- Petrik Matanasi
- 8 Jul
- 3 menit membaca
Diperbarui: 10 Jul
DE Simpangsche Societeit atau Simpang Club (kemudian Balai Pemuda Surabaya) merupakan tempat orang-orang kulit putih (Belanda atau Eropa) biasa bersantai lewat mengobrol, mendengar musik, atawa berdansa. Pada suatu malam sekitar tahun 1940-1941, salah satu pengunjung agak terkejut karena melihat seorang pesohor dari Malang masuk ke dalam kelab itu.
“O, itu Alkadri,” kata Nyonya Visscher, istri seorang administrator perkebunan di Jawa Timur.
Adik nyonya Belanda itu, yang adalah sekretaris Simpang Club, pun bereaksi. Sebab, ada aturan yang melarang orang selain kulit putih dilarang masuk ke kelab tersebut. Sudah jamak di tempat ekslusif orang kulit putih di Hindia Belanda seperti kelab atau kolam renang ada tulisan Verboden voor Honden en Inlander, yang artinya kurang lebih Dilarang masuk untuk anjing dan pribumi.
Maka begitu mengetahui ada pria bernama “Max” Hamid Alkadri di dalam kelabnya, sekretaris Simpang Club langsung ambil tindakan. Setelah mendekatinya, sekretaris itu langsung mengusir Alkadri dari Simpang Club secara sopan.
“Ibu dan aku terperanjat. Kami tak pernah memperhatikan bahwa Simpang Club hanya untuk orang kulit putih. Kami jadi ikut terguncang olehnya,” aku Elien Visscher, putri dari Nyonya Visscher, di kemudian hari seperti ditulisnya dalam memoarnya Melintasi Dua Zaman. “Esoknya Ibu terlibat debat dengan paman mengenai kejadian malam sebelumnya. Ibu sangat memikirkan hal itu, sebab ia tidak sengaja melaporkan Alkadri.”
Alkadri cukup tersohor di Malang. Dia satu dari sedikit letnan tentara kolonial Koninklijk Nederladsch Indische Leger (KNIL) di Malang. Koran De Locomotief tanggal 27 November 1936 menyebut, Sjarif Hamid Alkadri adalah lulusan Koninklijk Militaire Academie (KMA/Akademi Militer Kerajaan) di Breda. Setelah lulus dan kembali ke Nusantara dengan kapal SS Sibajak, dia ditugaskan di Batalyon Infanteri ke-8 di Malang.
Sebagai perwira KNIL sekaligus bangsawan tinggi, Alkadri seharusnya sudah punya status yang sama secara hukum dengan orang Belanda seperti kebanyakan perwira KNIL dari golongan pribumi atau penduduk non-Belanda lain. Bahkan, Alkadri semestinya sudah bisa hidup seperti orang Belanda, sebab istrinya pun orang Belanda. De Indische Courant edisi 1 Juni 1938 menyebut, Letnan Hamid yang disapa Max ini kawin dengan Didi alias Marie van Delden, putri Nico van Delden. Pada 1941, pangkat Max Hamid seharusnya sudah letnan dua.
Pengusirannya yang halus di Simpang Club itu bisa dipandang khalayak sebagai penghinaan. Namun Letnan “Max” Hamid Alkadri tampak tidak merasakan penghinaan dari orang Belanda.
Selama bertahun-tahun, pangeran dari Kesultanan Kadriah Pontianak itu terus berdinas di KNIL. Ketika Perang Pasifik pecah, Max tidak mundur. Dia sempat bertugas di Balikpapan hingga terluka.
Setelah KNIL keok dalam Perang Pasifik, Max termasuk salah satu anggota KNIL yang menjadi tawanan perang Jepang. Benjamin Bouman dalam Benjamin Bouman, Van Driekleur tot Rood-Wit. De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 menyebut Max ditawan di Bandung. Setelah Perang Pasifik selesai, Max melanjutkan dinasnya lagi di KNIL hingga dia dipanggil pulang untuk menggantikan ayahnya menjadi Sultan Pontianak dengan gelar Sultan Hamid II.
Sultan Hamid II pernah menjadi ketua musyawarah federal, organisasi yang terdiri dari dewan-dewan daerah dipimpin raja-raja maupun negara-negara federal yang dikawal Belanda, yang disebut Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). BFO punya kepentingan berbeda dari Republik Indonesia (RI) yang berpusat di Jawa. Belum lagi, dalam praktiknya Sultan Hamid II cenderung lebih dekat dengan Belanda meskipun pernah dihina dan diusir halus orang Belanda karena dia bukan kulit putih seperti orang Belanda. Itu dibuktikan dengan kesediaannya menjadi ajudan istimewa ratu Belanda di saat banyak rekan sebangsanya mempertaruhkan nyawa demi mengusir penjajahan Belanda kembali. Maka itu Sultan Hamid II dianggap berseberangan dengan RI.
Setelah Belanda angkat kaki, Sultan Hamid II dijadikan Menteri Negara dalam kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS). Dia dikenal sebagai perancang lambang negara RI Garuda Pancasila.









