- Petrik Matanasi
- 30 Jun
- 3 menit membaca
MARTAPURA dikenal sejak lama sebagai penghasil intan. Kendati Banjarbaru dan beberapa daerah lain di Kalimantan Selatan juga penghasil intan, Martapura tetap menjadi ikonnya lantaran kuantitas dan kualitas intan yang dihasilkannya.
“Ia terkenal sebagai penghasil intan terbesar dan berkualitas di Indonesia bahkan dunia. Menurut para ilmuwan, intan Martapura adalah intan jenis sekunder. Karena intan itu hanyut terbawa arus sungai ribuan tahun lalu, kekuatan intan Martapura terseleksi oleh alam, sehingga jauh lebih keras dan padat,” catat Martha Tilaar dalam Sejarah Perjalanan Trend Warna, 1987-2012.
Intan Martapura telah lama diusahakan. Para pembesar Kerajaan Banjar telah menjadikan intan di sana sebagai barang berharga sejak dulu.
“Raja-raja Banjar dikenal banyak memiliki batu permata yang indah baik itu emas maupun intan. Raja-raja Banjar sering memberikan hadiah berupa perhiasan kepada para tamu kehormatan yang berkunjung ke Kerajaan Banjar,” tulis Profesor Dr. Fahruddin, pakar bioteknologi lingkungan, dalam Pengelolaan Limbah Pertambangan Secara Biologis.
Tingginya nilai ekonomis pada intan Martapura menjadikannya komoditas berharga. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan, intan Martapura bersama beras dan kayu dikirim dari Kesultanan Banjar ke Jawa.
Produksi intan di Martapura memasuki tahap yang lebih modern dengan skala lebih masif pada masa kolonial Hindia Belanda. Adalah Leendert Henri Krol (1881-1933) yang punya peran dalam industrialisasi tersebut.
Krol merupakan seorang insinyur Belanda yang bertahun-tahun tinggal di Kalimantan Selatan. Selama di sana, dia tidak hanya menetap di Banjarmasin sebagai pusat politik dan ekonomi di Kalimantan Selatan, tapi juga berkeliling ke beberapa daerah lain. Salah satunya di Martapura, yang bersama Banjarmasin termasuk ke dalam wilayah Kesultanan Banjar. Dari “pengembaraannya” itu, Krol menemukan fenomena soal bisnis intan Martapura dan menaruh minat besar padanya.
Dari keseriusannya meneliti intan Martapura, Krol mendapat banyak informasi penting yang jarang diketahui orang. Temuan-temuan itulah yang pada 1918 dia paparkan di forum ilmiah. Koran Bataviaasch Nieuwsblad (12 Desember 1918) dan De Locomotief (13 Desember 1918) memberitakan bahwa Krol memberi ceramah yang sangat menarik tentang intan Martapura di Royal Institute of Engineers.
Krol, yang lama tinggal di daerah aliran sungai-sungai di Kalimantan Selatna, menyimpulkan bahwa sungai-sungai di sekitar Martapua mengandung intan. Tepatnya di daerah-daerah tempat terjadinya patahan atau retakan. Pada saat patahan, intan-intan mengkristal pada permukaan patahan tersebut.
Tak hanya membahasnya secara fisika, Krol juga membahasnya secara sosial. Menurut Krol, penduduk, yang telah mencari nafkah dengan menggali intan/berlian sejak dahulu kala, mencapai hasil yang sangat baik meskipun metodenya primitif. Mereka mencari intan dengan menggali sebuah lubang yang dalamnya sektiar 20 meter. Tanah galian itu kemudian diangkat lalu diremas dan dicuci. Seringkali titik-titik penggalian tersebut hanya ditopang oleh batang pohon tipis yang diikat dengan rotan. Batu intan yang –menurut Kroll adalah batu dengan kualitas yang indah– telah didapatkan itu kemudian diolah dan diukir. Pengolahannya memakai mesin uap.
Krol menjelaskan, tempat pengukiran intan di sana dimiliki salah satu orang kaya di kampung dekat tambang tersebut. Si pemilik tempat pengukiran itu juga menampung intan-intan dengan membeli dari para penambang. Setelah melewati proses pengukiran, orang kaya tadi lalu menjualnya dengan untung 10 hingga 12 sen. Setidaknya, kata Krol, ada enam toko yang berbisnis intan. Bisnis pengolahan intan di sana melibatkan 1.100 orang.
Pemaparan Krol di Royal Institute of Engineers namun memicu perdebatan antara Krol dan Van Es. Menurut Van Es, Krol salah tentang lokasi intan yang berada di aliran sungai. Seorang Belanda yang hadir dalam pertemuan itu, Middelberg, melihat penambangan intan itu dari sisi ekonomi. Dia berharap agar banyak penduduk asli dapat menemukan mata pencaharian dalam industri komersial ini dan menurutnya barangkali penting untuk mengupayakan pengembangan industri ini. Sementara, Henri Polak yang juga hadir di sana mengusulkan tentang pentingnya membatasi pertambangan intan itu demi menyelamatkan Amsterdamsche Diamant Industrie dari kehancuran. Industri intan Belanda tersebut bisa terganggu ekspornya jika penambangan intan di Martapura diperbesar.
Terlepas dari industri intan Martapura, Krol merupakan teknisi berguna. Meski bekerja di Departemen Pertambangan, Krol dengan kemampuannya dianggap perlu dilibatkan dalam Burgerlijke Openbare Werken (BOW) alias Departemen Pekerjaan Umum. De Telegraaf tanggal 31 Agustus 1915 memberitakan, Krol diminta bergabung dalam komite di daerah Borneo Selatan dan Timur. Dia diminta untuk bekerjasama dengan Insinyur pengairan menyelidiki pasokan utama air tanah di kota Banjarmasin. Air bersih adalah masalah perkotaan di Kalimantan meskipun kebanyakan kota di sana dialiri sungai.
Di Kalimantan Selatan, Krol tinggal dengan istrinya, Willemina Cornelia van Beveren, dan anak mereka, Gerardus Leendert Krol. Menurut Middelburgsche Courant tanggal 14 September 1912, Gerardus lahir di Martapura pada 12 September 1912. Anak ini kemudian menjadi insinyur tambang pula. Ketika Perang Dunia II, Gerard Krol menjadi letnan cadangan KNIL dan ketika revolusi kemerdekaan Indonesia menjadi perwira intelijen Belanda ketika Westerling membantai di Sulawesi Selatan.*









