- Risa Herdahita Putri
- 19 Jul 2018
- 2 menit membaca
KISAH Panji dari Jawa telah menginspirasi penulisan karya agung Melayu: dan . Kisahnya pun banyak diterjemahkan ke bahasa Melayu dan ditulis dengan aksara Jawi (Arab gundul).
“Ini bukti betapa meresapnya Kisah Panji dalam lipatan hati khalayak Melayu,” ujar Noriah Mohamed, peneliti Panji dari Universiti Sains Malaysia.
Dalam sang pengarang memunculkan tokoh putri Majapahit bernama Raden Galuh Candera Kirana yang kecantikannya memikat Sultan Mansur Shah. Nama putri yang itu dijumpai pula dalam Kisah Panji.
Begitu pula dalam Disebutkan Ratu Daha memiliki dua putri, yang sulung bernama Tuan Puteri Galuh Candera Kirana. Putri cantik itu merupakan anak permaisuri.
Di sini, kata Noriah, kebiasaan baik Jawa maupun Melayu tak jauh berbeda. Terutama dalam hal kebiasaannya menggambarkan kecantikan seorang putri. “Cantiknya putri digambarkan dengan perumpamaan-perumpamaan di alam. Sama seperti orang Jawa,” ujarnya.
Dari tema, rentetan cerita, dan tokoh yang ditampilkan menguatkan pendapat kalau Kisah Panji di Melayu memang berindukkan Kisah Panji di Jawa. Hal ini dapat ditelusuri dari naskah berjudul . Dalam teks itu penyalin menggunakan banyak kata Jawa, seperti .
“Kata itu sangat jarang digunakan dalam bahasa Melayu. Namun, begitu lumrah dalam tutur bahasa Jawa,” kata Noriah.
Banyaknya kesamaan budaya membuat Kisah Panji dianggap sebagai kepunyaan Melayu, meski asalnya dari Jawa. Belum lagi kisahnya berfokus pada istana dan cinta, membuat Kisah Panji bisa diterima masyarakat Melayu. Sehingga banyak Kisah Panji yang dimelayukan: dan
Meski tak ada unsur Islam, kisah itu tetap memikat masyarakat Melayu karena banyak pelajaran kehidupan yang bisa diambil. “Cerita Panji bukan cuma hiburan. Namun lebih kepada pengajaran,” kata Noriah.
Pengaruh Kisah Panji bukan cuma dalam teks tulis. Para dalang mengambil elemen Panji yang disesuaikan dengan budaya setempat sebagai cerita dalam pagelaran wayang kulit. Bahkan, ada yang diubah sesuai selera dalang.
“Kelainan ini disebabkan cerita Panji tersebar dalam bentuk lisan. Adanya ruang untuk menambah cerita amat biasa dalam dunia penciptaan cerita Panji dan pewayangan,” kata Noriah.
Kisah Panji, kata Noriah, telah lama diketahui khalayak Melayu terutama di Kelantan. Namun, sulit menentukan kapan pastinya karena bermula dari cerita lisan. Kendati begitu, dia memperkirakan Kisah Panji masuk ke dalam budaya Melayu sejak abad 15 karena dikarang pada 1612 dan ditulis pengarang anonim lebih awal dari 1641. Di dalamnya banyak disebutkan tentang Majapahit.
“Secara tak langsung membuktikan Kisah Panji sudah dikenal di Malaka pada abad 15. Di kedua karya itu unsur-unsur Kisah Panji banyak ditemukan,” kata Noriah.
Selain itu, hubungan Melaka dan Jawa semakin terbentuk pada abad ke-15. Islam telah menapak di tanah semenanjung. Perdagangan yang mendorong mereka datang. Beberapa sejarawan dan akademisi Malaysia seperti Khazin Tamrin, Haron Mat Piah, dan Abd. Rahman Kaeh, menyebut keberadaan kampung India, Tionghoa, dan Jawa.
“Cerita Panji dapat menambat hati khalayak terutama sewaktu Malaka di bawah Kesultanan Melayu,” lanjutnya.
Dalam dikisahkan perkampungan Jawa terbentuk setelah kedatangan tokoh Patih Kerja Wijaya bersama kerabatnya. Dia pergi karena sakit hati oleh Ratu Lasem kemudian menghambakan diri kepada penguasa Melaka.
Orang Jawa terus berdatangan hingga tahun 1890-an. Mereka diterima masyarakat setempat karena beberapa faktor. Namun, paling ketara karena rajin dan uletnya. Kerajinan mereka terlihat terutama berkaitan dengan pembukaan parit-parit di Johor dan pembukaan tanah-tanah baru. Hingga kini, masyarakat keturunan Jawa masih ada seperti di kawasan Upeh dan Hilir di Melaka.
Sebenarnya bukan cuma Kisah Panji dari Jawa yang dikenal masyarakat Melayu. Cerita pun terus digunakan dalam pewayangan seperti,













Temanya menarik. Cuma Artikel ini sepertinya belum selesai betul. Ada beberapa kalimat putus yang lolos koreksi. Itu ditemukan pada paragraf pembuka. Pun pada paragraf ketiga. Kalimat dibuka dengan kata 'Dalam', kemungkinan mau menyebut judul sebuah buku, tapi (mungkin lupa) tak ditulis. Alhasil kalimat 'Dalam sang pengarang memunculkan.....' seperti tidak nyambung. Di paragraf selanjutnya juga ditemukan hal serupa. Ini keluar dari pakem Historia yang gayanya renyah, mengalir, tapi sarat informasi bernilai. Trims. Dari penggemar Historia.