- Amanda Rachmadita
- 4 Jul
- 3 menit membaca
DI masa-masa awal Indonesia merdeka, pemerintah menghadapi kesulitan akibat keterbatasan dana. Pemerintahan bekerja seadanya sehingga tidak mirip dengan pemerintahan yang selayaknya.
“Kami tidak memiliki apa-apa. Tidak ada mesin ketik, alat kantor, pesawat terbang; satu-satunya peralatan radio yang dapat diselamatkan buatan tahun 1935. Kami juga tidak memiliki uang,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Uang Jepang masih dapat ditemukan, tetapi nilainya merosot. Pemerintah Indonesia kemudian mencetak Oeang Republik Indonesia (ORI) di Malang pada 1946.
Menurut Sukarno, meski secara teori Indonesia telah memiliki uang sendiri, tetapi mutunya tidak bagus sehingga tidak diterima di luar negeri. “Kami tidak mempunyai apa-apa sebagai penjamin uang kertas itu...,” katanya.
Dengan segala keterbatasan, berbagai upaya dilakukan agar pemerintahan tetap berjalan. Salah satunya penyelundupan.
“Duta besar kami untuk Jepang menyelundupkan gula. Mantan duta besar kami di Amerika menyelundupkan candu. Singapura, Bangkok, Hong Kong, dan Manila merupakan empat kota penyelundup yang sangat bagus. Orang-orang kami bekerja di keempat kota itu,” kata Sukarno.
Salah satu produk yang dibawa masuk ke Indonesia adalah pakaian. Di Singapura, orang Indonesia menjalin kontak dengan mereka yang memiliki akses ke gudang-gudang militer untuk mendapatkan barang selundupan. Agar tak diketahui oleh atasannya, mereka kemudian membakar gudang itu.
Hasil bumi Indonesia yang diselundupkan antara lain emas, perak, karet, hingga gula. Sukarno menyebut A.K. Gani pernah menyelundupkan 9 kilogram emas dan 300 kilogram perak dari Sumatra untuk membayar 20.000 seragam. Dia juga menyelundupkan 8.000 ton karet. Karena aktivitasnya ini, Belanda menjulukinya raja penyelundup.
Selain AK Gani, kelompok lain menyelundupkan gula dengan mencarter kapal berbobot 600 ton dari Singapura. Kapal berlayar mengelilingi ujung utara Pulau Sumatra terus menyusuri hingga ke pantai selatan Pulau Jawa.
“Mereka menyelundupkan gula melintasi jalan rusak sepanjang 100 km ke pelabuhan tujuan. Mereka bekerja sepanjang malam untuk mengangkut gula itu karung demi karung ke atas 40 buah sampan dan membawanya ke atas kapal yang berlabuh pada jarak 30 mil dari pantai. Ada 10 kali kapal itu menembus blokade Belanda... Setiap orang bekerja menurut caranya sendiri-sendiri melalui perhubungan masing-masing dan uang diserahkan secara pribadi kepada perwakilan Republik di setiap negara,” kata Sukarno.
Perjalanan rombongan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim ke markas sementara PBB di Lake Success, New York tahun 1947 sebagian dibiayai dari hasil penyelundupan. Hal ini diungkapkan oleh Margono Djojohadikusumo dalam otobiografinya, Kenang-kenangan dari 3 Zaman.
Sebagai Presiden Direktur Bank Negara Indonesia, Margono bertanggungjawab untuk mendapatkan devisa bagi negara. Akan tetapi, melihat kondisi Indonesia yang menghadapi blokade Belanda, perdagangan dengan luar negeri tidak mungkin bisa dilakukan. Dengan demikian, penyelundupan ke luar negeri menjadi alternatif untuk mendapatkan “pemasukan”.
Margono teringat sebuah wilayah di dekat Temanggung dan Magelang yang memiliki kebun-kebun vanili. Komoditas ini tidak memiliki nilai pasar di dalam negeri sebagai imbas blokade Belanda. Vanili itu dikirim ke Singapura menggunakan pesawat yang membawa Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim.
“Dengan melalui bank menyuruh orang memborong persediaan-persediaan vanili, dibeli dengan Oeang Republik Indonesia yang persiapannya sebagian besar adalah kerja Sumitro [Djojohadikusumo], dan diangkut dengan pesawat yang akan membawa Sjahrir dan Agus Salim ke Singapura, tanpa dapat dirintangi oleh Belanda. Salah seorang saudara kita orang Tionghoa (A.P. Lim yang tak terbalas jasanya di Singapura) menyelenggarakan penjualannya,” tulis Margono.
“Dengan uang penjualan vanili itu dapatlah dibayar sebagian biaya delegasi Sjahrir dan Agus Salim. Sebenarnya hal ini patut saya rahasiakan kepada mereka, sebab tidak sesuai dengan ‘martabat’ delegasi Republik Indonesia ke PBB, bahwa perjalanan mereka dimungkinkan oleh vanili yang diselundupkan,” tambahnya.*










Komentar