- Randy Wirayudha

- 16 Jun
- 4 menit membaca
DALAM pidato sambutannya di pembukaan Indo Defence 2025 Expo & Forum pada Rabu (11/6/2025) lalu, Presiden RI Prabowo Subianto menegaskan pertahanan jadi jaminan terhadap kesejahteraan dan kedaulatan. Sejarah sudah membuktikannya. Saat masih dijajah, bangsa Indonesia kehilangan lebih dari Rp500 kuadriliun.
“Baru ada suatu riset beberapa minggu lalu yang menceritakan bahwa selama menjajah kita, Belanda telah mengambil kekayaan kita senilai –dengan uang sekarang– 31 triliun dolar Amerika (setara Rp.505 kuadriliun, red.). Produksi domestik bruto kita sekarang 1,5 triliun dolar (setara Rp24,4 triliun). Berarti kekayaan yang diambil dari bangsa Indonesia sama dengan mungkin 18 kali produksi bangsa Indonesia, 18 kali GPD kita, atau sama dengan kurang lebih 140 tahun anggaran kita. Dan selama menduduki Indonesia, Belanda menikmati GPD per kapita nomor satu di dunia,” ujar Presiden Prabowo dalam salinan pidatonya, dilansir laman resmi Sekretariat Negara, Rabu (11/6/2025).
Namun, Presiden Prabowo tak menguraikan lebih jauh riset yang dikutipnya. Atau setidaknya, riset periode kapan.
Apabila dikaitkan dengan fakta historis, pernyataannya bisa melenceng dari kebenaran. Terlebih, beberapa waktu belakangan terdapat keraguan bahwa bangsa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Sebab, hitungan itu diambil dari awal kedatangan bangsa Belanda, yakni ekspedisi De Houtman Bersaudara pada 1596.
Menurut Bonnie Triyana, “mitos” itu sudah dikemukakan begitu lama. Bermula dari pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1931-1936 Bonifacius Cornelis de Jonge, yang menyatakan: “Orang Belanda sudah di sini 300 tahun dan akan tinggal di sini 300 tahun lagi.” Pernyataan tersebut kemudian diungkit oleh sejarawan Belanda Hermanus Johannes de Graaf.
“Itu yang digunakan oleh Bung Karno sebagai materi pidato dia, dihitunglah sejak VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur, red) datang 1596. Versi mengenai kita tidak dijajah 350 tahun itu pertamakali ditulis oleh sejarawan (Gertrudes Johannes) Resink yang bukunya (Indonesia’s History between Myths: Essays in Legal History and Historical Theory, terj. Bukan 350 Tahun Dijajah) yang lama sudah beredar,” terang sejarawan Bonnie Triyana di program siniar “Menggugat Penulisan Ulang Sejarah Nasional: Jokowi Masuk Buku Sejarah, Penulis Mundur” di akun Youtube Akbar Faizal Uncensored, 6 Juni 2025.
Bubarnya VOC pada 1799 bukan berarti Belanda berhenti mengeruk kekayaan alam Nusantara. Pasalnya pemerintah Belanda mengambil-alih kekuasaan via pemerintah Hindia Belanda. Alhasil kekayaan dari aneka komoditas pertanian dan kemudian eksploitasi alam via pertambangan di perut “Ibu Pertiwi” terus didapatkannya.
Aktivitas pertambangan terus berlanjut setelah Republik Indonesia merdeka, mulai masif di era Orde Baru hingga sekarang. Sampai-sampai salah satu “surga di Bumi”, Kepulauan Raja Ampat, pun tak luput dari eksploitasi pertambangan nikel.
Membuka Tambang Pertama
Menurut beberapa sumber, tambang batubara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat dibuka pemerintah Hindia Belanda pada 1892. Operasionalnya dipegang Ombilinmijn Sawahloento. Sejak 2014, situsnya sudah dipugar dan dijadikan Museum Tambang Batubara Ombilin dan UNESCO mengakuinya sebagai situs warisan dunia pada 2019.
Meski begitu, beberapa sumber lain menyebut tambang pertama di Hindia Belanda justru Banka Tin Winning Bedrijf (BTWB) yang berdiri pada 1816. BTWB yang beroperasi di Pulau Bangka ini mengeksploitasi timah. Kelak, BTWB jadi salah satu dari tiga perusahaan tambang yang dinasionalisasi, lalu jadi embrio PT Timah.
“Banka Tin Winning yang didirikan pemerintah (kolonial) Belanda pada tahun 1816, adalah perusahaan tambang yang pertama di Indonesia, bahkan mendahului diterbitkannya undang-undang pertambangan. Perusahaan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal PT. Timah Tbk yang kita kenal sekarang, setelah melintasi berbagai jaman dan era politik,” ungkap Sutedjo Sujitno dalam Sejarah Penambangan Timah di Indonesia Abad ke-18-Abad ke-20: Sekitar Sejarah Perkembangan Teknologi dan Pengelolaan Penambangan Timah di Indonesia.
Bisnis pertambangan dimungkinkan karena pemerintah kolonial menerbitkan kebijakan tentang pertanahan pada 1870, Agrarische Wet. Menurut Ahmad Redi dalam Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Minieral dan Batubara, beleid itu dikeluarkan setelah adanya desakan dari para pemilik perusahaan partikelir asing yang berinvestasi di Hindia Belanda sehingga mereka mendapatkan jaminan erfpacht (hak guna lahan) dan opstal (hak guna bangunan) dalam jangka waktu lama, 75 tahun. Maka jaminan aturan itu memungkinkan mereka membuka perkebunan dan kemudian juga pertambangan.
Aturan khusus tentang pertambangan sendiri, menurut buku Dinamika Kota Tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat, baru diterbitkan pada 1899, yakni Indische Mijnwet. Aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih detail kemudian diatur dalam Mijnordonantie No. 30 Tahun 1930.
“Meskipun Indonesia telah merdeka ternyata konsep Agrarische Wet 1870 dan Indische Mijnwet van 1899 esensinya tetap dipertahankan yang dilabelisasi dengan Hak Menguasai Negara (HMN). Berdasarkan kedua peraturan di atas, maka hak ulayat yang melekat atas tanah tidak diakui sama sekali sehingga masyarakat hukum adat kehilangan hak menikmati hasil atas kekayaan alam yang ada di dalam tanah mereka. Selain itu kedua peraturan perundangan ini pula yang dijadikan landasan hukum oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pemberian ‘ganti rugi’ atas tanah dalam usaha pertambangan,” kata buku tersebut.
Berbekal aturan tersebut, pemerintah kemudian turun tangan membentuk perusahaan tambang. Dalam serial buku Europa Territories of the World: The Territories of Indonesia, Iem Brown dkk. menyebut pemerintah kolonial merasa perlu mendirikan BTWB demi melanjutkan eksploitasi sejak kolapsnya VOC, dengan bentuk baru berupa tambang. Mayoritas saham perusahaan yang berbasis di Kota Muntok, Bangka itu dimiliki pemerintah kolonial.
“Di Pulau Belitung juga terdapat cadangan timah walau sedikit dan oleh karenanya pengelolaannya diberikan kepada perusahaan swasta, Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Biliton (GMB) yang berdiri pada 1850. Terlepas dari itu eksploitasi tambangnya tetap bergantung pada para kuli China dan pada 1905 bahkan tercatat ada sekitar 15 ribu kuli tambang China yang dipekerjakan di Pulau Bangka saja,” ungkap Brown dkk.
Pertambangan timah di Bangka jadi “tambang emas” tersendiri buat pemerintah kolonial. Kualitas timahnya yang merupakan salah satu terbaik di dunia saat itu mendatangkan cuan besar. Menurut Mary F. Somers dalam Bangka Tin and Mentok Pepper, sejak beroperasi pada 1819 rata-rata produksi timah di Bangka sekitar 20.000 pikul per tahun. BTWB meraup setidaknya 400 juta gulden sepanjang 1820-1910 dan 350 juta gulden pada fase 1911-1925.
Saat Jepang menduduki Indonesia mulai 1942, perlahan pertambangan timah itu mati suri. Prioritas Jepang pada minyak bumi dan batubara membuat timah sempat terlupakan.
“Selama Perang Dunia II, Bangka dan Belitung juga ikut dikuasai Jepang. Selama perang itu juga Bangka jadi lokasi pembantaian keji terhadap para perawat Angkatan Darat Australia pada 16 Februari 1942. Pada April 1950 setelah penyerahan kedaulatan, kawasan itu dilebur ke Provinsi Sumatera Selatan dan perusahaan-perusahaan tambang (Belanda) dinasionalisasi mulai 1958,” tukas Brown dkk.













Komentar