- Martin Sitompul

- 16 Feb
- 3 menit membaca
Diperbarui: 27 Agu
SEBAGAI sastrawan yang punya nama besar, sosok Pramoedya Ananta Toer digandrungi banyak orang, termasuk kaum hawa. Pram pun tak menampiknya. Dalam suatu wawancara di tahun-tahun terakhir hidupnya, Pram blak-blakan mengaku masih didekati beberapa perempuan.
“Saya nggak ngerti kok dapat pacar di mana-dimana. Padahal saya ini jelek. Di Kanada dapat satu tahun 1999. Heran saya itu. Yang terakhir ada di Jerman. Dia datang ke sini saya sudah nggak ingat saking banyaknya,” ujar Pram dalam kumpulan wawancara Pram Melawan yang disunting Hasudungan Sirait.
Berkebalikan semasa mudanya, Pram mesti berjuang keras sekadar bertemu dengan gadis idamannya. Maklum saja, suasananya masih di zaman perang. Cerita bermula sewaktu Pram bertugas di dinas militer sebagai perwira persuratkabaran Resimen 6 Divisi Siliwangi.
Dalam tugasnya, Pram sering mondar-mandir di berbagai tempat yang diliputi pertempuran, seperti Kranji, Bekasi, Citeureup, Cibubur, hingga Cibarusa. Dari amatannya di tiap-tiap daerah pertempuran, Pram mencatat segala peristiwa yang terjadi. Hasil reportase itu kemudian dilaporkan Pram ke koran Merdeka lewat jalur telepon.
“Yang menerima berita waktu itu seorang gadis, namanya Aryati. Penerimaannya sangat ramah dan cepat, sampai saya tergila-gila padanya,” kenang Pram kepada adiknya Koesalah dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer.
Sekali waktu, Panglima Besar Jenderal Soedirman berkunjung ke Jakarta untuk bertemu dengan para pejabat Belanda. Di Cikampek, markas Resimen 6, rombongan Jenderal Soedirman berhenti. Kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Pram. Dengan berbagai maksud, dia nekat nebeng rombongan panglima.
“Waktu itulah saya dengan seragam militer ikut ndompleng keretanya, seolah-olah saya salah seorang pengawalnya. Saya ikut ke Jakarta,” tutur Pram.
Setiba di Jakarta, Pram langsung menyinggahi kantor redaksi Merdeka. Letnan II Pram ingin ketemu muka dengan Aryati, yang selama ini selalu berhubungan via telepon. Di kantor Merdeka, Pram diterima oleh Darmawidjaja, seorang pengarang yang juga mantan guru Pram, yang telah menjadi redaktur di Merdeka. Sekalian saja Pram menagih honorariumnya atas berita-berita yang sudah dikirimkannya dari medan perang. Tapi, sial bagi Pram, rupanya tiada honor untuk berita-berita itu. Tak ingin rugi waktu, Pram iseng-iseng menanyakan keberadaan Aryati kepada Pak Darma.
“Pak, apa saya bisa bertemu Aryati?” tanya Pram.
“Di sini tidak ada yang namanya begitu,” jawab Pak Darma.
“Lho, berita-berita yang saya kirimkan itu, kan, dia yang terima,” desak Pram.
“Ah, di sini yang ada ya cuma kami-kami ini,” kata Pak Darma menutup pembicaraan.
Pram membatin dalam hati. Kedatangannya ke Jakarta setelah berjuang menebeng bersama rombongan Panglima Soedirman ternyata cuma buang-buang waktu.
“Wah, sialan!” seru Pram. “Sudah ngga dapat honorarium, nggak ketemu pacar pula.”
Pram tak pernah ketemu dengan Aryati. Pun dia tak lama bertugas dalam dinas militer. Pada 1947, Pram memutuskan keluar dari ketentaraan lantaran kecewa dengan apa yang dilihatnya dari dalam. “Karena nggak tahan melihat praktik-praktik korupsi dan kesewenang-wenangan militer. Waktu itu: Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri, kejamnya bukan main,” beber Pram.
Setelah keluar dari militer, Pram kembali ke dunia tulis-menulis yang disenanginya sebagai jurnalis. Tak lama kemudian, Pram ditangkap oleh tentara Belanda yang melancarkan agresi militer pertama. Ketika dijebloskan ke dalam penjara Bukitduri, Jatinegara itulah Pram untuk kali pertama bersua dengan istri pertamanya, Arvah Iljas. Saat itu, Arvah bekerja sebagai operator telepon di Kantor Pusat Telepon Gambir yang dikuasai Belanda. Sesekali Arvah mengunjungi para tahanan di penjara Bukitduri. Tanpa tahu namanya, Pram tak bisa melupakan Arvah pada pandangan pertama.
“Setiap minggu ia datang, dan aku melamarnya dengan ketentuan, bila ia mau 'mengajari aku mencintainya',” kenang Pram kepada Anggraini, putrinya yang ketiga dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2.
Pada 1949, Pram dibebaskan menjelang pengakuan kedaulatan. Di tahun berikutnya, Pram mengikat Arvah dalam pernikahan pada13 Januari 1950. Pernikahan itu melahirkan tiga putri bagi pasangan Pram-Arvah. Namun, rumah tangga itu kandas setelah berjalan empat tahun.*












Komentar