top of page

Sejarah Indonesia

Hikayat Kopi Di Tanah Jawa

Hikayat Kopi di Tanah Jawa

Bagaimana sang biji hitam berkembang dan menjadi komoditi andalan para pebisnis Belanda.

Oleh :
21 Januari 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

TAHUN 1656, Belanda berhasil mengusir orang-orang Portugis dari Ceylon (Srilanka). Di wilayah tersebut, mereka menemukan hektaran kebun kopi yang  terbengkalai. Rupanya lahan itu milik orang-orang Arab yang ditinggalkan ketika Ceylon diduduki Portugis.


Mengetahui potensi ekonomis-nya di pasaran dunia saat itu, VOC (Maskapai Perdagangan Hindia Timur) lantas menyewa seorang pakar botani bernama Carolus Linnaeus. Lewat proses penelitian bertahun-tahun, Linnaeus  berhasil menemukan teknik pembudidayaan tanaman kopi.


“Linnaeus lantas menamakan tanaman kopi hasil budidaya-nya itu dengan Arabica,”tulis Gabriella Teggia dan Mark Hanusz dalam A Cup of Java.


Menurut pakar sejarah kopi Prawoto Indarto, istilah “Arabica” mengacu kepada orang-orang Arab yang kali pertama mengelola tanaman kopi itu di Ceylon. Bahkan ada anggapan di kalangan orang-orang Belanda bahwa tanaman kopi berasal dari tanah Arabia.


“Kalau memakai terjemahan bebas, Arabica itu kurang lebih berarti ‘tanamanya orang-orang Arab’,” ujar Prawoto.


Berdasarkan hasil risetnya, Linnaeus yakin bahwa tanaman kopi Arabica dapat berkembang secara maksimal di wilayah beriklim sub-tropis dengan hawa pegunungan yang sejuk. Pendapat sang pakar itu menjadikan salah seorang anggota De Heeren Zeventien (Tuan Tujuh Belas, para pemegang saham VOC) yang juga menjabat sebagai walikota Amsterdam Nicholas Witsen pada 1696 memerintahkan Andrian van Ommen (Komandan Angkatan Perang VOC di Pantai Malabar,India) untuk mengirimkan benih kopi Arabica ke Batavia.


Sesampai di Batavia, benih kopi Arabica lantas ditanam di Kedawung (tanah milik Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691—1704).  Namun karena seringnya banjir melanda desa di wilayah yang sekarang terletak di Tangerang Selatan itu, maka uji tanam tersebut mengalami kegagalan.


Pada 1699, seorang pejabat VOC bernama Hendricus Zwaardecroon kembali mencoba peruntungan dengan menanam benih Arabica di wilayah bantaran Sungai Ciliwung seperti Bifara Cina (Bidaracina), Kampung Melayu, Meester Cornelis (Jatinegara) dan wilayah-wilayah lain seperti Sukabumi dan Sudimara (Tangerang Selatan).


“Percobaan kedua itu ternyata sukses,” ungkap Teggia dan Hanusz.


Hasil tanaman kopi yang ditanam oleh Zwaardecroon itu lantas dibawa ke Balai Penelitian Botani Amsterdam pada 1706. Berdasarkan riset di sana kualitas kopi dari Jawa itu mutunya ternyata sangat baik. Setahun kemudian, benih Arabica dari Jawa tersebut diperbanyak lewat biji lalu disebar ke kebun-kebun botani di Eropa, termasuk kebun milik Raja Lois XIV.


Akhir 1707, Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704—1709) memberitahukan kepada De Heeren Zeventien bahwa dia telah membagikan tanaman kopi Arabica kepada beberapa bupati di sepanjang pantai Batavia sampai Cirebon.


“Dia membagikan itu hanya sekadar untuk kesenangan semata,” tulis Jan  Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720—1870.


Namun beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa tanaman kopi Arabica sama sekali tidak cocok ditanam pada dataran rendah. Maka dicobalah generasi awal kopi Arabica dari Jawa itu ditanam di wilayah-wilayah pegunungan yang tanahnya kaya unsur vulkanik seperti Cianjur dan Kampung Baru (Bogor).


Pada 1711, Cianjur memanen hasil tanaman kopi Arabica yang pertama. Desebutkan oleh Breaman, saat itu Bupati Cianjur Raden Aria Wiratanu III berhasil menyetor hampir 100 pikul kepada VOC. Harga yang dia peroleh adalah 50 gulden perpikul ( 1 pikul=125 pon).


“Cukup lumayan, meskipun sangat sedikit dibandingkan dengan harga yang tercatat di pasaran Belanda,” ujar Breman.


Kendati demikian, kiriman kopi dari Cianjur berhasil memecahkan harga lelang tertinggi di Balai Lelang Amsterdam. Biji-biji hitam asal Jawa itu dianggap mutunya lebih baik dibanding barang sejenis yang berasal dari Mocha, Yaman.


Menurut Prawoto, keberhasilan itu membuka peluang bagi Belanda untuk tampil sebagai pemain utama dalam bisnis kopi yang tengah menggila saat itu di Eropa. Maka berduyun-duyunlah para pebisnis Belanda mengembangkan tanaman kopi Arabica di wilayah Cianjur dan sekitarnya.


“Di tahun 1723, terdapat lebih dari satu juta pohon kopi Arabica tumbuh di Kabupaten Cianjur,” tulis Mudrig Yahmadi dalam Sejarah Kopi Arabica di Indonesia.


Tiga tahun kemudian, Belanda semakin berjaya sebagai pengekspor kopi terbesar di dunia. Produk mereka dikenal oleh mancanegara sebagai Java Coffee (Kopi Jawa) yang sejatinya berasal dari tanah Cianjur di Priangan Barat. 


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page