top of page

Sejarah Indonesia

Memaknai Trauma Peristiwa

Memaknai Trauma Peristiwa 1965

Trauma seperti sebuah penyakit tersembunyi. Ia tak terlihat tetapi ada dan membayangi seseorang selama hidupnya.

4 Oktober 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sastrawan Martin Aleida (kiri), putri pahlawan revolusi Soetojo Siswomihardjo, Nani Nurrachman Sutojo (kedua dari kiri), dan penulis serta psikolog Eunike Sri Tyas Suci (kedua dari kanan) hadir sebagai pembicara dalam acara bertajuk Membaca 1965: Tentang Luka dan 60 Tahun Setelahnya di toko buku Makarya, Gramedia Matraman, Jakarta, Selasa (30/9/2025).

HUJAN mengguyur Jakarta sejak sore hari di akhir September 2025. Namun, toko buku Makarya di area Gramedia Matraman, Jakarta Timur, ramai didatangi pengunjung, sebagian besar anak muda yang nekat menerobos hujan demi mendengar kisah orang-orang yang terdampak peristiwa Gerakan 30 September 1965.


Dalam acara bertajuk “Membaca 1965: Tentang Luka dan 60 Tahun Setelahnya” yang diselenggarakan pada 30 September 2025, sastrawan yang juga wartawan penyintas peristiwa 1965, Martin Aleida, berbicara tentang orang-orang Indonesia yang menjadi eksil di luar negeri setelah pecah peristiwa G30S dan pengalamannya menjadi saksi dalam sidang International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag, Belanda pada 10-13 November 2015.


Ada satu hal yang tak dapat dilupakan Martin ketika bersaksi dalam Pengadilan Rakyat Internasional tersebut. Alih-alih bersaksi secara terbuka, mantan juru warta Istana masa Sukarno itu menyebut eksil yang menjadi saksi menyampaikan kesaksiannya di balik tirai.


“Saya bersaksi secara terbuka, tetapi eksil yang bersaksi dalam pengadilan itu berada di balik tirai hitam. Mereka tidak tampil. Jadi, saya sempat berpikir, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka, di negara yang sudah begitu menikmati kebebasan, tidak berani tampil... Karena itu saya berpikir terus bagaimana saya harus mencari orang-orang ini... Kenapa mereka tidak berani bersaksi secara terbuka seperti kami dari tanah air yang berdarah, terbuang dan terserak... Nah, menghadapi para eksil ini juga tidak mudah,” kata Martin.


Laporan akhir International People’s Tribunal 1965 menyebut sepuluh tindakan tidak manusiawi yang dialami orang-orang yang terdampak peristiwa G30S, yaitu pembunuhan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, keterlibatan negara lain, serta genosida. Martin sendiri bersaksi untuk tuntutan terkait dengan penyiksaan.


Martin mengisahkan, selama proses penahanan dan interogasi, orang-orang yang ditangkap karena dituding terlibat G30S kerap mengalami penyiksaan. Hal itu dilakukan untuk menggali informasi. Trauma dari penyiksaan tersebut tak hanya dirasakan oleh para korban, tetapi juga tahanan lain yang tidak mengalami penyiksaan fisik.


“Dulu di Komando Distrik Militer 0501 Jakarta Pusat, di belakang gedung Bank Indonesia, tahanan perempuan termasuk Soetarni, istri Njoto (pimpinan PKI, red.), dan kelima anaknya tidak ditempatkan di sel tetapi di dapur yang dialihfungsikan menjadi sel... Dapur itu berada dekat dengan ruang interogasi. Karena itu, interogasi dilakukan tengah malam. Apa yang terjadi saat interogasi? Paling tidak terdengar suara teriakan,” kata Martin.


“Dan teriakan di tengah malam itu pastilah membangunkan tahanan perempuan. Kadang-kadang anak-anak yang ada di dapur juga terbangun. Coba bayangkan, bagaimana dampak psikologi anak-anak ini. Penderitaan seperti apa yang harus mereka jalani dari kecil sampai dewasa karena hal ini. Itu yang menjadi kesaksian saya,” tambah Martin yang memiliki nama kecil Nurlan.


Kisah tentang penyiksaan juga disampaikan oleh penulis dan psikolog, Eunike Sri Tyas Suci. Ia menyebut ingatan tentang penyiksaan juga dimiliki oleh orang tuanya yang kediamannya berada di sebelah Corps Polisi Militer (CPM), tempat orang-orang dari sejumlah desa di Boyolali, yang dituding terlibat dalam aktivitas PKI, ditahan untuk diinterogasi. Dalam proses interogasi itu mereka mendapatkan kekerasan dan penyiksaan.


“Ibu saya menceritakan bagaimana beliau lihat sendiri di CPM, diapakan saja mereka setelah diambil dari desa-desa. Ibu saya harus tinggal di rumah itu sampai beliau meninggal dan masih mengalami suara-suara, mungkin yang percaya pada supranatural, teriakan-teriakan, karena persis sebelahnya adalah kamar mandi tempat dulu orang-orang yang ditahan itu disiksa. Jadi, setiap malam ibu saya mendengar itu semua,” katanya.


Ingatan memilukan tentang peristiwa G30S juga dimiliki oleh Nani Nurrachman Sutojo, putri Mayjen TNI (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo, salah satu dari tujuh perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi korban pembunuhan pada dini hari 1 Oktober 1965. Kematian sang ayah menyisakan trauma yang mendalam. Menurut Nani, trauma seperti sebuah penyakit tersembunyi. Ia tak terlihat tetapi ada dan membayangi seseorang selama hidupnya. Trauma membuat seseorang mengalami konflik batin dan butuh waktu panjang untuk rekonsiliasi.


“Trauma itu menubuh dan tidak bisa dihilangkan, ia hanya bisa diatasi dan dibuat pasif... Ingatan traumatik itu akan selalu ada, tetapi sebagai orang yang mengalami trauma, akan sulit untuk menggambarkan karena tidak ada kata-kata yang pas... Orang kalau tidak ada di situ sebagai saksi tidak akan bisa memahami,” kata Nani yang menulis buku Kenangan Tak Terungkap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965.


Nani bercerita, pengalaman lima tahun bertetangga dengan seorang penyintas Holocaust di New York, Amerika Serikat menjadi kenangan berharga yang tak akan terlupakan. Tetangga itu kerap meminta Nani berkunjung ketika menjelang musim gugur. Di salah satu pertemuan itulah tanpa sengaja Nani melihat tato angka yang menjadi saksi bisu kekejaman Nazi.


“Saya tadinya nggak terlalu memperhatikan, tapi satu saat saya melihat tato angkanya dan dia tahu saya memerhatikan itu terus... Dari situ saya belajar bahwa she can do it, why not me,” kata Nani.


Peristiwa lain yang memengaruhi Nani dalam memaknai trauma terjadi ketika anaknya yang berusia 8 tahun bertanya tentang komunis setelah menonton film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer.


“Anak saya bertanya, ‘Ma... what is a communist?’ Saat itu saya merasa tidak bisa menjawab... tapi di dalam hati saya merasa... kalau kamu mau menjawab, maka jawaban yang kamu berikan adalah jawaban sebagai seorang ibu, bukan siapa-siapa. Dan itu yang membuat saya sadar bahwa saya tidak akan bisa menjawab kalau saya belum selesai dengan diri saya sendiri. Karena, apakah saya akan mewariskan dendam? Kalau mewariskan, ya kalau itu adalah PKI tapi kalau nanti di masa yang akan datang golongan lain, bagaimana?” ungkap Nani.


Bicara mengenai trauma, Tyas Suci menyebut bahwa pemahaman mengenai trauma psikologis mulai dikenal masyarakat Indonesia pada 1998. Peristiwa Mei 1998 menjadi turning point dalam menumbuhkan makna trauma seperti yang dikenal saat ini. Penyunting buku Menyingkap Trauma Bangsa itu memandang trauma tidak bisa dikesampingkan karena dampaknya memiliki skala yang begitu luas, tak hanya kepada individu tetapi juga sebuah bangsa. Oleh sebab itu, alih-alih dipendam, peristiwa traumatis sudah sepatutnya diungkapkan agar dapat terselesaikan.


Karena trauma tidak dapat dihilangkan, Nani meyakini, yang terpenting dalam memaknai hal ini yaitu mengakui penderitaan para penyintas sebagai penderitaan publik. Ini yang kemudian akan mentransformasikan penderitaan yang dialami para penyintas sebagai penderitaan sosial berskala besar. Sebab, para penyintas sesungguhnya bagian dari masyarakat. Mereka bukan sekadar angka yang seolah-olah tak memiliki perasaan dan pikiran. Jika hal ini dilakukan, para penyintas maupun korban mampu mengklaim statusnya di dalam sejarah.


“Kalau para korban dan penyintas mampu diakui dan diklaim statusnya oleh negara, maka itu merupakan suatu proses restorasi kehormatan diri mereka sebagai warga negara. Ini tentu saja akan memberi pengaruh terhadap keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia ke depannya dan kalau bisa belajar dari situ, menghindarkan diri dari pengulangan hal yang sama,” jelas Nani.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page