top of page

Sejarah Indonesia

Iran Dan Program Nuklirnya Bagian

Iran dan Program Nuklirnya (Bagian II)

Iran memulai program nuklirnya dengan bantuan Amerika. Perlahan pasca-Revolusi Iran dianggap sebagai ancaman.

24 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Fasilitas Nuklir Natanz Iran yang turut jadi sasaran pengeboman Amerika (nasa.gov)

IRAN terancam dikeroyok Israel dan Amerika Serikat. Setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuding Iran sedang membuat senjata nuklir dan mengklaim serangannya pada 13 Juni 2025 adalah langkah preemtif, Presiden Amerika Donald Trump mengancam akan ikut melancarkan intervensi militer. 

 

Potensi ancaman senjata nuklir Iran terus digencarkan sebagai justifikasi. Justifikasi seperti itu mirip dengan ketika Amerika menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal dan menjadikannya alasan menginvasi Irak pada 2003 hingga tumbangnya rezim Saddam Hussein. 

 

Iran tentu membantah. Sebagai negara yang ikut menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir, program nuklir Iran hanya untuk tujuan-tujuan damai. Justru Israel yang sampai sekarang belum pernah menandatangani traktat serupa dan program nuklirnya juga diduga menuju pembuatan senjata. 

 

Namun Trump sepertinya lebih percaya kepada Netanyahu daripada Iran, apalagi petinggi intelijen Amerika sendiri. Direktur Intelijen Nasional Amerika (DNI) Tulsi Gabbard sejak Maret 2025 sudah menyatakan bahwa Iran tidak sedang merancang program senjata nuklir. 

 

“Komunitas intelijen terus melakukan asesmen bahwa Iran tidak sedanng membangun senjata nuklir dan pemimpin tertinggi (Ali) Khamenei tak mengizinkan program senjata nuklir yang sudah ia hentikan pada 2003. Walaupun begitu cadangan uranium yang diperkaya Iran saat ini sedang dalam level tertinggi dan itu belum pernah terjadi sebelumnya bagi sebuah negara tanpa kepemilikan senjata nuklir,” lanjut Gabbard, dilansir Al Jazeera, 18 Juni 2025. 

 

Namun Trump tak peduli. Terlebih juga terdapat laporan berbeda dari Panglima Komando Pusat Militer Amerika Jenderal Erik Kurilla yang menyatakan apa yang dimiliki Iran sekarang sudah pada tahap menuju program senjata nuklir. 

 

“Saya tidak peduli apa yang dia (Gabbard) katakan. Saya pikir mereka sangat dekat memilikinya. Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Sesederhana itu,” tegas Trump. 

 

Dari asesmen Gabbard bahwa saat ini pengayaan uranium dalam program nuklir Iran memang sudah mencapai kemurnian 60 persen. Pengayaan uranium adalah proses meningkatkan konsentrasi isotop Uranium-235 (U-235). Untuk bisa membuat senjata nuklir, pengayaan U-235 harus mencapai 90 persen. Hal ini juga dikonfirmasi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) meski belum ada bukti Iran sedang membuat senjata nuklir. 

 

“Meski pengayaan uranium dengan pengawasan keamanan ketat tidak dilarang, fakta bahwa Iran sebagai satu-satunya negara tanpa kepemilikann senjata nuklir tapi memproduksi dan mengumpulkan uranium yang diperkaya hingga 60 persen masih jadi masalah yang mengkhawatirkan. Tapi kami tidak punya bukti apapun tentang adanya upaya sistematis (Iran) untuk menuju pembuatan senjata nuklir,” terang Dirjen IAEA Rafael Grossi. 

 

Ubah Haluan Program Nuklir Pasca-Revolusi

Seperti yang diuraikan dalam artikel sebelumnya, Iran memulai program nuklir pada 1957. Dibantu Amerika, Iran bisa memiliki reaktor pertamanya, Tehran Research Reactor (TRR) pada 1967. Berturut-turut pada 1974 dan 1975, Iran yang masih dipimpin Shah Mohammad Reza Pahlavi membangun fasilitas riset dan produksi bahan bakar nuklir di Isfahan dengan bantuan Prancis serta Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Bushehr dengan bantuan Jerman. 

 

“Setelah Revolusi Islam pada 1979, program nuklir Iran berjalan menuju perubahan yang signifikan. Pemerintahan baru Iran yang dipimpin Ayatollah Ruhollah Khomeini, berjalan dengan pendekatan konfrontasi terhadap negara-negara Barat dan menyatakan niatnya untuk mengembangkan kapabilitas nuklir untuk tujuan-tujuan damai,” tulis Pasquale De Marco dalam The Unconventional Global Order.

 

Setelah Iran mengalami transisi politik dari dinasti Shah Iran ke Republik Islam Iran, negara-negara Barat kian mencurigai program nuklirnya. Namun setahun pasca-revolusi, program nuklirnya tak jadi prioritas mengingat Iran harus bergulat dengan negara tetangganya dalam Perang Iran-Irak (1980-1988). Bahkan PLTN Bushehr jadi sasaran pemboman pesawat-pesawat Irak yang merusak beberapa situs reaktornya. 

 

Namun, konflik dengan Irak justru mempertegas perlunya Iran mempunyai program nuklir untuk tujuan pertahanan. Fasilitas-fasilitas lama dikembangkan dan fasilitas-fasilitas baru dibangun pada 1990-an dengan dukungan Rusia, Pakistan, dan China. 

 

“Iran membangun beberapa fasilitas nuklir lain, termasuk pabrik pengayaan uranium dan reaktor air berat, dan mulai mengakumulasi material fisinya. Aktivitas-aktivitas ini berjalan di bawah kerahasiaan dan hanya tersedia informasi terbatas untuk komunitas internasional,” tambah De Marco. 

 

Salah satu program yang paling mendapat perhatian dunia adalah Proyek AMAD sejak 1989. Dipimpin fisikawan Mohsen Fakhrizadeh, proyeknya diperkirakan akan menghasilkan nuklir dengan potensi bisa dipersenjatai pada 2000-an. Namun, proyek itu dihentikan Ayatollah Khamene pada 2003 atas tekanan internasional. 

 

“Pada 2002 program nuklir Iran mendapat tekanan ketika kelompok oposisi Iran mengungkap keberadaan fasilitas nuklir rahasia di Natanz. Ini memicu krisis diplomatik dan mengarah pada sanksi yang dikeluarkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Iran tetap menjalankan program nuklirnya hanya untuk tujuan damai meski komunitas internasional tetap skeptis,” lanjutnya. 

 

Iran menghentikan program senjata nuklir itu demi bisa memulihkan relasi dengan Amerika. Namun program pengayaan uranium yang masih dilanjutkan terus jadi perhatian IAEA. China dan Rusia menyatakan Iran berhak memiliki program nuklir untuk keperluan damai namun Amerika terus mendesak DK PBB mengeluarkan sanksi-sanksi. 

 

“Pada 22 Agustus 2006 Resolusi 1696 (DK PBB) menuntut Iran menghentikan pengayaan (uranium) nuklirnya untuk sementara. Pada 23 Desember 2006 Resolusi 1737 mendesak Iran tidak hanya menghentikan sementara pengayaan nuklirnya tapi juga proyek-proyek air beratnya. Pada 3 Maret 2008, Resolusi 1803 menjatuhkan sanksi pembatasan perjalanan, kredit ekspor, dan transaksi finansial kepada bank-bank Iran. Meski begitu China tetap menjalankankan bisnis seperti biasanya dengan Iran dan memilih jalan negosiasi. Dalam pertemuannya dengan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad di Beijing pada 6 September 2008, pemimpin China Hu Jintao menyatakan China menghormati hak Iran untuk menggunakan nuklir demi tujuan-tujuan damai,” tulis Shirley A. Kan dalam China and Proliferation of Weapons of Mass Destruction and Missiles: Policy Issues.

 

Terungkapnya fasilitas rahasia pabrik pengayaan bahan bakar uranium Fordow pada September 2009 lewat laporan-laporan intelijen membuat ketegangan kembali memuncak. IAEA pun mempertanyakan transparansi Iran terhadap fasilitas yang sudah dibangun sejak 2006 itu. Hasilnya Resolusi 1929 pada Juni 2010 membuat Iran kian dibekap sanksi ekonomi. 

 

Iran terus bergeming terhadap beragam sanksi. Negosiasi multilateral jadi jalan alternatif lewat sebuah kesepakatan interim antara Iran dengan negara-negara P5+1 (5 anggota tetap DK PBB plus Jerman mewakili Uni Eropa pada November 2013). Kesepakatan tersebut diresmikan pada 14 Juli 2015 dalam kerangka Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) untuk membatasi program nuklir Iran. 

 

Akan tetapi pada 2018 terdapat laporan intelijen Israel dan Amerika yang menyatakan Iran melanjutkan Proyek AMAD dengan adanya fasilitas rahasia di Turquzabad. Amerika pun keluar dari JCPOA, sementara Iran mengklaim laporan intelijen itu adalah hoaks. 

 

Hubungan Amerika dan Iran pun melulu dalam ketegangan yang bahkan berbuntut pada insiden pembunuhan. Seperti yang terjadi pada pembunuhan panglima Pasukan Khusus Quds Jenderal Qasem Soleimani oleh Amerika pada 4 Januari 2020 dan pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh pada 27 November 2020. 

 

Meski pada April 2025 Amerika dan Iran sempat membuka kans untuk negosiasi lagi, serangan Israel pada 13 Juni 2025 membuat agenda itu buyar. Parlemen Iran bahkan membuka kemungkinan untuk menarik diri dari Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir yang turut ditandatangani Iran pada 1970. 

 

“Melihat perkembangan terkini, pemerintah akan mengambil keputusan-keputusan yang tepat. Proposal rancangan undang-undang sedang dipersiapkan dan kami akan berkoordinasi lebih jauh pada tahap-tahap berikutnya dengan parlemen,” tandas juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmaeil Baghaei, dikutip Reuters, 16 Juni 2025. 



1 Comment

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Rated 5 out of 5 stars.

mantap

Like
Misil-Misil Iran yang Menembus Kecepatan Suara

Misil-Misil Iran yang Menembus Kecepatan Suara

Bermula dari mengimpor, Iran kini mampu membuat misil sendiri. Korea Utara turut berjasa dalam permulaan program misil di “Negeri Para Mullah”.
Sisa-sisa F-14 Tomcat di Negeri Para Mullah

Sisa-sisa F-14 Tomcat di Negeri Para Mullah

Kondang gegara film “Top Gun”, jet tempur F-14 Tomcat pernah jadi andalan AL Amerika. Iran kini satu-satunya negara penggunanya.
Iran dan Program Nuklirnya (Bagian I)

Iran dan Program Nuklirnya (Bagian I)

Amerika Serikat awalnya membantu program nuklir Iran, namun berbalik karena menuduh Iran bikin senjata nuklir.
Membedah Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia

Membedah Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia

Tema sejarah kesehatan masih begitu terbatas dalam historiografi Indonesia. Sejarawan Hans Pols menawarkan perspektif baru dalam memahami dinamika sejarah kesehatan di Indonesia.
Membedah Kolonialisme Belanda Lewat Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia

Membedah Kolonialisme Belanda Lewat Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia

Perkembangan ilmu kesehatan dan kedokteran di Hindia Belanda berkaitan erat dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda di wilayah jajahannya.
bottom of page