- Petrik Matanasi
- 25 Agu
- 3 menit membaca
PEMERINTAH belum lama ini resmi membentuk 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) dalam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) untuk mendukung program-program pemerintah dan swasembada pangan. Tiap batalyon memiliki kompi pertanian dan peternakan.
Rencananya, tiap tahun akan dibentuk 100 Batalyon TP sehingga dalam lima tahun ke depan akan ada 500 Batalyon TP. Dengan begitu, TNI AD akan memiliki lonjakan jumlah personel. Sebagai gambaran, pada 2024 TNI AD memiliki 350.000 personel. Jika tiap batalyon terdapat setidaknya 500 personel, maka TNI AD ketambahan 50.000 personel baru.
Penggemukan postur jelas bukan terjadi pada militer Inodnesia di masa sekarang saja. Puluhan tahun silam, Irak di bawah Presiden Saddam Husein juga pernah memperbesar Angkatan Darat-nya. Ketika itu, alasan Irak bukan untuk menciptakan lebih banyak lahan pertanian dan perkebunan, melainkan karena sedang berperang dengan Iran dalam Perang Iran-Irak (1980-1988).
Alhasil setelah perang itu selesai, Irak punya jumlah tentara aktif dalam jumlah besar. Berdasarkan data The Military Balance 1990-1991, Patrick Seale dalam Pejuang Gurun Pasir menyebut Irak ketika itu punya satu juta tentara aktif dan 850 ribu tentara cadangan. Peralatan tempurnya juga cukup banyak. Setidaknya 5.500 tank utama, 689 unit pesawat tempur, dan 3000 pucuk senjata artileri dimiliki Irak.
“Angkatan Perang Irak merupakan angkatan perang nomor empat terbesar di dunia yang memiliki hampir satu juta prajurit dan menjadi dua kali lipat bila ditambah pasukan wajib militer,” catat Yussuf Solichien M dalam Saddam Hussein dan Kisah di Balik Perang Teluk 1990-1991.
Kendati Perang Iran-Irak dimenangkan Irak, punya banyak tentara bukan menjadi tak menimbulkan masalah. Punya banyak tentara berarti harus mempersiapkan uang belanja yang banyak pula. Inilah masalah yang dialami Irak setelah berperang melawan Iran. Padahal, pembangunan ekonomi pasca-perang membutuhkan banyak dana dan sebuah negara yang baru perang belum punya pemasukan yang bisa diandalkan. Satu-satunya jalan adalah mencari utang. Irak pun kemudian mengutang kepada Kerajaan Arab Saudi.
“Membengkaknya jumlah personel angkatan darat Irak setelah perang melawan Iran juga membuat Saddam cemas luar biasa. Karena mendemobilisasi (mengembalikan tentara menjadi sipil) sejumlah besar tentara dapat menimbulkan keresahan luar biasa,” sebut Patrick Seale.
Kecemasan Saddam terbukti saat sebuah kerusuhan terjadi di industri pengilangan minyak di Irak. Para prajurit Irak mengamuk pada buruh minyak dari Mesir karena menganggap para buruh dari Mesir itu telah mengambil pekerjaan mereka. Sebagai salah satu negara penghasil minyak di Timur Tengah, pekerja di sektor perminyakan adalah golongan buruh yang sejahtera.
Selain berutang ke negara tetangganya, Saddam Husein juga mencari cara lain agar Angkatan Darat yang dibesarkannya di masa Perang Irak-Iran tadi tak menjadi masalah serius di dalam negeri. Saddam tak ingin ada lagi masalah seperti amukan tentara kepada buruh minyak asing.
“Situasi seperti ini membuat Saddam tergoda untuk menyibukkan angkatan daratnya dengan petualangan di luar negeri,” catat Patrick Seale.
Masalah dengan Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA), dua negara yang juga berbagi Teluk Persia, oleh Saddam lalu “dimanfaatkan”. “Ia menuduh Kuwait membanjiri pasar minyak, mencuri minyak senilah US$ 2,4 milyar dari ladang Rumaila Utara.”
Tak hanya kepada Kuwait dan UEA, Saddam juga “menyenggol” Israel yang menjadi musuh negara-negara Arab. Pada April 1990, Saddam bilang ingin “membakar separuh Israel.”
Militer Irak akhirnya menginvasi ke Kuwait pada 2 Agustus 1990. Irak pun tak hanya dimusuhi oleh Kuwait tapi juga oleh Arab Saudi, Mesir, Suriah, juga negara-negara Barat seperti Kanada, Inggris, Perancis, dan tentu saja Amerika Serikat (AS). Irak akhirnya sendirian menghadapi semua negara itu dalam Perang Teluk I. Enam bulan tiga minggu kemudian, Irak menyerah. Buntutnya, Irak kena embargo hingga akhirnya diinvasi oleh AS dkk. pada 2003 sampai Saddam terguling.













Saya setuju korelasi antara ekonomi dan militer. Militer bisa besar jika didukung ekonomi yang kuat. Beli alusista dan bayar gaji tentara pake duit, bukan pake daun.
Tetapi, kalau tujuan narasinya "Kebanyakan tentara bikin negara hancur?" saya tidak setuju.
Irak tidak sama dengan Indonesia. Baik jumlah penduduk, wilayah, ataupun ekonomi. Tidak Apple to Apple anda membandingkan atau menyamakannya. Cuma karna indo menambah 50 ribu tentara lalu negara jadi bangkrut? sungguh konyol. Gk gtu konsepnya.
Lalu dari segi apa baiknya menilai hubungan militer dengan ekonomi?
"Persentase pengeluaran militer terhadap GDP"
Bahasa gampangnya, dari total pemasukan negara dalam setahun, berapa % yang dikeluarkan untuk militer? itu pentanyaan kuncinya.
Mari lihat negara lain dulu pengeluaran militer terhadap GDP:
Amerika serikat (sekitar 3,4%)
China (sekitar…
Terlalu bias dan tidak Apple to Apple. Jika ingin membandingkan Indonesia dengan Irak maka penulis seharusnya juga mencantumkan bagaimana kondisi Irak secara riil dalam bidang ekonomi. Berapa GDP dan GDP Percapita Irak tahun 90-92 lalu komparasikan dengan nilai emas saat itu ke saat ini. Bandingkan juga dengan kondisi ekonomi Indonesia sekarang. Penambahan jumlah pasukan selain melihat faktor ekonomi juga sepatutnya melihat dari segi ideal jumlah personel. Hitungan idealnya adalah 1/500 Artinya jika jumlah penduduk Indonesia adalah 280 juta maka idealnya TNI butuh 560.000 pasukan. Saat ini Indonesia memiliki 400.000 secara total maka sesuai kebutuhan itu masih dirasa kurang. Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam atau Rusia yg jumlah penduduknya lebih sedikit dari Indonesia, mereka justru memiliki pasukan yg lebih…