- Petrik Matanasi
- 26 Jun
- 2 menit membaca
SEJAK bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI), pergerakan Mr. Alexander Andries Maramis tak pernah berhenti. Ketika dirinya berpraktek sebagai pengacara pada 1930-an, ikatan dengan pergerakan nasional tetap dijaganya. Setidaknya dengan seorang anggota Soerja Wirawan yang juga berasal dari Minahasa seperti dirinya. Soerja Wirawan merupakan organ kepanduan dari Partai Indonesia Raja (Parindra), yang berdiri sekitar tahun 1935. Pemuda kontak Maramis itu bernama Evert Langkay, yang 16 tahun lebih muda darinya.
Evert pernah datang dalam sebuah pertemuan pada 1937 di Gang Kenari, Jakarta Pusat. Seingat Evert yang datang di sana ada Sutan Murad. Namun polisi lalu datang menggerebek pertemuan itu dan Sutan Murad ditangkap. Konon, Murad dibuang ke Tanah Merah, Boven Digoel. Evert sendiri lolos dari jeratan aparat hukum kolonial.
“Dalam usia 17 tahun, saya sudah aktif dengan organisasi-organisasi pemuda, antara lain Soerja Wirawan. Karena aktivitas dalam pergerakan pemuda itulah saya sering ditangkap dan dimejahijaukan. Salah seorang di antara mereka yang selalu membela saya di pengadilan kolonial adalah Bapak Mr AA Maramis,” aku Evert Langkay di buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan III.
Tak hanya di zaman Hindia Belanda, di zaman pendudukan Jepang pun Evert juga berurusan dengan hukum penguasa. Evert pernah dua kali ditangkap tentara Jepang dan mendapat penyiksaan di tahanan. Dalam penangkapannya yang kedua, Evert dituduh menggalang gerakan anti-Jepang dan itu benar.
Lagi-lagi Maramis membelanya. Evert pun lolos lagi. Maramis juga memberinya jalan agar tak dicurigai militer Jepang.
“Untuk menghindarkan diri dari penangkapan kembali, Mr AA Maramis meminta agar saya bekerja, sebab kalau sampai saya tertangkap untuk ketiga kalinya, hukuman pancung akan pasti dijatuhkan padanya,” kenang Evert Langkay.
Evert pun diatur Maramis untuk bekerja di markas Kaigun (Angkatan Laut) di Jalan Bungur Jakarta. Evert ditempatkan di bagian hubungan masyarakat. Di sana dia bertemu pemuda pergerakan macam Wikana dan orang pergerakan tua seperti Mr Achmad Subardjo, Sukarno, Hatta, Iwa Kusumasumantri dan juga Sam Ratulangie.
Maramis, menurut Ventje Sumual dalam Ventje Sumual, Pemimpin yang Menatap Hanya ke Depan, sangat dekat dengan kalangan pemuda di Jakarta, terutama pemuda yang berasal dari Minahasa. Rumahnya di pojok jalan simpang Pejambon dan Gambir dijadikan tempat menginap para wakil Sulawesi dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tentu saja Sam Ratulangie kerap bertemu dan bergerak bersamanya. Keduanya berusaha mempersatukan pemuda Minahasa di Jakarta.
“Mr Maramis dan Dr Ratulangi saat itu menjadi penasehat dan saya ditugaskan mengkordinir para bekas serdadu KNIL, orang-orang preman, pemuda-pemuda, baik yang berasal dari Sulawesi maupun yang berasal dari daerah sekitar Betawi,” terang Evert Langkay.
Pemuda jaringan Evert kerap diajak berkumpul ketika Maramis sedang ikut sidang-sidang penting. Termasuk sidang-sidang BPUPKI tempat Maramis bergabung.
Setelah Indonesia merdeka, para pemuda yang dekat dengan Evert itu menjadi bagian dari pasukan bernama Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS). Pemuda-pemuda KRIS itu terlibat dalam banyak pertempuran semasa revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Namun, Evert tak hanya berjuang bersama rekan-rekan seetnisnya. Berjejaring terus dilakukannya. Jaringannya yang luas itu membuat Evert sempat berjuang bersama Bung Tomo dalam Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) di Surabaya.
Evert yang pernah diberi pangkat kolonel, menurut Ventje Sumual, pernah menjadi pucuk pimpinan KRIS. Namun, dia kemudian berselisih dengan Letnan Kolonel Jan Rapar, pemimpin KRIS yang lain. Evert lalu tak di KRIS lagi dan Rapar sempat memimpin laskar itu sebelum akhirnya banyak pemuda KRIS masuk TNI dalam Brigade ke-16.*













Komentar