- Randy Wirayudha

- 23 Apr 2018
- 2 menit membaca
NAGOYA, Jepang selama tiga hari (28-30 April 2018) bakal disemarakkan gelaran Indonesia Week. Perhelatan ini bertepatan dengan perayaan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang. Beragam kebudayaan Indonesia akan ditempilkan, mulai dari fesyen, tari tradisional, pertunjukan pencak silat hingga sajian musik.
Perhelatan dalam kerangka festival kolaborasi ini awalnya digagas sebuah simpul kolaborasi, Be Indonesia. Ini jadi gelaran kedua setelah tahun lalu diadakan di Osaka. Dalam rilis yang diterima Historia, Windu Widjaya selaku direktur Be Indonesia menyatakan, gelaran ini diharapkan bisa jadi momentum Indonesia, agar siap bersaing dalam hal promosi potensi produk kreatif dan pariwisata dengan negara-negara lain.
Oleh karenanya, acara ini juga menggandeng sejumlah pihak. Mulai dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kementerian Pariwisatan RI, Kementerian Perdagangan RI, Indonesian Trade Promotion Center (IPTC) Osaka, Kedutaan Besar RI Tokyo, Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), Indonesia Ceative Cities Network (ICCN), Pemprov Jawa Barat dan Sumatera Selatan, Pemkab Cianjur dan Bekasi, Ikatan Pengusaha Kenshuusei Indonesia (IKAPEKSI), IPI Jepang, hingga PPI Nagoya.
Sektor ekonomi sedari awal sudah mengiringi keterikatan Indonesia-Jepang sejak meresmikan hubungan diplomatik pasca Perang Dunia II tepatnya 20 Januari 1958. Tentu bukan hal mudah dua bangsa ini rujuk setelah apa yang dialami di masa perang.
Benih hubungan Indonesia dengan Jepang bermula dari Treaty of San Francisco pada 8 September 1951. Salah satu isi traktatnya membuahkan pampasan Jepang kepada Indonesia sebesar USD220.080. Kendati begitu Jepang berupaya bernegosiasi. Satu yang paling vital, mereka berharap para nelayan mereka diizinkan mencari ikan di perairan Indonesia.
“Jika Indonesia berkenan bekerjasama dengan Jepang dalam membangun Asia yang baru, Jepang bersedia menambah pampasan perang 200-300 juta dolar Amerika, namun Jika Indonesia menolak, Jepang takkan membayar sepeser pun pampasan perang,” cetus Perdana Menteri Jepang Shigeru Yoshida, sebagaimana dikutip Masashi Nishihara dalam Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations 1951-1966.
Niat Jepang untuk “rujuk” dengan Indonesia menguat pada 1952 hingga 1957, terutama setelah PM Jepang dijabat Nobusuke Kishi. “Tidak seperti para pendahulunya, Kishi ingin menjalin integrasi ekonomi dengan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kishi kemudian jadi PM Jepang pertama setelah perang yang mengunjungi Asia Tenggara pada Mei 1957,” tulis Indonesian Economic Decolonization in Regional and International Perspective.
Presiden Sukarno dengan harapan bisa menjadikan Jepang sebagai mitra potensial membangun perekonomian nasional, menyepakati sebuah kerjasama dengan PM Kishi pada 28 November 1957. Perjanjian yang berisi bantuan pembangunan sebesar USD400 juta itu baru diumumkan 8 Desember 1957. Pembangunan dalam hal proyek transportasi, komunikasi, pengembangan tenaga kerja, industri, pertanian, perikanan, pertambangan serta jasa.
Sebuah momentum laiknya peletakan batu pertama hubungan Indonesia-Jepang. Baru pada 20 Januari 1958 resmi dibuka hubungan diplomatik kedua negara dan sebulan setelahnya, Presiden Sukarno bertamu ke Jepang. Sementara kesepakatan sebelumnya yang diteken Sukarno dan Kishi dalam kerangka “Perjanjian Damai dan Pampasan Perang”, baru disahkan DPR pada 13 Maret 1958 dan diundangkan pada 27 Maret 1958.
Sampai sekarang, Jepang senantiasa jadi satu dari sekian mitra terpenting ekonomi Indonesia. Mengutip situs Kementerian Luar Negeri RI 17 Desember 2017, Jepang merupakan investor terbesar kedua Indonesia dengan nilai investasi pada 2016 mencapai USD5,4 miliar. Ini merupakan realisasi kesepakatan Strategic Partnership for Peaceful Prosperous Future sejak 2006 dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement sejak Agustus 2007.












Komentar