top of page

Sejarah Indonesia

Masa Kecil Kwik Kian Gie Yang

Masa Kecil Kwik Kian Gie yang Pelik

Ayahnya bos tekstil yang dipenjara Jepang. Ibunya pontang-panting menafkahi Kwik Kian Gie dan saudara-saudaranya.

30 Juli 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Begawan ekonomi Kwik Kian Gie yang wafat di usia 90 tahun (kwikkiangie.ac.id)

BANYAK orang mengenal mendiang Kwik Kian Gie sebagai begawan ekonomi dengan pemikiran-pemikiran ekonomi kerakyatannya. Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa masa kecilnya sarat pengalaman pelik di masa pendudukan Jepang (1942-1945). 

 

Kwik lahir di Juwana, wilayah penghasil bandeng di Pati, Jawa Tengah, pada 11 Januari 1935. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara pasangan suami-istri Kwik Hway Gwan dan Bak Chun Suk. 

 

Menurut kakak Kwik bernama Januar Darmawan dalam bukunya, Profit and Beyond: Proses Mencetak Para Wirausahawan, ayah mereka seorang bos pabrik tekstil yang sangat berhasil, sementara sang ibu juga pedagang batik. Sang ayah tidak hanya jadi salah satu orang terkaya di Juwana namun juga sosok filantropis anggota Tjin Tjay Hwee, perkumpulan amal Tionghoa untuk membantu China ketika tengah dilanda Perang Sino-Jepang Kedua (1937-1945). 

 

“Ayah mempunyai banyak sekali karyawan, yang semuanya masyarakat pribumi. Setiap Sabtu rumah kami selalu ramai karena itu adalah hari gajian untuk para pekerja. Biasanya para pekerja sering membawa anak-anak mereka. Dengan anak-anak para pekerja itulah saya dan adik-adik saya, Kwik Kian Gie dan Budi Dharmawan, sering berkelahi. Setiap berkelahi kamilah yang selalu dihukum. Di kemudian hari baru saya tahu, begitulah cara ayah mendidik kami karena dalam perkelahian antara anak majikan dan anak buruh, secara alamiah sudah terjadi ketidakseimbangan. Bagaimanapun saya dan adik saya berada pada posisi yang kuat,” kenang Januar. 

 

Namun, masa keemasan itu seketika berubah ketika pemerintah Hindia Belanda ambruk oleh militer Jepang. Keluarga besar Kwik sampai harus mengungsi dari “zona nyaman” mereka di Juwana. 

 

“Juwana, kota ini merupakan kota satelit dari kota Pati yang lebih besar. Di tahun 1942, Juwana sudah kosong. Belanda sudah menarik diri sehingga Juwana merupakan kota tanpa kekuasaan. Ayah berasumsi, di desa yang lebih kecil mestinya lebih aman karena penduduknya masih sangat tradisional dengan kehidupan dan nilai-nilainya yang mulia,” kata Kwik dalam memoarnya, Menelusuri Zaman: Memoar dan Catatan Kritis.

 

Harta Benda Dirampok, Ayah Dipenjara Jepang

Kehidupan keluarga Kwik Kian Gie langsung berubah 180 derajat begitu Jepang mulai hadir di Pati dan sekitarnya, termasuk Juwana. Mereka hanya bisa membawa harta benda seadanya sekaligus meninggalkan pabrik tekstil yang sudah lama dirintis sang ayah. 

 

“Itulah akhir periode Juwana. Pabrik tekstil ayah langsung berhenti begitu Jepang masuk dan setelah itu tidak pernah dihidupkan lagi. Di samping ayah, kakek saya juga seorang pebisnis. Beliau mempunyai pabrik rokok yang cukup besar di Juwana. Pada masa pendudukan Jepang, pabrik itu aman, padahal aset milik keluarga kami habis dirampok dan dijarah ketika kami sedang mengungsi,” sambung Januar. 

 

Mereka pun terpaksa mengungsi puluhan kilometer ke utara sampai ke sebuah desa bernama Pakis. Keluarga Kwik dan beberapa kerabatnya menghuni sebuah villa milik orang Belanda yang ditinggalkan, tak jauh dari sebuah pabrik gula. Itupun mereka harus hidup dalam keadaan mencekam karena jadi target gerombolan perampok. 

 

“Pada suatu hari kami dirampok habis. Situasi sangat menakutkan, terutama setelah tante saya memukul salah seorang perampok sehingga berdarah-darah dan om saya melepaskan tembakan. Sekalipun demikian, saya bersyukur tidak seorang perampok pun membalas. Mereka bahkan ketakutan. Yang mereka kehendaki hanya barang dan makanan, tidak menyakiti orang. Setelah semua barang dan makanan kami ludes, mereka meninggalkan kami. Rakyat yang berada dalam kondisi miskin dan kelaparan, sepertinya secara naluriah terpaksa melakukan perampokan,” ungkap Kwik. 

 

Habisnya harta mereka membuat sang ayah kembali ke Juwana. Sebagaimana yang diungkapkan Januar, pabrik rokok kakek mereka masih utuh. Baik Januar maupun Kwik beberapa kali mendampingi ayahnya ke Juwana untuk mengambil persediaan rokok. 

 

“Kami menyambung hidup dengan rokok di gudang milik kakek yang bahkan belum sempat dibungkusi. Saya dan adik-adik saya untuk sekian lama menjajakan rokok, biasanya di stasiun kereta,” tulis Januar. 

 

Pada suatu ketika dalam perjalanan bolak-balik ke Juwana, mereka sempat dihadang gerombolan bandit dan nyaris kembali jadi korban perampokan. Menurut Januar, mereka diselamatkan pedagang tahu langganan keluarga mereka. Namun menurut Kwik, mereka diselamatkan sang pemimpin bandit yang ternyata mantan pegawai pabrik tekstil ayahnya. 

 

Peliknya kehidupan masa kecil Kwik tak berhenti sampai di situ. Masih di tahun 1942, ayahnya diciduk aparat Jepang. Keikutsertaannya sebagai anggota perkumpulan Tjin Tjay Hwee, yang di masa kolonial acap menggalang dana melalui event-event olahraga maupun pasar malam, membuat sang ayah dicap anti-Jepang. 

 

“Begitu Jepang menduduki Juwana, beberapa tokoh Tionghoa antara lain The Tjhioe Siang dan Kwik Hway Gwan (ayah Kwik Kian Gie dan saudara-saudaranya) langsung dijebloskan di Penjara Pati dan kemudian dikirim ke kamp interniran di Cimahi,” tulis Sinergi Indonesia, Volume 40, tahun 2006. 

 

Keadaan pun makin sulit. Sang ibu beserta paman dan bibi Kwik pontang-panting mencari nafkah alternatif untuk menghidupi lebih sekitar 10 anak. Sang ibu hanya bisa berdagang permen hingga kacang goreng yang lantas dijajakan anak-anaknya seraya anak-anaknya mengumpulkan biji jarak yang jadi pekerjaan yang diwajibkan oleh Jepang. 

 

“Ayah ditangkap dan dipenjara karena orientasinya anti Jepang dalam Perang Dunia ke-II. Karena keluarga kami cukup besar, dengan ayah yang ada di dalam penjara dan anak-anak berjumlah 10 orang, ibu tidak bisa mengurus anak, kecuali mati-matian mencari nafkah,” sambung Kwik. 

 

Karena situasi makin memprihatinkan, sang ibu memutuskan untuk memboyong anak-anaknya ke Semarang karena ada beberapa kerabat di sana. Akibatnya, Kwik mesti tiga kali pindah sekolah untuk menyambung pendidikan dasarnya.


Keadaan mulai membaik pasca-Jepang menyerah pada Sekutu pada 1945. Ayahnya Kwik bisa kembali setelah dibebaskan. 

 

“Kondisi Semarang masih berantakan akibat pertempuran tentara Indonesia dan Jepang. Banyak rumah peninggalan Belanda yang kosong dan hancur. Ayah menemukan rumah yang cukup besar di Jalan Karang Tengah nomor 36. Tidak tahu milik siapa. Tidak ada maksud curang sedikit pun. Dia menunggu sampai sang pemilik rumah datang untuk mengurus penyelesaian. Setelah sekian lama, seorang wakil pemilik rumah datang dan mereka bersedia menjual rumah itu. Di sinilah kami semua dibesarkan, sampai masing-masing meninggalkan Semarang karena sudah lulus SMA dan melanjutkan studi perguruan tinggi di luar Semarang,” tukas Kwik. 



1 Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Dj Bloger
Dj Bloger
31 Jul
Dinilai 5 dari 5 bintang.

turut berduka cita untuk pak kwik alm

Suka
Neraka di Ghetto Cideng

Neraka di Ghetto Cideng

Jepang menyatakan Kamp Cideng sebagai ghetto “terlindungi”. Kenyataannya, hidup para interniran seperti di neraka.
S.K. Trimurti Menyalakan Api Kartini

S.K. Trimurti Menyalakan Api Kartini

S.K. Trimurti ikut membangun Gerwani, organisasi perempuan paling progresif. Namun, Trimurti mengundurkan diri ketika Gerwani mulai oleng ke kiri dan dia memilih suami daripada organisasi.
Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Kedua jenis ulos ini biasa digunakan dalam pesta sukacita orang Batak. Sadum untuk perempuan dan Tumtuman bagi laki-laki.
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
bottom of page