- Historia

- 14 Jul
- 4 menit membaca
Diperbarui: 10 Okt
JAUH sebelum mengenal gula tebu, masyarakat Nusantara, terutama Jawa, sudah memproduksi dan mengkonsumsi gula aren. Beragam makanan dan minuman khas Nusantara menggunakan gula aren, termasuk kecap manis, pelengkap dan penyedap makanan khas negeri ini.
Tak diketahui pasti kapan kali pertama masyarakat Nusantara mengolah nira dari pohon aren untuk membuat gula aren. Namun, diyakini teknik pengolahan gula aren sudah dikenal lama dan bertahan secara turun-temurun.
Catatan tertua yang tersedia mengenai sentra pembuatan gula aren tersua dalam prasasti Biluluk (1366-1395), yang dikeluarkan penguasa Jawa pada akhir abad ke-14. Prasasti ini berisi titah raja kepada keluarga kerajaan yang memerintah di Biluluk dan Tanggulunan, keduanya berada di wilayah otonom Lamongan yang sangat berarti bagi kerajaan Majapahit. Isinya antara lain memberi kebebasan kepada rakyat untuk bergiat di berbagai kegiatan, termasuk membuat gula aren, tanpa dipungut pajak. Menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Kerajaan-kerajaan Konsentris, selain garam dan nila, desa Blubuk terkenal mengkhususkan diri dalam pembuatan gula aren.
Hingga kedatangan pedagang Eropa sekira abad ke-16, gula aren dikonsumsi masyarakat setempat dan banyak ditemui di pasar-pasar tradisional. Di pasar Banten, misalnya, orang Belanda mencari dan mendapatkannya dengan harga murah. Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, menyebutkan, selain diperoleh dari pedagang lokal, gula aren di pasar Banten mendapat pasokan dari Jepara dan Jaccatra (Jakarta) di sepanjang pantai timur Jawa.
Sentra produksi gula aren kemudian menyebar di sejumlah wilayah. Ia bukan hanya dikonsumsi sendiri tapi juga diperdagangkan.
Berharganya Gula Aren
Gula aren adalah pemanis yang diolah dari nira, cairan dari pohon enau atau aren (Arenga pinnata). Hampir semua bagian dari pohon aren memiliki manfaat. Akarnya bisa dianyam menjadi cambuk hewan ternak. Batangnya dikenal kuat sebagai penyangga atau usuk genting. Di dalam batang aren terdapat sagu (pati) yang bisa dibuat tepung. Serabut pelepah aren bisa dipilin menjadi ijuk. Daunnya yang masih muda bisa menjadi pengganti kertas rokok. Bijinya, sering disebut kolang-kaling, dapat diolah menjadi manisan. Dan yang terpenting, tongkol bunga jantannya dapat disadap dan menghasilkan nira; dijual dalam tabung-tabung bambu sebagai legen (manis) dan tuak (asam), dan terutama menjadi bahan utama pembuatan gula aren.
Ahmad Junaedi, pengajar Departemen Agronomi dan Agrikultura Institut Pertanian Bogor, mengatakan bahwa aren menyebar secara alamiah, di antaranya dengan bantuan musang yang membawa biji aren. “Itulah sebabnya aren hanya jadi perkebunan rakyat yang tak besar produksinya,” ujarnya.
Pembuatan gula aren, terutama di Jawa, sudah dikenal lama. Menurut Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia, masyarakat Jawa telah memproduksi dan mengkonsumsi gula aren jauh sebelum orang Tionghoa memperkenalkan teknologi pengolahan gula tebu. Namun, kala itu gula aren masih diproduksi industri rumahan.
Seiring gairah perdagangan gula tebu di pasar internasional, pemerintah kolonial membuka perkebunan-perkebunan tebu dan membangun pabrik-pabrik gula. Bahkan, tebu menjadi tanaman wajib selama sistem tanam paksa. Gula tebu menjadi primadona, bahkan komoditas ekspor utama. Kondisi ini mengubah pola konsumsi gula di masyarakat secara umum, yang secara perlahan beralih ke gula putih.

Tentu saja ini tidak berarti gula aren menghilang. Gula aren masih diproduksi perusahaan-perusahaan kecil yang tersebar luas. Dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia karya Pieter Cruezberg dan J.T.M. van Lennen mencatat pada 1918 produksi gula aren mencapai dua kali produksi gula yang dihasilkan Hindia Belanda. Data ini juga menunjukkan sisi lain konsumsi gula aren; ia tetap menjadi bahan utama untuk pembuatan kue maupun sebagai pemanis yang tetap bertahan dari gempuran gula tebu dan kemudian gula bit. Penggunaan gula aren meningkat di masa perang. Bahkan cenderung langka. Di Kalimantan, misalnya, pada 1942, harga gula aren naik berkali-kali lipat. Dengan demikian, menurut berita Kalimantan Raya, 14 April 1942, bukan gulanya saja yang berharga, pohon aren pun bisa disewakan seharga f.40 sebulan untuk disadap.
Situasi itu membuat Soetan Sanif, seorang penyuluh pertanian, membuat tulisan menarik berjudul “Pantjaran Masjarakat” yang dimuat majalah Pandji Poestaka, 19 September 1942. Ditulis dengan gaya populer tapi kritiknya begitu mengena. Diceritakan, Arifin menyentil wajik buatan istri Zakaria yang dibuat dengan gula pasir; rasanya tentu kalah enak jika pakai gula aren. Dari sinilah obrolan menjurus pada kelangkaan gula aren hingga habisnya pohon-pohon aren untuk keperluan bikin rumah hingga gagang pacul. Sialnya, tak ada niat orang untuk menanam pohon aren.
“Padahal orang tua-tua berpesan,” kata Arifin, “pohon aren jangan sampai disia-siakan. Tak sedikit gunanya dalam masyarakat.”
Manisnya Gula Aren
Tak seperti di masa lalu, kini pohon enau mendapat perhatian lebih. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap petani dan pengrajin gula aren. Sejumlah investor mulai melirik mengembangkan perkebunan aren dan mendirikan pabrik. Ini karena produk-produk dari aren sangat dibutuhkan pasar dalam negeri maupun dunia.
Di Tomohon, Sulawesi Utara, sudah berdiri sebuah pabrik gula aren modern dan yang pertama di Indonesia. Mulai berproduksi sejak 2006, kini pabrik tersebut sudah mengekspor gula aren ke sejumlah negara Eropa. Di supermarket atau toko-toko serba ada, jangan kaget jika Anda menemukan gula aren dalam kemasan yang menarik. Ia berbentuk bubuk maupun cair; tidak lagi cetakan seperti yang selama ini kita kenal. Ini membuat penggunaannya lebih praktis.
Prospek cerah gula aren ini tak bisa dilepaskan dari kesadaran masyarakat akan manfaat gula aren, antara lain untuk menjaga stamina, metabolisme, serta peredaran darah. Menurut Ahmad Junaedi, kandungan sukrosa gula aren menjadikannya cepat berubah menjadi kalori atau energi baru.
Gula aren masih mendapat tempat di hati masyarakat. Ia tak tergantikan karena rasa, khasiat, dan aromanya yang khas. Minum teh atau kopi dengan gula aren akan tetap menjadi kebiasaan masyarakat. Beberapa panganan dan minuman tradisional juga terasa hambar jika tidak menggunakan gula aren.
Gula aren juga menjadi bahan utama pembuatan kecap manis, pelengkap dan penyedap makanan yang selalu tersedia di dapur-dapur keluarga Indonesia. Kecap manis yang menggunakan gula aren tentunya menjadi pilihan terbaik; selain enak juga sehat.*
Tulisan ini advertorial kecap manis cap Piring Lombok di Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014













Komentar