- Petrik Matanasi
- 16 Mei
- 3 menit membaca
KENDATI belum setengah abad Gedong Tataan dijadikan daerah kolonisatie alias transmigrasi kolonial, keberhasilannya membuat daerah yang kini masuk Kabupaten Pesawaran, Lampung itu berulangkali didatangi bupati-bupati dari Jawa Tengah dan Jawa Timur era kolonial. Di awal abad ke-20 itu, Lampung ibarat masa depan bagi orang Jawa yang ekonominya lemah.
Para pejabat lokal di Jawa ingin melihat sesuatu di Gedong Tataan itu. Tak tanggung-tanggung, yang datang ke sana bahkan ada yang raja. Koran De Locomotief edisi 9 Februari 1935 memberitakan, pada Rabu (6 Februari 1935) malam pukul 20.00, mobil yang ditumpangi Susuhunan Paku Buwono X (1866-1939) bersama istrinya Ratu Pembayun dan Ratu Mas tiba di Lampung. Beberapa pangeran ikut serta dalam kunjungan itu. Mereka disambut dengan tari-tarian dan langsung oleh Residen Rookmaker.
Esoknya, 7 Februari 1935, Suhunan Solo mengunjungi Gedong Tataan. Mereka singgah di pendopo rumah asisten wedana Gadingrejo. Gadingrejo adalah pusat dari Distrik Gedong Tataan.
Selain disambut tulisan di pendopo yang berbunyi “Sugeng Tindak Dalém” (selamat datang Tuan), rombongan Paku Buwono X juga disambut pejabat setempat dan anak-anak dari sebuah sekolah di Pringsewu. Dalam kesempatan itu, Sunan dan rombongan menyempatkan melihat pameran kerajinan. Sunan juga memberikan seperangkat gamelan kepada warga transmigran dimainkan.
Selain Paku Buwono X, Gedong Tataan juga dikunjungi Bupati Purworejo Raden Adipati Hasan Danoeningrat. Setahun setelah perseteruannyadengan seorang mayor tentara kolonial bernama Oerip Soemohardjo (1893-1948), Bupati Hasan Danoeningrat berkunjung ke Lampung. Kunjungan itu cukup penting baginya karena warga Bagelen, Purworejo dulu banyak yang menjadi transmigran ke Gedong Tataan. Bahkan, di Gedong Tataan sudah lama berdiri sebuah desa bernama Bagelen.
Dalam kunjungan itu, bupati mendapat sambutan hangat baik dari aparat setempat maupun warga masyarakat. Salah satu yang menyambut, bahkan ikut menemani Bupati Hasan adalah salah satu anaknya yang bertugas di Gedong Tataan.
Dalam perjalanan dinas ke Lampung itu, Hasan datang bersama istrinya. De Indisch Courant dan Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie tanggal 15 Desember 1939 memberitakan, istrinya yang ikut serta itu hanya sebagai Raden Ayu sehingga siapa orangnya tak jelas. Sangat sulit untuk memastikannya karena priyayi Jawa, apalagi bupati, umumnya punya banyak istri.
Yang pasti, Raden Ayu itu mendapat kejutan ketika di Gedong Tataan. Setelah sekian lama, Raden Ayu akhirnya bertemu lagi dengan bekas pembantunya yang dulu mengabdi di rumah orangtuanya di Jawa. Dia tak tahu lagi kabar si pembantu setelah tak bekerja di rumah orangtuanya.
Si pembantu ternyata bersama orangtuanya ikut transmigrasi. Ketika bertemu kembali dengan Raden Ayu, si bekas pembantu itu telah menjadi petani yang sudah makmur di Desa Wonodadi. Rumahnya terlihat besar dan tergolong bagus di Wonodadi.
Tak hanya makmur, si bekas pembantu itu bahkan menjadi orang yang cukup terpandang di Wonodadi. Dia menjadi sekretaris desa di Wonodadi. Tak heran jika bupati Purworejo pun mengapresiasi daerah transmigrasi yang dianggap sukses itu.
Gedong Tataan dan wilayah transmigrasi lain di Lampung kala itu dianggap solusi atas masalah kependudukan yang terjadi di Jawa Tengah bagian selatan seperti Purworejo dan sekitarnya. Bupati Purworejo sempat bertanya kepada anak-anak sekolah di daerah koloni tersebut apakah mereka ingin kembali ke Jawa. Namun pertanyaan ini sulit dijawab anak-anak transmigran yang mayoritas lahir di tanah “koloni” itu.
Kunjungan ke Gedong Tataan dan daerah-daerah transmigrasi lain terus berlanjut setelah kunjungan Bupati Purworejo Hasan Danoeningrat itu. Koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 25 Mei 1939 menyebut, pada 1937 saja Gedong Tataan dikunjungi bupati Magelang, Malang, dan Blitar. Di sana, para bupati itu tentu bertemu dengan Haji Ghalib, saudagar sekaligus pemuka agama yang memulainya dari transmigran. Reputasi Haji Ghalib di mata orang Belanda tergolong baik pula.*
Comments