- Randy Wirayudha

- 20 Agu
- 5 menit membaca
BANYAK orang mengenal mendiang I Gusti Kompyang (IGK) Manila sebagai perwira yang banyak jasa dalam olahraga, dari sepakbola hingga wushu. Purnawirawan mayor jenderal itu juga dikenal sebagai “Panglima Gajah” karena keberhasilannya memindahkan ratusan gajah di Sumatera Selatan. Namun, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di masa mudanya Manila pernah menemani Presiden Sukarno di masa kesepiannya di Wisma Yaso.
Pria kelahiran Singaraja, Buleleng, Bali pada 8 Juli 1942 itu meretas kariernya di militer dengan jadi taruna Akademi Militer Nasional (AMN) di Lembah Tidar, Magelang kurun 1961-1964. Saat menjadi taruna itulah Presiden Sukarno berkunjung didampingi sejumlah perwira tinggi, termasuk Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letjen Ahmad Yani. Mengingat Bung Karno juga punya darah Bali, ia pun melempar satu pertanyaan pada Manila.
“Bung Karno bertanya, mau jadi apa setelah lulus AMN? Manila menjawab, ingin menjadi pengawal Presiden. Jawaban yang membuat Jenderal Ahmad Yani yang ikut hadir, lantas tertawa. Jenderal Yani mengatakan, ‘Pengawal Presiden itu (pangkatnya) kolonel, seperti Maulwi Saelan, bukan letnan dua.’ Manila hanya terdiam,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara.
Tetapi siapa sangka, jalan Tuhan mempertemukan lagi Manila dengan “Putra Sang Fajar”. Belum sampai tiga tahun berkarier di militer, pada 1 Januari 1967 Letnan Dua itu sudah jadi pengawal Presiden Sukarno yang terkungkung dalam isolasi politik di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala).
Meskipun masa tugasnya mengawal sang proklamator amat singkat, Manila punya kesan begitu mendalam terhadap penugasan itu.
“Resminya, Bung Karno masih Presiden tapi ia tak berdaya. Jenderal Soeharto-lah yang praktis memegang kekuasaan. Bung Karno seolah dalam karantina. Namun Manila tak bisa mengingkari kewibawaan dan kebijaksanaan Bung Karno sebagai pemimpin tak pernah luntur barang sesaat,” imbuh Hardy dan Edy.
Saat menemani Bung Karno, Manila pernah dititipkan sebuah pesan. Kelak jika Manila jadi pemimpin, pesannya, agar seyogyanya tidak pernah menyeragamkan apalagi mengubah kebhinekaan karena itulah yang jadi kunci kekuatan bangsa Indonesia. Satu dari sekian pesan yang terus diingat dan dipegang Manila, bahkan sampai akhir hayatnya ketika wafat pada Senin (18/8/2025) kemarin.
“Di hadapan Bung Karno (saat itu) Manila terenyak. Benarkah? Pertanyaan itu terjawab seiring waktu. Bung Karno benar adanya. Sejarah membuktikan, kebersamaan orang Indonesia, tanpa memandang latar belakang primordialnya, yang mampu menjadikan bangsa ini mencapai sejumlah puncak peradaban. Dari beragam pengalaman panjangnya, ia menyatakan sentimen primordial lebih sering jadi problem dalam upaya pencapaian tujuan bersama. Orang banyak lupa, keanekaragaman Indonesia sejatinya sebuah keunggulan,” tambah Hardy dan Edy.
Dari menggoda sampai makan sepiring berdua dengan Bung Karno
Gejolak politik pasca-G30S 1965 membuat Presiden Sukarno berangsur kehilangan kekuasaannya. Sebaliknya, Letjen Soeharto terus meningkat dan setelah mendapat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), praktis menjadi penguasa pemerintahan. Robert Edward Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik menulis, Soeharto mengakui bahwa Supersemar jadi tonggak sejarah untuk keselamatan rakyat, bangsa, dan negara, serta awal perjuangan Orde Baru.
“Langkah pertama (Soeharto) adalah membantu Sukarno membuat kabinet baru (Kabinet Dwikora yang disempurnakan) di akhir Maret untuk mengganti mereka yang dicopot melalui penangkapan dua pekan sebelumnya. Kabinet baru, secara efektif merupakan tritunggal antara Suharto sendiri, Adam Malik sebagai menlu, dan Sultan (Hamengkubuwana IX) yang menangani masalah ekonomi,” ungkap Elson.
Wewenang eksekutif Presiden Sukarno praktis telah hilang. Ia sekadar jadi simbol dan justru kemudian dijadikan tahanan politik. Mula-mula di Istana Bogor, lalu dipindah ke Wisma Yaso, Jakarta yang merupakan bekas kediaman Ratna Sari Dewi.
“Dalam beberapa literatur, keberadaan Bung Karno di Wisma Yaso baru terjadi pada tahun 1969 setelah kepindahannya dari Bogor. Dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya karya G. Dwipayana dan Ramadhan KH., Soeharto menceritakan: ‘Rachmawati (Soekarnoputri) menceritakan kesehatan ayahnya. Rupanya keadaan kesehatan yang menyebabkan beliau ingin pindah ke Jakarta. Maka pindahlah Bung Karno pada permulaan 1969 ke Wisma Yaso.’ Tetapi Manila punya cerita bahwa ia mengawal Bung Karno sejak 1 Januari 1967. Karena Manila hanya mengawal selama 10 hari dan pada tanggal 11 Januari 1967, Manila sudah mengambil cuti untuk ke Blora untuk menikah,” sambung Hardy dan Edy.
Ketika itu Letnan Manila belum lama pulang dari tugasnya di Kalimantan Barat dalam Operasi Dwikora sampai akhir 1966. Lantas ia ditarik ke Jakarta, tepatnya ke Satgas Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad) Para yang merupakan kesatuan pengganti pasukan pengawal presiden, Resimen Tjakrabirawa. Tepat di malam pada tahun baru, 1 Januari 1967, ia mendapat perintah dari komandan Satgas Pomad Para, Letkol Noorman Sasono, untuk sebuah tugas rahasia. Selain Letnan Manila, dua rekannya yang juga dapat perintah adalah Letnan Murudin dan Letnan Suyanto. Malam itu juga mereka menggunakan mobil “GAZ Komando” (jip GAZ-69) buatan Uni Soviet.
Tugas rahasia itu rupanya adalah menjaga Presiden Sukarno. Tak dinyana, kata-kata Manila semasa bersua Bung Karno di Lembah Tidar beberapa tahun sebelumnya terwujud. Tak urusan situasinya berbeda: menjaga tahanan politik. Selama di Wisma Yaso, Bung Karno diizinkan menyelesaikan pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang disampaikannya di muka MPRS pada 22 Juni 1966.
Letnan Manila dan kedua rekannya juga dipesankan agar melarang Bung Karno keluar dari Wisma Yaso dan melarang kunjungan tamu asing. Hanya izin menerima tamu-tamu keluarga dan kerabat serta sejumlah perwira yang lazim bertamu pada pagi hingga siang saja yang diperbolehkan.
Baru pada malam hari biasanya Manila menemani Bung Karno bercengkerama untuk mengusir sepi.
“Kegiatan Bung Karno hanya tiduran di kursi rotan. Beliau minta saya pijat kalau enggak ada kegiatan. Kebetulan teman saya berdua itu (Murudin dan Suyatno) lagi suka pacaran. Satu di Kebayoran, satu di Kemayoran. Saya yang ‘disogok’ disuruh menemani beliau (Presiden Sukarno) sendirian,” kenang Manila dikutip Hardy dan Edy.
Manila mengaku prihatin dengan keadaan Bung Karno. Kesehatannya mulai menurun, namun sekali pun tidak ada perawat di sampingnya. Obat-obatan pun hanya sekadarnya, semacam obat aspirin merk Naspro. Makananannya pun jauh dari istimewa, hanya sama dengan apa yang dimakan Manila dan para penjaga lainnya.
Oleh karenanya, di saat kesepian itulah Manila bisa dekat dan bercengkerama dengan Bung Karno, sosok yang Manila anggap bak “lelanang ing jagad” (lelaki yang pamornya melebihi semesta). Selain membicarakan politik dan kebangsaan, sering pula Manila memancing tawa Bung Karno sebagai pelipur laranya. Salah satunya ketika menggoda Bung Karno yang dikenal punya banyak istri dari berbagai daerah.
“Mungkin Irian (Papua, red.) belum, Pak?” celetuk Manila.
“Iya, iya. Lagi nyari ini,” balas Bung Karno terkekeh.
Kedekatan itu juga dimanfaatkan Bung Karno yang terkadang bosan dengan jatah makanan ala tentara. Pada suatu waktu, presiden minta dibelikan masakan Padang meski uang terbatasnya hanya cukup untuk beli sebungkus. Manila pun menyanggupi. Sekembalinya Manila dari sebuah restoran Padang di Pejompongan, Bung Karno mendesak untuk menyantapnya bersama alias sebungkus berdua. Manila menurutinya karena segan untuk menolak.
“Ketika mereka makan dengan tangan dari alas (nasi Padang) yang sama, baik tangan Bung Karno dan Manila sama-sama menyomot sepotong ayam goreng. Potongan ayam itu terangkat kedua tangan mereka, lantas jatuh karena keduanya sama-sama melepasnya. Bung Karno menyilakan Manila mengambil ayam itu. Manila diam. Ketika Manila diam, Bung Karno mengambil potongan ayam tersebut dan menaruhnya di porsi sang letnan. Manila rikuh dan menolak, ‘untuk Bapak saja,’” kenang Manila dikutip Hardy dan Edy.
Ketimbang merasa saling tidak enak, Bung Karno lalu membagi dua ayamnya hingga keduanya dapat lauk itu separuh-separuh. Mereka pun menghabiskannya dengan lahap meski hanya sebungkus berdua.
Sebelum mengakhiri tugasnya karena sudah mengambil cuti, Manila mendapat sebuah hadiah dari Bung Karno sebelum pamit pergi ke Blora setelah 11 hari menjaganya. Hadiah itu berupa sebuah cincin dengan berhias batu akik merah. Kata Bung Karno, cincin itu juga mulanya pemberian seorang bernama Mbah Japra, yang diklaim panglima perang Prabu Siliwangi dan makamnya ada di Kebun Raya Bogor. Percaya tidak percaya, Manila menerimanya.
“Saya tidak punya apa-apa, tetapi pakailah cincin ini. Kamu akan tenang,” tukas Manila menirukan pesan terakhir Sukarno.*













Komentar