top of page

Sejarah Indonesia

Kisah Romansa Pramoedya

Kisah Romansa Pramoedya

Di tengah perang, Pramoedya Ananta Toer menaksir seorang gadis penerima telepon. Suara merdu Aryati bikin Pram dimabuk asmara.

15 Februari 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pramoedya Ananta Toer semasa muda. (Wikimedia Commons).

Diperbarui: 27 Agu

SEBAGAI sastrawan yang punya nama besar, sosok Pramoedya Ananta Toer digandrungi banyak orang, termasuk kaum hawa. Pram pun tak menampiknya. Dalam suatu wawancara di tahun-tahun terakhir hidupnya, Pram blak-blakan mengaku masih didekati beberapa perempuan.


“Saya nggak ngerti kok dapat pacar di mana-dimana. Padahal saya ini jelek. Di Kanada dapat satu tahun 1999. Heran saya itu. Yang terakhir ada di Jerman. Dia datang ke sini saya sudah nggak ingat saking banyaknya,” ujar Pram dalam kumpulan wawancara Pram Melawan yang disunting Hasudungan Sirait.


Berkebalikan semasa mudanya, Pram mesti berjuang keras sekadar bertemu dengan gadis idamannya. Maklum saja, suasananya masih di zaman perang. Cerita bermula sewaktu Pram bertugas di dinas militer sebagai perwira persuratkabaran Resimen 6 Divisi Siliwangi.


Dalam tugasnya, Pram sering mondar-mandir di berbagai tempat yang diliputi pertempuran, seperti Kranji, Bekasi, Citeureup, Cibubur, hingga Cibarusa. Dari amatannya di tiap-tiap daerah pertempuran, Pram mencatat segala peristiwa yang terjadi. Hasil reportase itu kemudian dilaporkan Pram ke koran Merdeka lewat jalur telepon.


“Yang menerima berita waktu itu seorang gadis, namanya Aryati. Penerimaannya sangat ramah dan cepat, sampai saya tergila-gila padanya,” kenang Pram kepada adiknya Koesalah dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer.


Sekali waktu, Panglima Besar Jenderal Soedirman berkunjung ke Jakarta untuk bertemu dengan para pejabat Belanda. Di Cikampek, markas Resimen 6, rombongan Jenderal Soedirman berhenti. Kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Pram. Dengan berbagai maksud, dia nekat nebeng rombongan panglima.


“Waktu itulah saya dengan seragam militer ikut ndompleng keretanya, seolah-olah saya salah seorang pengawalnya. Saya ikut ke Jakarta,” tutur Pram.


Setiba di Jakarta, Pram langsung menyinggahi kantor redaksi Merdeka. Letnan II Pram ingin ketemu muka dengan Aryati, yang selama ini selalu berhubungan via telepon. Di kantor Merdeka, Pram diterima oleh Darmawidjaja, seorang pengarang yang juga mantan guru Pram, yang telah menjadi redaktur di Merdeka. Sekalian saja Pram menagih honorariumnya atas berita-berita yang sudah dikirimkannya dari medan perang. Tapi, sial bagi Pram, rupanya tiada honor untuk berita-berita itu. Tak ingin rugi waktu, Pram iseng-iseng menanyakan keberadaan Aryati kepada Pak Darma.


“Pak, apa saya bisa bertemu Aryati?” tanya Pram.


“Di sini tidak ada yang namanya begitu,” jawab Pak Darma.


“Lho, berita-berita yang saya kirimkan itu, kan, dia yang terima,” desak Pram.


“Ah, di sini yang ada ya cuma kami-kami ini,” kata Pak Darma menutup pembicaraan.


Pram membatin dalam hati. Kedatangannya ke Jakarta setelah berjuang menebeng bersama rombongan Panglima Soedirman ternyata cuma buang-buang waktu.


“Wah, sialan!” seru Pram. “Sudah ngga dapat honorarium, nggak ketemu pacar pula.”


Pram tak pernah ketemu dengan Aryati. Pun dia tak lama bertugas dalam dinas militer. Pada 1947, Pram memutuskan keluar dari ketentaraan lantaran kecewa dengan apa yang dilihatnya dari dalam. “Karena nggak tahan melihat praktik-praktik korupsi dan kesewenang-wenangan militer. Waktu itu: Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri, kejamnya bukan main,” beber Pram.


Setelah keluar dari militer, Pram kembali ke dunia tulis-menulis yang disenanginya sebagai jurnalis. Tak lama kemudian, Pram ditangkap oleh tentara Belanda yang melancarkan agresi militer pertama. Ketika dijebloskan ke dalam penjara Bukitduri, Jatinegara itulah Pram untuk kali pertama bersua dengan istri pertamanya, Arvah Iljas. Saat itu, Arvah bekerja sebagai operator telepon di Kantor Pusat Telepon Gambir yang dikuasai Belanda. Sesekali Arvah mengunjungi para tahanan di penjara Bukitduri. Tanpa tahu namanya, Pram tak bisa melupakan Arvah pada pandangan pertama.


“Setiap minggu ia datang, dan aku melamarnya dengan ketentuan, bila ia mau 'mengajari aku mencintainya',” kenang Pram kepada Anggraini, putrinya yang ketiga dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2.


Pada 1949, Pram dibebaskan menjelang pengakuan kedaulatan. Di tahun berikutnya, Pram mengikat Arvah dalam pernikahan pada13 Januari 1950. Pernikahan itu melahirkan tiga putri bagi pasangan Pram-Arvah. Namun, rumah tangga itu kandas setelah berjalan empat tahun.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page