- Andri Setiawan
- 21 Jan 2020
- 4 menit membaca
Planet Bumi baru saja diterjang tsunami. Ketika air telah surut, di sebuah bibir pantai, seorang laki-laki berhasil bertahan hidup karena sebuah noken. Sementara itu, sebuah telur putih yang ukurannya sedikit lebih besar dari semangka juga berhasil selamat dari bencana. Untuk melanjutkan kehidupan yang baru saja porak-poranda, si laki-laki itu harus menetaskan telur itu.
Namun ternyata, tsunami tak hanya menyisakan mereka. Sampah-sampah plastik yang tak bisa terurai bermutasi menjadi monster-monster yang kelaparan. Sedangkan satu-satunya sumber pangan dan energi adalah telur putih besar itu. Maka terjadilah perebutan sumber daya antara manusia dan monster-monster.
Di sisi lain, rombongan manusia tengah bermigrasi mencari tempat hidup yang baru. Perjalanan panjang dilakukan sambil menyanyikan lament (lagu ratapan) yang mengisahkan sejarah manusia bertahan hidup (survival) dalam mencari pangan dan energi.
Kisah di atas merupakan skenario Planet-Sebuah Lament, sebuah pertunjukan yang menggabungkan teater, film, tarian, dan nyanyian yang menarasikan sebuah folklore dalam kebudayaan Melanesia. Karya ini disutradarai oleh Garin Nugroho dan naskahnya ditulis oleh sutradara teater dan opera dari Melbourne, Michael Kantor.

Menyanyikan Sejarah Lisan
Kisah Planet-Sebuah Lament ini dinarasikan oleh Septina Layan, seorang penyanyi lament asal Merauke, dan paduan suara Mazmur Chorale dari Kupang. Melalui lagu-lagu lament Melanesia, mereka menceritakan kisah kehidupan, trauma, doa, keselamatan dan harapan untuk masa depan bumi.
Septina Layan, yang telah bertahun-tahun melakukan riset mengenai lagu lament menyebut bahwa lament merupakan sebuah upaya menjaga ingatan tentang suatu kejadian melalui nyanyian.
"Jadi lament itu sebenarnya sastra yang dinyanyikan. Sebenarnya juga berkaitan dengan tradisi lisan. Tradisi lisan bagaimana menceritakan sejarah kehidupan menggunakan nyanyian," kata Septina kepada historia.id.
Lament, yang bila diterjemahkan menjadi "ratapan", telah berkembang di banyak kebudayaan dunia seperti Mesopotamia, Yunani, hingga Skotlandia. Dalam kebudayaan bangsa Melanesia yang tersebar dari Maluku, Papua hingga Kepulauan Hawaii, lament dapat ditelusuri sejak tradisi pengayauan (perburuan kepala manusia) eksis.
"Yang saya kumpulkan hampir semua lagu itu sebenarnya mulai dari (zaman) pengayauan sudah ada," terang Septina.
Lament diciptakan orang-orang Melanesia ketika sedang berduka, seperti ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia maupun kejadian-kejadian yang memilukan.
"Yang lain berkisah tentang hal-hal yang menyentuh perasaan. Melihat bencana, melihat dinamika kehidupan yang dia merasa bahwa itu tidak seharusnya seperti itu. Akhirnya ungkapan-ungkapan itu untuk menguatkan kembali. Nyanyian itu justru memberikan kekuatan," ungkanya.

Karena berasal dari tradisi lisan, lagu lament selama ini hanya dihidupi oleh mama-mama Papua. Ketika berkebun maupun pergi ke hutan, mama-mama Papua sering menyanyikan lament. Sebagaimana khas nyanyian Papua, lament hanya memiliki empat dan lima nada (tetratonis dan pentatonis). Lament juga sarat akan pengulangan atau repetisi, gaya resitatif, dan pengulangan beberapa nada di akhir kalimat lagu.
Septina sendiri mengenal lament sejak kecil karena ia lahir dari keluarga yang menghidupi lament. Ayahnya, seorang pembantu pastor membuatnya dekat dengan lament, paduan suara, dan bermusik. Septina pun kemudian terpanggil menekuni nyanyian-nyanyian tradisi bangsa Melanesia itu.
"Saya baru mengumpukan di wilayah selatan Papua. Kebetulan itu sebenarnya kerinduan saya karena nyanyian-nyanyian tradisi itu lebih banyak diminati oleh orang tua dan jarang dinyanyikan oleh anak-anak karena kesulitan bahasa," sebutnya.
Septina kini telah menghimpun 30 lagu, menotasikan, dan menuliskan liriknya berdasar memori orang-orang yang sudah tua. Ia kemudian membukukan kumpulan lagu tersebut dan membagikannya kepada anak-anak. Ia juga melatih mereka menyanyikannya.
Septina juga menciptakan sendiri lagu-lagu lament dengan tema-tema yang berkaitan dengan masalah lingkungan di Papua seperti tergusurnya hutan sagu hingga kehidupan burung cendrawasih.

Ruang Ekspresi Indonesia Timur
Garin Nugroho, sutradara Planet-Sebuah Lamen menyebut pementasan ini merupakan upaya untuk membicarakan dan menyediakan ruang ekspresi bagi budaya Melanesia yang selama ini jarang tersentuh.
Garin sudah tertarik dengan lament sejak tahun 2012. Dia menyebut lament hidup di sudut-sudut Nusantara purba dan menjadi ratapan sejarah purba dunia, baik ratapan hilangnya kota-kota maupun rusaknya peradaban sebab perang atau bencana.
Sejak 1985, Garin juga telah melakukan perjalanan ke daerah timur Indonesia dan mendengarkan lament di desa-desa. Selain itu, pengalaman mendengar lament dalam perayaan paskah di Pulau Procida, Italia hingga Larantuka, Nusa Tenggara Timur juga menginspirasinya.
"Saya melakukan perjalanan panjang sejak 1985 di NTT, khususnya Flores. Kalau anda baca dalam tradisi musikologi, (mereka) memiliki kekayaan luar biasa pada vokal. Dan saya banyak sekali jalan di Papua. Bahasa tubuh Papua kalau anda lihat tadi luar biasa sekali. Vocabulary-nya hampir kita tidak punya," ujar Garin.

Garin kemudian melakukan riset tentang lament hingga tanpa sengaja bertemu Septina Layan di Papua. Ia juga kemudian bertemu paduan suara Mazmur Chorale dari Kupang serta penari-penari Papua.
"Oleh karena itu, ini menjadi sebuah kumpulan dari mereka yang kemudian memang membawa suara Melanesia," terang Garin.
Garin menambahkan, merayakan Melanesia tidak hanya dengan menyebut-nyebut eksistensinya, melainkan juga dengan memberi dukungan kepada bakat-bakat luar biasa orang Melanesia.
Planet-Sebuah Lament telah digelar di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, 18-19 Januari 2020 dan akan membuka perhelatan Asia-Pacific Triennial of Performing Arts (Asia-TOPA) Februari mendatang di Melbourne, Australia. Pertunjukan ini juga dijadwalkan tampil di Dusseldorf, Jerman, dan Amsterdam, Belanda.













Komentar