top of page

Sejarah Indonesia

Kopral Cohen Dua Kali Dapat Bintang Penghargaan Militer

Cohen bertempur di Aceh dan Lombok ketika muda. Ketika tua melawan tentara Jepang.

2 Februari 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Korps Marsose andalan KNIL untuk membungkam perlawanan rakyat Aceh yang tak pernah padam. (Tropenmuseum).


LAJU tentara Jepang yang kian garang membuat eks sersan KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger) Miechiel Cohen geram. Dia lalu memutuskan untuk kembali menggunakan seragam yang telah lama ditanggalkannya alias kembali aktif berdinas meskipun mendapat tantangan dari Evelina van Leeuwen istrinya.


“Apakah kamu gila?” kata Evelina.


“Apakah Anda ingin menjadikan saya orang yang bersumpah palsu? Saya selamanya bersumpah setia kepada Ratu dan negara,” kata Cohen menjelaskan, sebagaimana diberitakan Algemeen Dagblad edisi 14 Juli 1965.


Cohen menjadi serdadu sejak muda. Pria kelahiran Goes pada 24 November 1877 itu sebetulnya diharapkan orangtuanya, Meijer Jozeph Cohen dan Rosetta de Heer, menjadi guru. Namun, pria Yahudi itu tak tertarik profesi tersebut. Maka, begitu usianya dianggap mencukupi dan peluang ada di depan mata, Cohen mendaftar ke dinas militer. Menurut catatan dalam Register Ridder Militaire Willemsorde 4e nomor 4925, pada 9 April 1894 dia mendaftar pada Resimen Hussar ke-2 ketika masih berusia 16 tahun. Pada 25 Mei 1896 dia resmi masuk KNIL dengan kontrak enam tahun dan dapat bayaran 200 gulden.


Cohen berangkat ke Batavia untuk memulai tugasnya pada 26 Juni 1896 dengan naik kapal uap dan tiba di Tanjung Priok pada 5 Agustus 1896. Pada 28 November 1898, pangkatnya sudah naik menjadi prajurit kavaleri kelas satu dan pada 4 Januari tahun berikutnya naik lagi menjadi kopral.


Dari Batavia, Cohen lalu ditugaskan di Lombok. Di sana, dia mendapatkan pujian pertamanya setelah berperan baik dalam sebuah pertempuran. Dengan prestasi apik itulah Cohen dikirim ke tempat tugas “angker”, Aceh, pada 1899.


Tak ada kata mudah bagi militer Belanda di Aceh. Selama puluhan tahun, perlawanan orang-orang Aceh tak pernah berhenti. Cohen pun mengalami hal itu.


Pada 14 November 1899, Batalyon Infanteri ke-114 KNIL dengan susah payah melewati semak-semak yang dianggap berbahaya di Cot Kala, sekitar Langsa, Aceh. Kala itu satu peleton kavaleri bergerak ke arah sebuah dinding batu yang mereka curigai sebagai tempat keberadaan lawan.


Dalam keadaan tegang tersebut, Cohen melihat seekor kuda bergerak tanpa penunggangnya karena sang penunggang sudah terluka. Darah muda Kopral Cohen mendorongnya berusaha menyelamatkan penunggang itu.


“Jangan lakukan itu, itu bunuh diri,” kata serdadu lain mengingatkan Cohen.


Tak menghiraukan peringatan, Cohen tetap maju dengan kudanya. Namun, dia segera didekati tiga orang Aceh. Melihat bahaya mendekatinya, Cohen langsung menggunakan senapan karabinnya, yang lebih pendek dari umumnya karabin. Dua orang Aceh tadi berhasil dirobohkannya, membuat orang Aceh ketiga terpaksa mundur.


Cohen langsung menaikkan serdadu kavaleri yang terluka tadi ke kudanya lalu membawanya ke tempat aman. Namun, keadaan belum aman. Dalam perjalanan, tembakan-tembakan dari orang-orang Aceh menghampirinya.


Tembakan itu menyadarkan Cohen bahwa senapannya tertinggal. Padahal, meninggalkan senjata di daerah pertempuran merupakan pantangan. Cohen pun kembali untuk mengambilnya. Kopral dan serdadu yang ditolongnya itu pun selamat.


Keberanian, dedikasi, dan “kenekatan” Cohen itu langsung diapresiasi para pemangku kebijakan. Pada 13 Juli 1900, Cohen dianugerahi bintang Ridders Militaire Willemsorde kelas empat oleh Kerajaan Belanda.


Setelah kariernya bersinar di Aceh, Cohen terus berdinas di KNIL. Pada 31 Januari 1901, pangkatnya naik menjadi sersan. Namun, pada 1902, dia memutuskan keluar dari KNIL setelah berlibur ke negeri asalnya.


Cohen lalu kembali ke Hindia Belanda sebagai orang sipil. Dia menikahi Evelina van Leeuwen pada 1905 dan Sophia Goldsman pada 1922. Penghasilannya didapatkannya dari bekerja sebagai manajer sebuah bioskop di Makassar.


Di Makassar itulah Cohen mendapati keadaan berubah dengan cepat seiring kemajuan militer Jepang yang mengobarkan Perang Asia Timur Raya. Setelah merebut beberapa titik penting di Semenanjung Malaya, armada pendudukan Jepang menyasar Tarakan dan Balikpapan serta Palembang guna mendapatkan minyak ketiga tempat itu.


“Serangan terhadap Tarakan, Balikpapan, dan Palembang ini tidak mengejutkan Belanda. Tokyo memperkirakan bahwa perang skala besar dengan Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Belanda akan membutuhkan 56,4 juta barel minyak per tahun. Mengingat Hindia Belanda telah memproduksi 56,4 juta barel minyak pada tahun 1939, masuk akal bagi Jepang untuk merebut ladang minyak tersebut sebelum melakukan tindakan agresif lainnya terhadap Hindia Belanda,” Tulis Fred L. Borch dalam Military Trials of War Criminals in the Netherlands East Indies 1946-1949.


Tak hanya jajaran pusat KNIL yang tak terima keadaan itu, Cohen pun sama. Dia lalu memutuskan bergabung kembali dengan KNIL guna menghadapi tentara Jepang yang akan menyerbu Hindia Belanda. Cohen mendapat pangkat letnan satu dan bertugas sebagai perwira infanteri.


“Saya ditempatkan di infanteri, karena tidak ada kuda yang tersisa di seluruh KNIL dan saya tidak tahu tentang kereta perang. Saya harus [sebagai letnan satu] mengatur pengangkutan amunisi,” aku Cohen di Algemeen Dagblad.


Sebagai ksatria RMWO 4, Cohen dihormati perwira KNIL di Makassar. Namun, tidak bagi banyak orang setempat di bekas Hindia Belanda yang telah banyak menginginkan kemerdekaan, apalagi Jepang. Toh kedigdayaan Jepang tak bisa disaingi KNIL hingga membuat Hindia Belanda pun jatuh. Cohen kemudian tertangkap di Pangkajene, utara Makassar. Selama bertahun-tahun dia jadi tawanan perang Jepang di Makassar.


Setelah bebas pada 1945, Cohen pulang ke Belanda naik pesawat pada 1946. Atas perlawanannya pada Jepang dia mendapat penghargaan lagi, Salib Perunggu. Dia lalu menjalani masa tuanya dengan tunjangan bulanan dari pemerintah Belanda, yang pada 1954 sebesar 345 gulden sebulan. Pada 17 Oktober 1969, Cohen tutup usia di Den Haag.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Sikap Belanda Terhadap Kabinet Sutan Sjahrir

Sikap Belanda Terhadap Kabinet Sutan Sjahrir

Pengangkatan Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri disambut positif oleh tokoh-tokoh Belanda karena Sjahrir bukan kolaborator Jepang. Memudahkan proses perundingan dengan Belanda.
Waktu Indonesia Masih Kekurangan Pesawat

Waktu Indonesia Masih Kekurangan Pesawat

Para diplomat dan pejabat Indonesia bertaruh nyawa waktu naik pesawat ke luar negeri. Bahaya datang dari patroli Belanda dan juga kondisi pesawat yang ditumpangi.
Iran dan Program Nuklirnya (Bagian II)

Iran dan Program Nuklirnya (Bagian II)

Iran memulai program nuklirnya dengan bantuan Amerika. Perlahan pasca-Revolusi Iran dianggap sebagai ancaman.
Aroma Hadrami yang Membumi

Aroma Hadrami yang Membumi

Khazanah kuliner Nusantara kian lengkap berkat pengaruh orang-orang keturunan Arab.
Ratu Ester, Wanita Israel di Takhta Kerajaan Persia

Ratu Ester, Wanita Israel di Takhta Kerajaan Persia

Kisah Ratu Ester tercatat dalam kitab sejarah Yahudi maupun kepercayaan Kristen. Menyingkap hubungan Israel dan Persia di masa silam.
bottom of page