top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Kisah Djokosujono dan Simatupang yang Terpisah

Djokosujono pernah satu rumah dengan T.B. Simatupang. Ia dieksekusi mati karena terlibat Peristiwa Madiun.

2 Mar 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Jenderal Mayor Djokosujono. (Nijmeegsch dagblad, 27 September 1948).

Seharusnya Shodancho Djokosujono berada di Madiun. Sebab, ia bagian dari Daidan (Batalyon) tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta) di Madiun, daerah asalnya. Namun, pada 14 Agustus 1945 Djokosujono malah berada di Jakarta. Ia tinggal di rumah Sukarni di Jalan Fort de Kock (kini Jalan Minangkabau). Tiga hari kemudian, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta.


Djokosujono, kata T.B. Simatupang dalam Laporan Dari Banaran, adalah tipe pemuda yang sekitar tahun 1930 telah tertarik oleh pidato-pidato dan kursus-kursus dari Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan pemimpin gerakan-gerakan nasional lain, kemudian ia menjadi kader gerakan nasional itu.


Simatupang menganggap Djokosujono telah menjadikan sebagian yang dipelajarinya dari Marxisme dan lain-lain sebagai dogma. Simatupang mengakui rasa setiakawan Djokosujono cukup tinggi. Sebagai pejuang, musuh Djokosujono tentu saja Belanda yang ingin berkuasa lagi di Indonesia. Selain Belanda, kaum borjuis kapitalis, golongan ningrat dan priayi juga termasuk daftar musuh yang harus dienyahkan dalam kemerdekaan.



Di zaman Hindia Belanda, Djokosujono pernah dipenjara di sebuah kota di Jawa Timur, kemungkinan Jombang atau Mojokerto. Pada zaman Jepang, ia diterima masuk Peta dan bertugas di Madiun. Setelah Indonesia merdeka, ia dan Simatupang masuk dalam susunan organisasi Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta yang dipimpin Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo.


“Ia menjadi kepala bagian organisasi, sedangkan saya menjadi wakilnya,” kata Simatupang. Sejak bertugas di Markas Besar TKR hingga akhir 1947, mereka berdua pernah tinggal satu rumah di daerah Gondokusuman.


Pergantian pemerintahan mempengaruhi karier keduanya. Ketika Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan, Djokosujono ditarik menjadi Kepala Biro Perdjoeangan, bagian dari Kementerian Pertahanan. Biro Perdjoeangan mengurusi laskar-laskar rakyat. Ada rencana laskar itu akan dilebur ke dalam tentara.



Djokosujono dapat pangkat Jenderal Mayor. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menyebut ia menjabat Kepala Biro Perdjoeangan dari tahun 1946. Selain itu, ia juga menjadi Ketua Dewan Kelaskaran Pusat. Sejak 28 Juni 1947, ia diangkat menjadi anggota pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan tugas memantau hubungan rakyat dengan tentara.


Sementara itu, Simatupang tetap di Markas Besar TKR. Djokosujono dan Simatupang pisah rumah pada akhir 1947. Simatupang pindah ke Jalan Merapi. “Tetapi secara pribadi Djokosujono dan saya selalu baik-baik saja,” kata Simatupang. Mereka hanya beda pandangan, namun sama-sama berpikir bagaimana cara menghadapi tentara Belanda yang semakin kuat di Jawa dan mengancam Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta.



Sejak awal tahun 1948, banyak Jenderal Mayor turun menjadi Kolonel. Termasuk Djokosujono dan Abdul Haris Nasution. Kala itu, Amir Sjarifuddin, telah kehilangan jabatan Perdana Menteri, dan Biro Perdjoeangan sudah bubar. Sekitar September 1948, Djokosujono terlibat petualangan kelompok Amir dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Ketika terjadi krisis di Madiun, pimpinan PKI Musso mengangkat Djokosujono sebagai Gubernur Militer Madiun.


Djokosujono dan kawan-kawannya itu pun menjadi buruan TNI pimpinan Nasution. Buku Siliwangi dari Masa ke Masa menyebut Letnan Kolonel Bakri dan Jenderal Mayor Djokosujono tertangkap di Pacitan oleh Batalyon Nasuhi dari Siliwangi. Tak lama setelah tertangkap, di hadapan massa rakyat, mereka ditembak mati di alun-alun Pacitan.


Setelah Djokosujono, beberapa tokoh FDR lain juga terbunuh. Simatupang tidak mau bertanya-tanya ke orang sekitarnya. Ia hanya bisa termenung. Moral pendukung Republik diliputi ketakutan, kemarahan, dan perpecahan di sekitar Peristiwa Madiun yang rumit itu.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
bottom of page