top of page

Sejarah Indonesia

Ketika Para Perwira Mengkritik Penampilan Sukarno

Ketika Para Perwira Mengkritik Penampilan Sukarno

Presiden Sukarno kerap tampil necis dan gagah. Namun gaya berpakaian militernya mengundang kritik dari sejumlah perwira.

8 Juni 2021

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sukarno dalam balutan seragam militer. Foto: AFP dan Fotoleren

Jenderal Abdul Haris Nasution punya kesan tersendiri terhadap penampilan Presiden Sukarno. Menurutnya, Bung Karno senang terlihat modis dan perlente. Hingga sekali waktu, Nasution memberanikan diri menanyakan sesuatu yang sifatnya agak pribadi.


“Mengapa selalu pakai dasi, mengapa tidak dengan kemeja kerja saja?” tanya Nasution kepada Bung Karno.


“Ah, nanti saya masuk angin,” jawab Bung Karno sekedarnya seperti dikisahkan Nasution dalam memoar Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua.    


Sudah jadi rahasia umum kalau Sukarno memang gemar bersolek. Dari atas ke bawah, Sukarno piawai memadukan kombinasi busana rancangannya sendiri. Seragam kepresidenan bergaya militer lengkap dengan atribut acap kali membalut tubuhnya. Kemudian, Sukarno suka pakai peci khas yang memahkotai kepalanya. Tidak luput, kaca mata hitam dan tongkat komando sebagai aksesoris. Kepiawaian Bung Karno dalam mengenakan itu semua diakui sendiri oleh putra sulungnya, Guntur Sukarnaputra.


“Dari sekian banyak kepala negara atau kepala pemerintahan,” kata Guntur dalam Bung Karno dan Kesayangannya, “Bapak terkenal sebagai salah satunya yang berpakaian secara dandy (rapih) dan mentereng.”


Meski demikian, perkara gaya berpakaian Sukarno menjadi sorotan bagi sejumlah perwira militer. Soalnya, Sukarno yang orang sipil itu suka tampil dengan uniform militer ke mana-mana. Nasution mengatakan bahwa Sukarno amat teliti dalam berpakaian. Penampilan Nasution sendiri bahkan tidak luput dari koreksi Sukarno.  


“Saya berkali-kali diingatkan karena kurang teliti berpakaian, bahwa taille baju saya tidak tepat dan sebagainya,” kenang Nasution.


Kritik yang tajam pernah disampaikan Brigjen Surachman, panglima Divisi Brawijaya. Masih dalam tuturan Nasution, ketika Sukarno berkunjung ke Jawa Timur, Surachman turut menyambut di lapangan terbang. Di sela-sela sambutan itu, Surachman menyisipkan pesan langsung kepada Sukarno. Begini kata Surachman, “Rakyat akan lebih senang melihat Presiden berpakaian sederhana, daripada dalam seragam militer gemerlapan.” Sontak saja perkataan itu bikin Sukarno marah. Kejadian itu membuat Sukarno tidak mau bicara. Surachman pun dicuekin.


Masukan yang paling menohok bagi Sukarno barangkali datang dari Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang. Ketika menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), Simatupang pernah terang-terangan meminta Sukarno agar jangan lagi memakai seragam militer. Dalam Percakapan dengan Dr. T.B. Simatupang, Simatupang mengenang “kelancangannya” kala menasihati Bung Karno itu terjadi saat dirinya masih perwira muda berusia  29 atau 30 tahun.


“Bung Karno”, kata Simatupang, “Saya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang memakai uniform dan memberikan hormat kepada Bung Karno yang tidak memakai uniform, sehingga dengan demikian masyarakat melihat bukan yang memakai uniform itu yang tinggi, tapi yang tidak pakai uniform.”


Menurut Simatupang, presiden dapat memberikan contoh yang sangat baik dengan mengenakan pakaian sipil pada upacara militer. Dengan begitu, Sukarno memperoleh penghormatan sebagai panglima tertinggi bukan karena uniform-melainkan karena yang bersangkutan adalah kepala negara. Alih-alih menerima saran, Sukarno malah tersinggung dengan ucapan Simatupang. Namun, dia hanya memendam jengkel tanpa mau membicarakannya. Simatupang kemudian mendengar dari orang lain betapa marahnya Sukarno sehingga beredar rumor kalau Simatupang melarang Sukarno memakai uniform.


Bagi Sukarno, seperti diungkap Walentina Waluyanti de Jong, gaya dan penampilannya lebih pada soal insting, selera, kesadaran, dan pemahamannya tentang estetika. Jauh sebelum menjadi pemimpin bangsa, penampilannya selalu terjaga apik. Kecenderungan Sukarno untuk selalu tampil representatif memang sudah jadi bakat alamiah.


“Pada zaman Jepang yang serba susah pun, tetap saja Sukarno tampil flamboyan bak model saat tampil pada sampul majalah Djawa Baroe,” tulis Walentina dalam Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen.


Soal penampilan, Sukarno sendiri dalam otobiografinya yang disusun Cindy Adams Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat mengatakan seragam dan peci hitam adalah tanda pengenal dirinya. Menurutnya itu adalah pakaian yang patut dikenakan bagi presiden selaku panglima tertinggi. Penampilan dengan uniform militer itu juga jadi suatu tanda yang dapat mengangkat kepercayaan diri, tidak hanya bagi diri Sukarno tetapi juga untuk rakyatnya.


“Setelah kemerdekaan Indonesia aku proklamirkan, aku harus bisa memberikan kepada mereka sebuah citra, suatu kebanggaan. Maka aku selalu memakai seragam,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam My Friend the Dictator.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Badan-Badan Otonom NU

Badan-Badan Otonom NU

Nahdlatul Ulama memiliki badan-badan otonom dalam berbagai bidang untuk menandingi gerakan organisasi-organisasi massa PKI.
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
bottom of page