- Petrik Matanasi
- 21 Agu
- 3 menit membaca
AUGUST Isaac Tanasale alias Nono Tanasale tak tinggal diam di zaman Jepang. Dia memilih ambil risiko daripada menderita apalagi mati konyol meskipun risikonya bisa kehilangan nyawa.
Bukan tanpa alasan Nono mengambil sikap. Sebab, kehidupan orang Ambon sangat sulit di zaman pendudukan Jepang. Mereka dicap dekat pemerintah Hindia Belanda. Padahal, di kalangan orang Ambon sendiri jelas ada perbedaan. Ada yang di zaman Hindia Belanda ikut pergerakan nasional seperti Mr. Johannes Latuharhary, AM Sangadji, Alexander Jacob Patty atau Johannes Leimena; ada pula yang setia kepada Belanda meski di zaman pendudukan Jepang.
Akibat sikapnya itu, Nono suatu kali tertangkap oleh tentara Jepang dan dibawa ke markas polisi militer Jepang (Kempeitai) di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Terdapat markas Kempeitai Kaigun (polisi militer angkatan laut Kekaisaran Jepang) di sana.
Nono lalu dipertemukan dengan orang Ambon lain. Di tempat itu, orang-orang Ambon tak hanya diperiksa tapi juga disiksa. Tersebutlah Sersan Mayor Kempeitai Ueyama Shizuo, yang terkenal ahli dalam menyiksa tahanan. Het Vrije Pers tanggal 3 Desember 1948) menyebut, Nono dipukuli di sana. Begitu juga Simon Patinama.
Apa pasal Nono sampai dipukuli di sana? Nono, menurut Trouw tanggal 3 Mei 1947, memimpin orang Ambon yang bekerja di pelabuhan untuk melaporkan semua pergerakan kapal, depo amunisi, bahan bakar, minyak, dan lokasi persediaan lainnya.
“Kita memang mempunyai organisasi jaga malam,” kata Nono yang di zaman Jepang tinggal di Tanah Tinggi.
Organisasi yang dimaksud Nono bermarkas di Jalan Raden Saleh. Jaga malam hanyalah kedok untuk menutupi wadah tempat mengumpulkan orang Ambon atau kawan-kawannya yang lain.
Tak hanya sekali, Nono beberapa kali ditangkap. Jika kurang bukti dia dilepas oleh Kempeitai. Namun dia terus diawasi pergerakannya oleh militer Jepang yang punya jaringan mata-mata di kalangan penduduk non-Ambon. Tak hanya Nono, orang-orang Ambon lain juga diawasi. Sebab, mereka dianggap militer Jepang sebagai pendukung Belanda dan Sekutu, lawan Jepang dalam Perang Pasifik. Nono pernah juga ditahan bersama seorang Ambon bermarga Manuhutu.
“Namun, entah bagaimana Nono dan Manuhutu berhasil lolos dari tawanan Kempeitai. Karena tidak berhasil menemukannya, Jepang minta pertanggungjawaban kepada Latuharhary. Kami pun diminta dengan sangat oleh Latuharhary untuk mencari Tanasale melalui organisasi (jaga malam) pemuda Ambon tersebut,” kenang Johannes Dirk de Fretes, pejuang pergerakan asal Ambon yang pernah menjadi asisten Gubernur Latuharhary, dalam Kebenaran Melebihi Persahabatan.
Latuharhary yang dimaksud adalah Mr Johannes Lauharhary, pengacara yang bekerja di pangadilan Belanda sebelum ikut pergerakan nasional. Dia pemuka orang Ambon di Jakarta waktu zaman Jepang. Dia biasa disapa Nani oleh orang-orang Ambon.
Dirk de Fretes sendiri pernah dipanggil polisi namun tidak ditangkap. Dia melihat kawan-kawannya dipukuli di sana. Ketika dia pulang ke rumah bersama kawan-kawannya, Dirk dipanggil seseorang pria dari selokan. Sementara kawan lainnya terus berjalan, Dirk berhenti sebentar dan benar, terdengar suara di sana.
“Kalau mau ketemu, saya ada di Tanah Abang, di rumah kopi, jangan beritahu Boe Nani (Mr. Latuharhary, red.)” kata seorang pria dari dalam selokan yang ternyata adalah Nono yang sedang dicari-cari Jepang.
Dirk pun terus merahasiakannya. Begitu juga yang lain.
Lantaran Nono sulit ditemukan, tentara Jepang pun menangkap beberapa orang Ambon: Agus Souisa, Robert Akyuwen, Kaihatu, Mr. Latumahina, dan Mr. Latuharhary. Mereka disiksa. Mr. Latuharhary yang terpandang juga kena pukul. Bahkan, Agus Souisa dan Robert Kaihatu terbunuh. Tulang Robert juga patah oleh tentara Jepang. Orang Ambon lain yang terbunuh di zaman ini karena siksaan Jepang adalah dr. Kajadoe.
Mengetahui orang-orang Ambon penting disiksa, bahkan sampai ada yang meregang nyawa, Nono tak sampai hati. Dia akhirnya menyerahkan diri kepada militer Jepang.












Komentar