di Pesawaran, Lampung terpilih sebagai yang pertama.
Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 14 Mei 1907 mencatat, mula-mula ada dua daerah yang dibuka: Paal 17 dan Paal 27 dari arah Telukbetung. Yang dimaksud Paal 17 adalah daerah bernama Gedong Tataan.
Kemudian, Paal 27 yang berada di sekitar Pasar Gadingrejo sekarang menyusul berikutnya. Permukiman kedua dibuka jauh di sisi barat Gedong Tataan. Soebaijasch Handelsblad tanggal 17 Mei 1907 menyebutkan, Gadingrejo inilah yang pada 1907 disebut sebagai permukiman kedua yang sedang direncanakan. Letakya di sisi Sungai Gadingrejo.
Pada Januari dan Februari 1907, jumlah keluarga bertambah 260 sehingga terdapat 335 keluarga. Dari 335 keluarga itu, totalnya terdapat 1171 jiwa dengan rincian 291 laki-laki yang sudah menikah, 291 perempuan yang sudah menikah pula, ditambah 96 laki-laki belum menikah, 90 perempuan belum menikah, dan 205 anak-anak. Setelah bulan-bulan itu, jumlah penduduknya akan bertambah lagi. Mereka yang belum datang ini akan berangkat ke daerah permukiman baru itu bersama-sama.
Daerah yang akan mereka datangi adalah daerah yang baru dibuka, namun bukan berarti tidak ada warga yang mendahului mereka dalam radius 100 km dari titik daerah baru itu. Orang Lampung asli sudah hidup di Pekon Margakaya atau Desa Margakaya. Ada yang menyebut, kampung ini sudah ada sejak 1738 alias lebih dari satu setengah abad sebelum para transmigran ini.
Selain warga Lampung asli, ada pula beberapa transmigran yang datang lebih dulu pada 1907. Soebaijasch Handelsblad tanggal 17 Mei 1907 memberitakan bahwa pada awal Juli 1906 sudah ada sekelompok transmigran yang sudah menetap di sana. Para transmigran itu mendapatkan subsudi beras dari pemerintah kolonial kerena mereka belum punya pemasukan, sebab lahan sawah dan kebun belum mereka tergarap.
Pemerintah kolonial menyediakan pondokan sementara untuk mereka tinggali semari membangun rumah dan lahan-lahan yang di antaranya sawah. Ketika itu, 140 rumah dibangun, di mana satu rumah bisa menampung tiga keluarga. Sarana irigasi untuk 23 hektare sawah juga disiapkan. Seorang kepala desa atau lurah juga akan dipekerjakan di daerah Gadingrejo itu. Sama seperti di Desa Bagelen, Gedong Tataan.
Pemerintah kolonial membiarkan hubungan antara orang Jawa di Lampung dengan keluarga mereka di Pulau Jawa terus terjalin. Bahkan, para transmigran dianjurkan untuk saling surat-menyurat dengan keluarga mereka di Pulau Jawa. Untuk itu, tukang pos disediakan antara permukiman transmigran dengan Telukbetung yang menjadi pusat Lampung kala itu.
Terkait perhubungan, akses transportasi jelas menjadi perhatian pemerintah. Jalan poros pun diusahakan pemerintah kolonial sehubungan dengan program transmigrasi itu.
Maka begitu diresmikan, Gadingrejo terus berkembang menjadi daerah pertanian dan permukiman. Sebuah pasar kemudian berdiri di sana.
Pada 1910, permukiman baru banyak diusahakan berdiri di sekitar Gadingrejo. Salah satunya, diberitakan Apeldoornsche Courant edisi 22 Januari 1910), adalah Purworejo, namanya sama dengan nama sebuah kabupaten di Jawa. Setidaknya ada puluhan desa muncul setelah transmigrasi kolonial di Lampung bagian selatan. Banyak darinya memiliki nama Jawa.
Di wilayah yang lebih barat dari Gadingrejo, banyak desa transmigran berdiri. Salah satunya adalah Pringsewu. Desa ini pada era 1930-an telah membesar. Pada akhir dekade 1930-an, nama Pringsewu lebih banyak dibicarakan, di mana sebelumnya Gadingrejo yang lebih sering. Pringsewu lama-kelamaan menjadi pusat, bahkan kemudian menjadi nama kabupaten yang membawahi Gadingrejo.*
Comments