- Historia

- 15 Jul
- 3 menit membaca
Diperbarui: 10 Okt
KECAP merupakan pelengkap dan penyedap makanan khas dari negeri Timur. Sejak awal ditemukan, kecap terus berevolusi hingga kini. Kecap berkembang dan menjadi khas di masing-masing daerah, tergantung ketersediaan bahan dan selera masyarakat setempat.
Sekira 2.500 SM, orang Tiongkok telah mengenal kecap. Kala itu kecap mulanya identik dengan kuah dari kaldu ikan. Menurut kitab Chau Lai, ritus seremonial Dinasti Chau yang ditulis sebelum tahun 1.000 SM, kaisar menggunakan 120 botol kecap untuk pelengkap dan penyedap makanan. Kwangtung dikenal sebagai penghasil kecap di sana, sehingga Canton sebagai ibukota secara alamiah menjadi pusat industri dan perdagangan kecap. Penggunaan kecap menyebar ke Jepang seiring penyebaran agama Buddha.
Di sana, saus serupa disebut shoyu, yaitu hasil fermentasi kedelai yang ditambah air garam. Di Nusantara, masyarakat mengkonsumsi kecap khas yakni kecap manis. Ia terbuat dari kedelai dan gula merah atau gula aren, yang telah lama dikenal di Nusantara bahkan sebelum gula tebu.
Sementara itu, bangsa Eropa yang datang ke Asia mencari berbagai bahan atau produk pangan tertarik dengan kecap. Kecap bagi mereka adalah saus unik yang lantas menjadi salahsatu komoditas di pasar internasional.
Dari Indonesia
Kecap diperkirakan berasal dari kata chiap atau kicap yakni dialek Hokkien, selatan Tionghoa. Banyak orang berdialek Hokkien berimigrasi ke Nusantara. Mereka berbaur sehingga muncul generasi Tionghoa yang lahir di Nusantara yang disebut Tionghoa peranakan. Merekalah yang mengawali pembuatan kecap di Nusantara. Namun, pembuatan kecap kemudian menjadi tradisi khas Nusantara dan konsumsinya terus meningkat.
Sedari masa kolonial Belanda, industri kecap menjamur di Batavia dan daerah sekitarnya atau disebut ommelanden. Hal ini, seperti diberitakan Sin Po, 12 Oktober 1940, tercermin dalam satu nama daerah di Batavia yang dulu disebut Gang Ketjap karena menjadi sentra pabrik kecap rumahan.
Karena tingginya permintaan pasar atas kecap manis Indonesia, muncul fenomena menarik, yakni inovasi pembuatan kecap dengan bahan alternatif. Seorang warga di Depok mencoba membuat kecap dari oncom dan gula putih. “Rasanya pun tidak kalah dengan kecap biasa,” tulis Pembangoenan, 14 Juli 1943.
Di Ciamis, harian Tjahaja, 22 Juni 1944, mengabarkan karena jumlah produsen kecap terlalu banyak, pada akhir masa pendudukan Jepang dilakukan penggabungan pabrik-pabrik kecap dalam satu wadah perusahaan patungan.
Tak hanya di Batavia dan kota-kota lain di Jawa, kecap menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Meski kebanyakan produsen kecap adalah kalangan Tionghoa peranakan, di luar Jawa terdapat merek kecap yang diproduksi kalangan bumiputra. Kecap ini dibangga-banggakan sebagai “kecap asli pribumi.” Pewarta Selebes, 10 Agustus 1943, memuat iklan kecap tersebut, yakni kecap Palopo dari Sulawesi Selatan.
Pabrik-pabrik kecap terus berdiri. Ada yang runtuh, beberapa masih bertahan hingga kini.
Kecap Berbahan Gula Aren
Meski zaman berganti, kecap manis tetap dicari. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari makanan khas Indonesia seperti sate, soto, dan nasi goreng. Uniknya, sekalipun menggunakan bahan baku yang sama, setiap kecap memiliki rasa yang khas. Tak heran jika kecap industri rumahan di suatu daerah bisa bertahan karena memiliki pelanggan tetap.
Menurut sejarawan JJ Rizal, sampai sekarang kecap lokal tetap jadi raja di daerah masing-masing. Kebanyakan kecap lokal masih berproduksi dalam skala industri rumahan. Namun, tak semua kecap dari industri rumahan memiliki kualitas terbaik dari resep terbaik yang diwariskan secara turun-temurun. Masih bisa ditemui produsen kecap yang sekadar latah memproduksi kecap lantaran pasar yang menggiurkan. Di sisi lain, beberapa kecap lokal bertransformasi menjadi merek berskala nasional dengan kontrol mutu tinggi dan dibuat secara modern.
Selain kedelai, lebih dari 50 persen bahan baku kecap manis khas Indonesia adalah gula merah. Dengan demikian, menggunakan gula merah, yakni gula kelapa atau gula aren yang terbaik, merupakan keharusan.
Beberapa merek kecap lokal terkenal seperti kecap Maja Menjangan dan kecap Segitiga di Majalengka menggunakan bahan baku gula aren. Kecap Maja Menjangan berdiri sejak 1940 dan kecap Segitiga pada 1958. Selain itu, kecap Piring Lombok sebagai merk dagang di Jawa Tengah sejak 1930 pun menggunakan gula aren. Kecap-kecap ini merupakan segelintir dari sekian banyak merek kecap Indonesia yang menggunakan gula aren.
Pada kenyataannya memang kebanyakan produsen kecap di Indonesia menggunakan gula kelapa yang ketersediaannya lebih banyak. Padahal, meski terkadang langka, manfaat gula aren justru lebih unggul dibandingkan gula kelapa.
Kecap-kecap yang lahir sejak puluhan tahun lalu telah membuktikan dan mempercayainya. Gula aren sebagai bahan baku kecap menghasilkan rasa kecap manis yang pas; selain enak juga sehat. Maka, kecap manis berbahan gula aren sebaiknya menjadi pilihan.*
Tulisan ini advertorial kecap manis cap Piring Lombok di Majalah Historia Nomor 20, Tahun II, 2014













Komentar