top of page

Sejarah Indonesia

Iran Dan Program Nuklirnya Bagian

Iran dan Program Nuklirnya (Bagian I)

Amerika Serikat awalnya membantu program nuklir Iran, namun berbalik karena menuduh Iran bikin senjata nuklir.

23 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

PLTN Bushehr milik Iran dekat pesisir Teluk Persia (iaea.org)

KABAR mengenai kapal induk Amerika Serikat USS Nimitz yang melewati perairan internasional dekat wilayah Aceh dan Malaysia sempat bikin heboh. Pasalnya kapal induk bertenaga nuklir tertua Amerika itu diisukan menuju Teluk Persia untuk turut mengepung wilayah Iran yang tengah berkonflik dengan Israel. 

 

Sejak 13 Juni lalu, Israel melancarkan serangan-serangan udara ke ibukota Iran, Teheran. Tak sampai 24 jam kemudian, Iran membalasnya dengan serangan-serangan drone dan misil hypersonic ke ibukota Israel, Tel Aviv. Baku serang itu turut mengganggu negosiasi tentang nuklir antara Amerika dan Iran yang berlangsung dengan alot sejak April 2025. 

 

Seiring kian sengitnya konflik Iran-Israel, Presiden Amerika Donald Trump ambil sikap. Pasca-mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Group of Seven (KTT G7) di Kanada (15-17 Juni 2025), Presiden Trump memberi peringatan kepada Iran karena saling serang antara Iran-Israel sudah memakan banyak korban di kedua belah pihak. 

 

“Mereka harusnya sudah menandatangani perjanjian yang saya tuntut agar mereka tandatangani. Sungguh memalukan dan disayangkan kehilangan nyawa yang sia-sia. Sederhana saja, Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir! Sudah saya katakan berulang kali! Semua orang harus evakuasi dari Tehran sesegera mungkin!” ungkap Trump di media sosial Truth, dikutip RIA Novosti, Kamis (19/6/2025). 

 

Pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei menegaskan, Iran takkan tunduk terhadap ultimatum apapun. “Pihak Amerika mestinya tahu bahwa intervensi militer apapun pastinya akan menghasilkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki oleh mereka,” ujarnya. 

 

Trump tentu masih memikirkan ulang sikapnya soal keterlibatan negerinya. Keputusan final akan diumumkannya dua pekan ke depan. 

 

“Berdasarkan fakta bahwa terdapat kesempatan yang substansial terkait negosiasi dengan Iran yang mungkin saja terjadi atau mungkin tidak ke depannya, saya akan membuat keputusan apakah akan melakukannya (intervensi) atau tidak dalam dua pekan ke depan,” ungkap Trump yang disampaikan melalui Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt, dikutip BBC, Jumat (20/6/2025). 

 

Amerika Menyokong Program Nuklir Iran

Seperti halnya Indonesia, kemajuan teknologi nuklir pasca-Perang Dunia II juga menarik Iran, yang pada 1950-an masih kekaisaran pimpinan Mohammad Reza Pahlavi, untuk meliriknya. Keinginan itu ternyata mendapat dukungan dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Pada 1957, Iran dan Amerika pun menyepakati sebuah kerjasama energi atom. 

 

“Duta Besar (Dubes) Iran untuk Amerika Dr. Ali Amini, Ketua AEC (Atomic Energy Commission, red.) Lewis Strauss, dan asisten Menteri Luar Negeri Amerika William M. Rountree menandatangani perjanjian itu pada 5 Maret 1957. Penandatangannya secara formal diumumkan Shah pada pembukaan Pameran U.S. Atoms for Peace di Tehran pada 6 Maret 1957. Hampir dua tahun berselang pada 4 Februari 1959 diratifikasi masing-masing parlemen di Iran dan Amerika,” tulis Mohammad Homayounvash dalam Iran and the Nuclear Question: History and Evolutionary Trajectory.

 

Persetujuan kerjasama itu, lanjut Homayounvash, memungkinkan para sarjana Iran untuk memperdalam pelatihan dan pengalaman teknik dan sains nuklir dalam kerangka “Program Atoms for Peace” yang dipropagandakan Amerika sejak awal 1950-an. Banyak sarjana Iran dikirim ke Amerika untuk belajar di Argonne National Laboratory, Pennsylvania State University, dan North Carolina State College. 

 

Kerjasama itu juga membuahkan pembangunan reaktor riset pertama, Tehran Research Reactor (TRR), yang mulai beroperasi pada 1967. Ambisi Reza Pahlavi terkait energi nuklir kian menggelora pasca-Iran mendirikan Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) pada 1974. Berturut-turut kerjasama dengan negara-negara lainnya membuahkan pembangunan Pusat Riset dan Produksi Bahan Bakar Nuklir Isfahan pada 1974 dengan dibantu Prancis dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Bushehr pada 1975 dengan bantuan Jerman. 

 

“Di bawah kepemimpinan Shah Mohammad Reza Pahlavi, Iran memulai ambisi program nuklir yang ditujukan untuk mengembangkan PLTN dan siklus bahan bakar nuklir. Motivasi Shah mulanya memprioritaskan tujuan ekonomis untuk diversifikasi sumber energi dan mengurangi ketergantungan akan ekspor minyak. Akan tetapi komunitas internasional, utamanya Amerika, mulai memandang ambisi itu dengan kecurigaan akan pengembangan senjata nuklir,” ungkap Pasquale De Marco dalam Unconventional Global Order.

 

Kecurigaan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, Reza Pahlavi juga mulai merasa “terancam” oleh negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan yang juga punya program nuklir seperti Israel, India, dan Pakistan. Sebagaimana diuraikan Dave Dilegge dalam Iranian and Hezbollah Hybrid Warfare Activities: A Small Wars Journal Anthology, hal itu membuat sang Shah berusaha membeli alutsista yang berkaitan dengan nuklir medio 1975, seperti keinginan membeli kapal selam bertenaga nuklir dari Prancis dan membeli enam batalyon misil mobile Lance dari Amerika. 

 

“Jika di kawasan (Timur Tengah dan Asia Selatan) ini setiap negaranya mencoba mempersenjatai diri mereka dengan dengan senjata penting, meski dasar, tapi senjata nuklir, maka mungkin setiap kepentingan nasional negara manapun akan menuntut hal yang sama walaupun saya pikir itu sangat konyol,” ujar Shah Reza Pahlavi, dikutip Dilegge. 

 

Setidaknya sampai 1978 atau setahun sebelum Revolusi Iran, Presiden Amerika Jimmy Carter sudah mencapai kesepakatan dalam negosiasi dengan Shah Reza Pahlavi terkait program nuklirnya. Meski saat itu fasilitas-fasilitas nukir Iran sudah mampu menghasilkan daya mencapai 23.000 megawatt dan punya 20 persen persediaan pengayaan uranium, program nuklir Iran tetap akan ditujukan untuk tujuan-tujuan damai sekaligus memperkuat kerjasama keamanan yang lebih luas. 



Hozzászólások

0 csillagot kapott az 5-ből.
Még nincsenek értékelések

Értékelés hozzáadása
Senjata Rahasia yang Dikembangkan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II

Senjata Rahasia yang Dikembangkan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II

Seorang dokter gigi dan ahli bedah memiliki gagasan tidak biasa untuk membalas serangan Jepang atas Pearl Harbor. Menggunakan kelelawar yang membawa bom untuk membakar Jepang.
Para Haji dan Uang Palsu

Para Haji dan Uang Palsu

Kasus uang palsu melanda daerah Sepanjang, Sidoarjo. Beberapa haji terlibat di dalamnya.
Handala, Simbol Perlawanan Palestina dalam Seni Jalanan

Handala, Simbol Perlawanan Palestina dalam Seni Jalanan

Kapal bantuan kemanusiaan “Handala” yang menembus blokade Israel dinamai dari karakter kartun ikonik karya seniman Palestina korban Peristiwa Nakba.
Ted Lurie, Jurnalis Israel yang Masuk ke Istana Merdeka

Ted Lurie, Jurnalis Israel yang Masuk ke Istana Merdeka

Ted Lurie disebut sebagai orang Israel pertama yang terang-terangan masuk ke Indonesia, bahkan istana kepresidenan. Hampir mengancam hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara sahabat Timur Tengah.
Sebelum Felix Mendoza Dipancung

Sebelum Felix Mendoza Dipancung

Dia keturunan Portugis di Maluku. Dia bagian dari perlawanan terhadap tentara Jepang.
bottom of page