- Andri Setiawan
- 20 Nov 2019
- 3 menit membaca
Pada 1975, diadakan pameran lukisan dalam rangka pembukaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang baru berdiri. Gubernur Ali Sadikin yang meninjau kesiapan pameran, tiba-tiba berhenti di depan sebuah lukisan karya Srihadi Soedarsono.
Lukisan Srihadi menampilkan sebuah air mancur yang dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Gedung-gedung itu juga dipenuhi tulisan Hitachi, Toshiba, Banzai, Toyota, Sony, Dai Nippon, hingga Bakero. Lukisan yang diberi judul “Air Mancar” dan dibuat pada tahun 1973 itu menampilkan wajah ibu kota yang semrawut.
Nampaknya Ali Sadikin geram melihat Jakarta dilukiskan penuh reklame perusahaan Jepang. Ia pun lantas mencoret-coret lukisan itu dengan tulisan, “Sontoloyo!!! Apa ini reklame barang2 Jepang.” Ia kemudian juga membubuhkan tanda tangannya. Lukisan itu akhirnya tidak jadi dipamerkan untuk menghindari kemarahan Presiden Soeharto yang akan membuka acara.

Kejadian itulah yang kemudian menginspirasi pameran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk "Sontoloyo" di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM). Pameran ini menampilkan sepilihan koleksi DKJ dari pelukis seperti Basuki Resobowo, Dede Eri Supria, Djojo Gozali, Hardi, Ipe Ma’aroef, Ipung Gozali, Mardian, Muryoto Hartoyo, Nashar, Oesman Effendi, Rudi Isbandi, Wahyu Widjaja, dan Zaini.
Pameran yang berlangsung mulai 15 hingga 30 November 2019 dikuratori oleh Bambang Bujono dan Lisistrata Lusandiana. Kedua kurator memilih karya-karya yang berkaitan dengan permasalahan urbanitas yang dibuat pada masa Orde Baru terutama pada dekade 1970-an hingga 1980-an.
Pembacaan ulang atas karya-karya mereka ternyata memperlihatkan relasi antara seniman, kota, dan penguasa. Beberapa karya sketsa tahun-tahun itu tidak menunjukan gambaran kota yang realistis. Sementara itu garis-garis dan coretan abstrak nampaknya lebih menonjol.

“Semacam ada sesuatu yang mereka hindari. Yang dari bentuk, itu adalah menghindari bentuk yang realistis. Tentu saja ada pengaruh perkembangan seni rupa itu sendiri. Tetapi sebaliknya perkembangan seni rupa itu juga dipengaruhi oleh suasana lain-lain. Suasana politik, ekonomi dan sebagainya. Mengapa mereka menjadi asbtrak,” kata Bambang Bujono.
Menurut Bambang, para perupa masa itu tidak ingin karyanya dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang bisa diverbalkan. Hal ini berkaitan erat dengan peristiwa 1965.

Pada masa sebelum tahun 1965, kebudayaan Indonesia termasuk senirupa didominasi oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra dengan "politik sebagai panglima"-nya memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan seni rupa kala itu.
Pasca tragedi 1965, Lekra dilarang bersama PKI dan semua yang dianggap berkaitan dengan komunis. Masa-masa itu kemudian membawa "kebebasan" bagi para seniman yang kala itu merasa tidak bebas karena setiap karya harus politis.

“Kebebasan kreatif itu dirayakan luar biasa, tetapi di bawah sadar sebetulnya ada satu ketidakbebasan, yang waktu itu belum terasa. Yaitu ketidakbebasan untuk, misalnya, mengkritik pemerintah. Kebebasan untuk berbicara seperti ketika tahun 65,” ujar Bambang.
Bambang menambahkan, hal itu membuat para sketcher masa itu memiliki kecenderungan untuk mengingkari bentuk yang ada di depan mata. “Ada semacam escape, pelarian. Maka (karya) Pak Zaini misalnya, menjadi seperti abstrak,” ungkapnya.
Sementara itu, karya-karya "sontoloyo" seperti milik Srihadi seringkali mendapat represi secara langsung. Salah satu contohnya adalah karya cetak saring seniman Hardi, eksponen Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) berjudul Suhardi Presiden R.I Th. 2001 (1979). Ketika dipamerkan dalam pameran pelukis muda se-Indonesia, karya itu diminta diturunkan oleh pihak keamanan dan menyebabkan Hardi ditahan dua hari di Laksusda Jakarta.
Dalam pameran ini, karya-karya "sontoloyo" itu disandingkan dengan karya-karya pensketsa urban masa kini sebagai upaya melihat kembali perkembangan seni rupa Indonesia beserta segala masalah kreativitasnya.
Lisistrata Lusandiana menambahkan, pemilihan karya kali ini juga didasari pada ajakan untuk mempertanyakan ulang bagaimana urbanitas dibicarakan serta apakah prosesnya telah berjalan demokratis atau belum.










Komentar