- Randy Wirayudha
- 17 Jun
- 6 menit membaca
HINGGA bulan keenam tahun ini, Israel sudah melancarkan serangan ke lima negara: Palestina, Lebanon, Suriah, Yaman, dan Iran. Namun begitu diserang balik Iran dengan misil-misil balistiknya, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu kabur ke Yunani. Warganya yang selama ini “merayakan” penderitaan penduduk Palestina di Gaza dan Tepi Barat pun mulai histeris dan kocar-kacir mencari perlindungan.
Saling balas serangan Israel-Iran jelas merecoki negosiasi program nuklir antara Iran dan Amerika Serikat yang sudah dilakukan di Oman dan Roma, Italia April 2025 lalu. Akibat serangan Israel ke ibukota Tehran pada Jumat (13/6/2025), Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi memastikan fase negosiasi berikutnya yang dijadwalkan pada 22 Juni 2025 di Oman dipastikan batal.
Pada 8 Juni 2025 lalu, Menteri Intelijen Iran Esmail Khatib mengklaim memiliki dokumen-dokumen rahasia dan sensitif terkait program nuklir Israel dan keterkaitan Amerika serta negara-negara Barat lain dalam pengembangan fasilitasnya. Pada dini hari 13 Juni 2025, PM Netanyahu membalasnya dengan menyatakan Israel melancarkan serangan preemtif dengan sandi Operation Rising Lion. Misil-misil Israel dan sejumlah drone-nya pun menyasar gedung-gedung permukiman di Tehran dan beberapa fasilitas nuklir Iran. Serangan Israel menuai kecaman sejumlah pihak, termasuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
“Otoritas Iran mengonfirmasi situs pengayaan (nuklir) Natanz turut terdampak tetapi tidak ada peningkatan radiasi. Mereka juga melaporkan situs Esfahan dan Fordow tidak terdampak. Perkembangan (serangan) ini sangat mengkhawatirkan. Berulang kali saya menyatakan bahwa fasilitas nuklir tidak boleh jadi sasaran serangan, terlepas apapun konteksnya karena akan berdampak pada masyarakat dan lingkingan. Serangan-serangan seperti itu akan memiliki implikasi serius bagi keamanan dan keselamatan nuklir, begitu juga dengan keamanan dan perdamaian kawasan,” ujar Dirjen IAEA Rafael Mariano Grossi di laman resmi IAEA, Jumat (13/6/2025).
Merasa kedaulatannya dilanggar, Iran membalas serangan sebagaimana yang terjadi pada April 2024 ketika Gedung Konsulat Iran di Damaskus diserang Israel. Bedanya, kali ini sejak 13 Juni 2025 malam Iran melalui Operation True Promise III menggempur gedung Kementerian Pertahanan Israel dan gedung Kementerian Luar Negeri Israel di Tel Aviv serta fasilitas-fasilitas intelijen Israel menggunakan lebih dari 200 misil balistik dan drone. Amerika “lepas tangan” selama basis-basis militernya di Timur Tengah tak diserang, sementara banyaak pemimpin dunia mendesak kedua pihak untuk menahan diri demi mencegah perang nuklir.
Sembunyikan Senjata Nuklir?
Dalam pembelaannya soal serangan preemtif terhadap Iran, Israel berujar meyakini Iran mempersenjatai uranium untuk membuat senjata nuklir. Maka Israel menyerang Iran untuk mencegah holocaust akibat serangan nuklir.
“Kami tidak ingin mengalami holocaust kedua, holocaust nuklir. Kami sudah mengalaminya sekali di masa lalu. Negara Yahudi tidak akan membiarkan holocaust terjadi kepada warga Yahudi,” cetus Netanyahu, dikutip The Jerusalem Post, Minggu (15/6/2025).
Netanyahu alpa bahwa apa yang negerinya lakukan terhadap warga Gaza sejak Oktober 2023 sudah tergolong holocaust. Bahkan, Menteri Warisan Budaya Israel Amiyal Eliyahu menyatakan ketika diwawancara Radio Kol Berama pada awal November 2023, penggunaan bom nuklir jadi opsi untuk menghancurkan Gaza, yang kemudian berbuah skors dari Netanyahu berupa tak dilibatkannya Eliyahu dalam rapat-rapat kabinet lagi.
Pernyataan Eliyahu memperkuat dugaan seolah Israel memiliki senjata nuklir. Selama ini, Israel tak pernah mengonfirmasi secara resmi dan tidak pernah pula menyanggahnya. Sementara, banyak pihak meyakini Israel punya senjata nuklir yang disembunyikan, mengingat Israel sampai sekaran tak pernah ikut menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir 1968.
Menariknya, Israel selalu mengembangkan kapasitas energi atom atau nuklir di balik beberapa palagan yang melibatkannya dengan negara-negara Arab. Senjata nuklir bahkan sudah jadi ambisi PM Israel pertama, David Ben-Gurion, untuk kemudian merekrut para ilmuwan fisika dan nuklir Yahudi saat Perang Arab-Israel 1948 masih membara.
“Apa yang dibuat (Albert) Einstein, (J. Robert) Oppenheimer, dan (Edward) Teller –ketiganya Yahudi– untuk Amerika, mestinya juga bisa dibuat oleh para ilmuwan di Israel demi bangsanya,” ungkap PM Ben-Gurion, dikutip Avner Cohen dalam Israel and the Bomb.
Israel memulainya dengan membentuk Korps Sains “Hemed Gimmel” di Tentara Pendudukan Israel (IOF) untuk melakukan survei geologi di Gurun Negev pada 1949. Mereka juga yang merekrut para sarjana fisika di Universitas Chicago yang belajar di bawah fisikawan Enrico Fermi. Pada 1953, Komisi Energi Atom Israel IAEC mulai menjalin kerjasama dengan Prancis, mulai kerjasama penelitian hingga pembangunan Reaktor Riset Nuklir Soreq di Palmachim dan Dimona di Negev.
Namun, lanjut Cohen, Presiden Prancis Charles De Gaulle kemudian memberi syarat untuk kelanjutan kerjasamanya. Pertama, Prancis menuntut Israel tidak lagi merahasiakan Proyek Reaktor Dimona dan menyatakan reaktornya untuk tujuan damai. Kedua, Prancis menuntut Reaktor Dimona membuka diri untuk pemeriksaan oleh IAEA.
“Sampai Israel memenuhi syarat-syarat itu, Prancis tidak akan memberi suplai uranium yang dibutuhkan untuk reaktornya. Terhadap syarat itu, Ben-Gurion minta pertemuan dengan De Gaulle yang diatur pada 14 dan 17 Juni 1960. Ben Gurion berjanji bahwa Israel tidak akan membangun senjata nuklir,” tulis Cohen.
Kekhawatiran tentang program nuklir Israel juga sempat diutarakan Presiden Amerika John F. Kennedy kepada Ben-Gurion medio 1963. Terlebih para pengawas IAEA dan Atomic Energy Commission (AEC) hanya diperbolehkan menengok fasilitas Reaktor Dimona secara terbatas.
“Kennedy makin sensitif terkait isu nuklir pasca-Krisis Misil Kuba pada Oktober 1962 dan ia mendesak pengawasan terhadap kompleks reaktor Israel. Apalagi, menurut laporan CIA, Uni Soviet bisa saja memanfaatkan isu nuklir Israel untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari negara-negara Arab dan dikhawatirkan akan membentuk sebuah aliansi Blok Arab melawan Barat,” ungkap Antonio Perra dalam Kennedy and the Middle East: The Cold War, Israel and Saudi Arabia.
Ironisnya, dua tahun pasca-kematian Presiden Kennedy terjadi Apollo NUMEC Affair. Ratusan kilogram suplai uranium Amerika hilang. Ditengarai, suplai uranium itu dicuri dan kemudian dibawa ke Israel.
“NUMEC (Nuclear and Material Equipment Corporation) di Apollo, Pennsylvania, sebelumnya dikepalai Zalman Shapiro, seorang pendukung zionis. Mereka punya kontrak dengan pemerintah Amerika untuk mengubah uranium yang sebelumnya untuk senjata bom agar dijadikan bahan bakar kapal selam bertenaga nuklir. Selama inspeksi pada 1964 dan 1965, AEC mengungkapkan bahwa uranium dalam jumlah besar yang diberikan kepada NUMEC untuk konversi bahan bakarnya tak pernah dikembalikan kepada pemerintah,” tulis Peter Pry dalam Israel’s Nuclear Arsenal.
Data AEC menyatakan uranium yang hilang itu antara 91-272 kilogram. Baik FBI, CIA, maupun Komisi Regulator Nuklir NRC juga coba melacaknya. Kelak pada 1976, NRC membawa hipotesa laporan-laporan yang tersedia kepada Presiden Jimmy Carter bahwa uranium yang dicuri itu diyakini dibawa agen-agen Israel. Namun pemerintahan Carter menolak membuat keputusan karena menganggap hasil laporannya tidak konklusif.
Menurut laporan CIA lainnya, sambung Cohen, Israel sangat mungkin untuk memulai produksi senjata nuklirnya seiring terjadinya Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967). Adapun menurut jurnalis investigasi Seymour Hersh dalam laporan yang dibukukannya, The Samson Option: Israel’s Nuclear Arsenal and American Foreign Policy, PM Levi Eshkol memerintahkan kepala riset dan pengembangan Kementerian Pertahanan Israel Brigjen Yitzhak Yaakov untuk menyiapkan dua senjata nuklir di Reaktor Dimona, meski batal karena kekurangan suplai plutonium.
Baru pada 1968 Israel melalui operasi rahasia yang dilancarkan agensi intelijen Mossad, membeli 200 ton uranium secara rahasia dari perusahaan tambang Belgia, Union Minière du Haut Katanga. Seiring Perang Yom Kippur (6-25 Oktober 1973), Menteri Informasi Shimon Peres sesumbar ingin memamerkan kemampuan nuklir Israel sebagai gertakan terhadap pihak Arab.
Dugaan lainnya adalah percobaan bom nuklir Israel di perairan Kepulauan Prince Edwards, Samudera Hindia pada 22 September 1979. Hingga kini, dugaan itu kondang dengan sebutan Insiden Vela karena Satelit Vela Hotel milik Amerika mendeteksi adanya dua kilatan cahaya yang menyilaukan dan hanya bisa dihasilkan dari energi nuklir.
Banyak pihak meyakini itu adalah percobaan senjata nuklir milik Israel yang bekerjasama dengan Afrika Selatan meski tudingan itu belum bisa diungkap karena kekurangan bukti. Presiden Carter enggan untuk langsung menuduh karena akan mengganggu kelanggengan Persetujuan Camp David 1978 dan Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979 yang dimediasinya.
“Walaupun terdapat keyakinan yang besar di antara para ilmuwan kami bahwa memang Israel melakukan uji coba ledakan nuklir di samudera dekat perairan selatan Afrika Selatan,” tulis Presiden Carter dalam catatan hariannya, dikutip Kai Bird dalam The Outlier: The Unfinished Presidency of Jimmy Carter.
“Misteri” tentang fasilitas Dimona juga sempat diungkap whistleblower yang juga mantan insinyur nuklirnya, John Crossman alias Mordechai Vanunu. Ia memberi kesaksian dan sejumlah bukti foto kepada media Inggris Sunday Times untuk imbalan yang tak diungkapkan.
Sunday Times mewawancarai Vanunu di suatu tempat di Australia pada 10 September 1986 untuk mengungkap program senjata nuklir Israel di Fasilitas Nuklir Dimona. Pihak Sunday Times pun memverifikasi cerita-cerita dari Vanunu kepada beberapa pakar nuklir seperti perancang senjata nuklir Amerika Theodore Taylor dan mantan insinyur Atomic Weapons Establishment (AWE) Inggris Frank Barnaby, sebelum dimuat.
Tak ayal Vanunu jadi buruan pemerintah Israel dan agen-agen intelijen Mossad menculiknya di Roma, Italia pada 30 September 1986. Vanunu digelandang ke kapal Angkatan Laut Israel INS Noga, yang disamarkan jadi kapal dagang untuk membawanya dari Italia ke Israel. Setelah diinterogasi dengan penyiksaan, Vanunu divonis 18 tahun hukuman bui di Penjara Shikma. Ia dibebaskan pada 2004 dengan syarat ia tak boleh meninggalkan Israel.
Pemerintah Israel yang pasti tidak pernah mengonfirmasi bahwa negerinya punya senjata nuklir namun juga tak pernah menyanggah aneka tuduhan kepada mereka. Tidak menutup kemungkinan klaim dokumen rahasia yang dimiliki Iran benar adanya. Sementara, Netanyahu terus bersikeras program nuklir Iran adalah ancaman bagi perdamaian, sebagaimana yang pernah ia tuduhkan kepada Presiden Saddam Hussein pada 2002 bahwa Irak sedang membangun senjata nuklir.
コメント