- Amanda Rachmadita
- 25 Sep
- 4 menit membaca
PEMBAHASAN tentang Hindia Belanda seringkali dikaitkan dengan sejarah kolonialisme Belanda di Nusantara. Sebutan ini juga digunakan untuk merujuk pada kehidupan masyarakat Indonesia di masa pra-kemerdekaan. Dalam kacamata politik maupun militer, Hindia Belanda menjadi bukti bagaimana sebuah negara mengatur dan mengeksploitasi bangsa lain. Di sisi lain, Hindia Belanda menjadi melting pot, tempat perpaduan berbagai budaya yang membentuk identitas baru. Hal ini terlihat dalam sastra Hindia Belanda yang tumbuh sejak abad ke-19.
Akademisi dan peneliti, Rhomayda Alfa Aimah, menyebut secara sederhana sastra Hindia Belanda dapat didefinisikan sebagai sastra yang lahir dari rahim masyarakat kolonial Hindia Belanda, ditulis oleh orang Belanda atau Indo-Eropa dan sedikit orang bumiputra dalam bahasa Belanda. Tema yang dibahas berkaitan dengan kehidupan kolonial di Hindia Belanda.
“Itu merupakan definisi sederhana, karena menjadi tidak sederhana ketika Indonesia merdeka, ketika Hindia Belanda sudah tidak ada lagi secara legal... Sebagai wilayah yang diimajinasikan, Hindia Belanda masih ada di memori orang-orang yang punya ingatan tentang Hindia Belanda dan tertuang dalam novel, puisi, lagu, musik, bahkan makanan meskipun Indonesia sudah merdeka. Jadi, sastra Hindia Belanda tetap hidup,” kata Rhomayda, yang biasa disapa Irma, dalam Simposium Festival Seni Multatuli bertajuk “Sastra Hindia Belanda dan Kita” yang diselenggarakan di Aula Multatuli, Setda Lebak, Banten, Sabtu (20/9/2025).
Sementara itu, menurut Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sastri Sunarti, akar sastra Hindia Belanda berasal dari catatan-catatan pelayar Belanda ke Hindia Timur. Catatan tersebut ditulis dalam beragam bentuk, salah satunya puisi. Ada satu bentuk puisi yang cukup populer pada masa itu, di mana sajak-sajaknya berisi tentang keagungan dan kemegahan suatu tempat atau tokoh-tokoh di masa VOC. Puisi-puisi yang ditulis pada abad 17 dan 18 itu menjadi penanda bahwa perkembangan sastra Hindia Belanda muncul jauh lebih awal, seiring dengan kedatangan orang-orang Belanda di berbagai wilayah di Nusantara.
Perkembangan sastra Hindia Belanda juga terkait erat dengan kemunculan percetakan di Batavia. Pada 1677, percetakan milik VOC di Batavia mencetak edisi ulang kamus Melayu-Belanda oleh Caspar Wiltens dan Sebastian Danckaerts. Kamus ini pertama kali terbit tahun 1623 di Den Haag. Kemudian pada 1685, buku Ichtitsaar Catechismoe dicetak oleh Abraham van den Eede di Batavia. Setelah tahun 1817 terjadi perubahan yang dramatis, yakni mulai dicetaknya surat kabar dan buku umum selain Alkitab.
Selain puisi, novel yang membahas kehidupan di wilayah koloni juga telah muncul sejak abad ke-18. Salah satunya novel Kraspoekoel yang ditulis oleh Willem van Hogendorp tahun 1780. Yang menarik, alih-alih berkisah tentang keagungan atau superioritas orang Belanda di wilayah koloni, novel ini justru memberikan gambaran tentang kekejaman tuan kulit putih kepada budaknya. Setahun setelah terbit, kisah dalam novel itu dipentaskan oleh anak Hogendorp.
“Dari judulnya saja sudah ketahuan tentang kekejaman seorang tuan Belanda kepada budaknya. Ayah dan anak itu sangat anti-perbudakan, dan ini terlihat jelas dalam karya tersebut,” ungkap Sastri.

Dari sudut pandang post-kolonialisme, novel-novel yang mengkritisi kekejaman orang-orang Belanda terhadap penduduk lokal, memberikan perspektif baru mengenai orang-orang Belanda di wilayah koloni. Sebab, biasanya karya-karya sastra Hindia Belanda yang menarik perhatian orang-orang Barat berkutat tentang kehidupan komunitas Indo-Eropa, Nyai, atau tema-tema “eksotis” seperti hantu, dukun, dan ilmu gaib.
Sastrawan dan akademisi, Sunu Wasono, menjelaskan tema karya-karya sastra Hindia Belanda yang menjadi perhatian Balai Pustaka, lembaga penerbitan yang didirikan pemerintah kolonial pada 1917. Kendati memiliki tujuan untuk memerangi keterbelakangan masyarakat dan membebaskan mereka dari takhayul serta tradisi kolot, lembaga tersebut memiliki aturan yang ketat terkait karya-karya apa saja yang dapat diterbitkan di sana. Akibatnya, muncullah berbagai penerbit swasta yang menjadi alternatif untuk mendapatkan buku-buku yang tidak lolos kriteria Balai Pustaka. Buku-buku alternatif yang diterbitkan di luar Balai Pustaka oleh pemerintah kolonial dicap sebagai “bacaan liar”.
“Sastra yang diterbitkan di luar Balai Pustaka dicap sebagai ‘bacaan liar’ karena seringkali dianggap membahayakan oleh pemerintah kolonial... Contohnya Student Hidjo yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo dan Hikajat Kadiroen yang ditulis oleh Semaoen... Karya yang ditulis Mas Marco misalnya, tidak mungkin diterbitkan oleh Balai Pustaka karena isinya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah,” kata Sunu.
Contoh lainnya adalah Rasa Merdika karya Soemantri, yang berkisah tentang Soedjanmo yang memilih berhenti sebagai pegawai negeri dan pergi mengembara ke berbagai tempat. Pemuda ini merasakan adanya ketimpangan dalam masyarakat. Dalam pengembaraan itu, ia bertemu dengan Kromotjiloko, seorang petani dari desa yang hidup menderita karena tanahnya dirampas untuk perkebunan. Dari sini, Soedjanmo memahami mengapa ketimpangan sosial terjadi di masyarakat. Ia makin mengerti setelah bertemu dengan Sastro, yang pengetahuannya luas karena berlangganan surat kabar kaum buruh. Soedjanmo juga mendapat pencerahan dari Soedarmo, tokoh pers dan propagandis, yang membuatnya memahami internasionalisme dan perbedaan pandangan tersebut dengan nasionalisme.
“Ditulis dalam Bahasa Melayu Rendah, Rasa Merdika menampilkan tokoh orang asing yang menjadi penjahatnya... Tokoh Vlammenhart yang kepentingannya hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya menjadi yang dipertuan, sementara Kromotjiloko berada dalam kaum yang tertindas... Jadi, intinya dalam karya ini bule digambarkan jelek. Nah, ini tidak mungkin diterbitkan di Balai Pustaka,” jelas Sunu.
Terlepas dari posisinya sebagai karya terbitan Balai Pustaka atau non-Balai Pustaka, karya-karya sastra Hindia Belanda tidak hanya berguna untuk mengetahui kehidupan masyarakat di wilayah koloni, tetapi juga dapat menjadi objek kajian poskolonial. Dengan demikian, menurut Irma, titik beratnya tidak hanya pada masa setelah kolonialisme, tetapi pada kritik terhadap praktik kolonialisme.
“Dalam pembacaan sastra biasanya lensa poskolonial dipakai dengan cara melihat representasi, contohnya, seperti apa tokoh lokal digambarkan dalam suatu karya. Apakah selalu negatif, apakah tidak pernah mempunyai opini dan hanya hadir di latar belakang cerita dan sebagai pelengkap saja. Lalu bagaimana penggambaran terhadap orang Eropa, apakah selalu dianggap sebagai pahlawan dan memiliki karakter yang positif,” sebut Irma.
Selain representasi, lensa poskolonial juga kerap digunakan untuk mengkaji diksi yang digunakan oleh pengarang dalam karyanya. Apakah terlalu merendahkan penduduk lokal atau terlalu mengglorifikasi orang Eropa. Sementara dalam konteks fokalisasi, yang dikaji adalah penentuan sudut pandang dalam suatu karya sastra.
“Mengenai hal ini, kita sebagai pembaca sastra Hindia Belanda, apakah kita bisa melihat sudut pandang orang lokal yang ada di dalam cerita, kita tahu cara pikirnya, atau kita hanya melihat dunia narasi melalui kacamata orang Barat saja... Yang disimpulkan pada akhirnya bukan hitam putih lagi,... yang muncul justru spektrum dari pemikiran sang penulis,” tambah Irma.
Dengan menggunakan lensa poskolonial, sastra Hindia Belanda tidak hanya memberikan gambaran tentang cara pandang dan cara hidup orang-orang di masa lalu, tetapi juga menjadi cermin kehidupan, yang dengan pembacaan secara kritis dapat menjadi refleksi mengenai kehidupan di masa kini.*










Komentar