- Petrik Matanasi
- 28 Jul
- 2 menit membaca
SEBUAH bus milik perusahaan Tjiang Thien melintas di jalan raya di Ciluar, Cimande, Bogor, Jawa Barat pada 9 Juni 1936. Namun belum jauh lajunya, ia dihentikan oleh sekelompok yang berisi sekitar 20 orang. Anggota kelompok itu para jago.
Para penumpang bus kemudian keluar. Di antara penumpang itu ada yang mencari perlindungan ke sebuah warung Tionghoa di dekatnya. Beberapa orang terluka dalam aksi para jago tersebut. Termasuk kondektur bus yang menderita luka ringan serta pembantunya menderita luka serius, demikian De Locomotief dan De Indisch Courant tanggal 7 Maret 1938 memberitakan peristiwa itu.
Penganiyaan itu sendiri terjadi tiga kali, yakni di dekat halte Ciawi, Cibadak, dan di jalan umum di Cimande tadi. Aparat keamanan kolonial langsung bergerak. Lurah Cimande yang bernama Soelaeman alias Atjep (baca Acep) kemudian dicari-cari polisi. Kasus pencegatan tersebut kemudian di selidiki. Beberapa orang jago lalu ditangkap polisi, bukan polisi umum, melainkan polisi lapangan (Veldpolitie) yang pernah diisi oleh marsose dari KNIL.
Pengadilan para jago yang menjadi tersangka dilakukan di Landraad (pengadilan negeri) Bogor. Pengadilan ini menyidangkan perkara perkumpulan terlarang, kekerasan kolektif, pemerasan dan penyerangan. Ada 17 tersangka dan 81 saksi dalam persidangan itu. Para tersangka didakwa telah memakai kekerasan atau ancaman agar para pemilik perusahaan angkutan bus “untuk membayar iuran tetap kepada Engkim.” Iuran itu adalah semacam uang keamanan agar bus yang lewat terlindung dari berbagai kesulitan. Jadi para jago itu mempraktikkan aksi premanisme dalam terminologi sekarang.
Engkim adalah pemimpin kelompok yang mencegat bus tersebut. Engkim dibantu dua guru silat, Madnasir dan Moestopa. Bataviaasce Nieuwsblad tanggal 26 Maret 1938 menyebut, sidang kasus pencegatan itu 14 Februari 1938 dipimpin oleh Ketua Landraad Alers. Salah satu dari dua pengacara yang membela merupakan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Hukum alias Recht Hoge School (RHS).
Alers membacakan putusannya pada 25 Maret 1938. Engkim alias Akin sebagai pendiri dan pemimpin perkumpulan jago dalam kasus itu menerima hukuman lima tahun penjara. Madnasir dan Moestopa masing-masing menerima hukuman empat tahun penjara. Sementara Soeeb, Koemang, Ai, dan Lurah Atjep (lurah) masing-masing menerima hukuman tiga tahun. Aroeman dihukum 2,5 tahun. Abo, Otong, Warti, Adoeng, dan Sahib dihukum dua tahun. Dua tersangka dibebaskan. Namun ada dua orang yang diduga terlibat masih buron.
Ketika kasus tersebut terjadi, daerah Cimande sudah terkenal. Cimande tak hanya menjadi nama kampung di Caringin, Bogor. De Indisch Courant dan De Locomotief edisi 7 Maret 1938 menyebut, “Cimande secara tradisional dikenal sebagai daerah yang mempraktikkan seni bela diri (pencak) dengan penuh semangat.”
“Pengaruh pencak silat Cimande di Jawa sangat luas,” catat Ian Douglas Wilson dalam Politik Tenaga Dalam - Praktik Pencak Silat di Jawa Barat.
Beberapa aliran silat di Jawa Barat dianggap terhubung dengan dalam hal teknis, filosofis, dan sejarahnya dengan Cimande. Bahkan, terhubung pula dengan silat di Sumatra Barat. Di Jawa Barat, aliran Cimande sudah hidup ratusan tahun lamanya.
Selain silatnya, Cimande terkenal pula dengan pijat tulangnya. Hampir tiap hari banyak orang dari luar, termasuk dari Jakarta, datang ke Cimande untuk mengobati tulang mereka yang bermasalah. Banyak orang lebih percaya pada ahli pijat tulang Cimande daripada ke dokter tulang modern yang tidak murah bagi ukuran kantong kebanyakan orang Indonesia.










Komentar