- Martin Sitompul
- 20 Jun
- 3 menit membaca
SELAMA kurang lebih 20 tahun, Hans Pols, sejarawan kebangsaan Belanda dari University of Sydney, menggeluti riset sejarah kesehatan Indonesia. Ketertarikan Pols pada tema tersebut bermula sedari kecil. Semasa bocah, Pols suka main ke rumah sakit jiwa. Pols akrab dengan tempat itu lantaran ayahnya seorang psikiater yang buka praktik di Rumah Sakit Jiwa Assen di Belanda.
“Masa kecil saya dekat dengan rumah sakit jiwa. Ayah saya bekerja di rumahsakit jiwa. Jadi saya ingin tahu, (penyakit jiwa) itu seperti apa,” kenang Pols dalam peluncuran bukunya Obat, Ilmu, dan Kuasa: Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia di Akademi Ilmu Pengatahuan Indonesia (AIPI), Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Selain itu, Pols memiliki sejarah keluarga di Indonesia. Ibunya lahir di Menteng, Jakarta sedangkan nenek dan nenek buyutnya kelahiran Yogyakarta. Mereka meninggalkan Hindia Belanda dan kembali ke negeri Belanda setelah Perang Dunia II. Karena trauma perang, Pols tidak pernah mendengar cerita dari ibunya tentang pengalaman hidup di Hindia Belanda. Namun, Pols biasa menyantap nasi goreng, makanan khas Indonesia, yang amat digemarinya. Di rumahnya juga terdapat seperangkat koleksi wayang kulit. Dari situlah ketertarikan Pols terhadap Indonesia, negeri yang dulu bernama Hindia Belanda semasa menjadi koloni Belanda, perlahan tumbuh.
“Semua keluarga dari Hindia Belanda setelah Perang Dunia II kembali ke Belanda tapi mereka tidak berbicara tentang Indonesia. Tapi ada nasi goreng, makanan Indonesia saya sangat suka, dan wayang kulit. Karena itu saya kemudian tertarik kepada sejarah kedokteran, sejarah kedokteran jiwa, dan sejarah pengalaman trauma, semua hal di buku-buku saya,” jelas Pols dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Pols sebelumnya telah meriset tentang sejarah pengobatan kolonial dan pascakolonial di Indonesia dalam Nurturing Indonesia (alih bahasa Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan para Dokter Indonesia), yang terbit pada 2018. Pols memang dikenal sebagai sejarawan yang pakar mengenai sejarah kedokteran, psikiatri, dan kesehatan masyarakat di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Dalam buku terbarunya, Obat, Ilmu, dan Kuasa: Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia, Pols mengupas seluk-beluk dinamika sejarah kesehatan dari era kolonial Belanda hingga masa setelah kemerdekaan. Lewat arsip dan sumber-sumber primer yang ditelitinya, Pols menelusuri perjalanan panjang sistem kesehatan Indonesia sembari mempertanyakan siapa yang memegang kuasa atas tubuh dan pengetahuan medis masyarakat. Temuan-temuan atas pertanyaan itu datang dari laporan dan statistik resmi pemerintah kolonial, arsip rumahsakit, jurnal medis kolonial, hingga tulisan pribadi para dokter yang dikutip Pols sebagai bahan utama penyusunan bukunya.
Buku ini diawali dengan pemaparan sejarah kesehatan dan ilmu kedokteran di Hindia Belanda. Pols kemudian berkisah tentang sejarah psikologi dan psikiatri di Hindia Belanda. Pada bagian akhir, Pols menutupnya dengan korelasi antara ilmu kedokteran dan nasionalisme di Asia Tenggara. Dalam konteks Hindia Belanda, institusi kedokteran dan kesehatan turut berperan membidani gerakan nasionalisme dan bahkan menyalakan api patriotisme di kalangan masyarakat.

Menurut Ravando Lie, sejarawan UGM yang juga menekuni sejarah kesehatan, buku ini membuka ruang baru untuk melihat sejarah Indonesia melalui institusi teknokratik seperti rumahsakit, laboratorium, dan pendidikan kedokteran. Ia selama ini masih sering terabaikan dalam studi nasionalisme atau revolusi Indonesia. Selain itu, buku ini tidak hanya memperkaya historiografi kesehatan Indonesia, yang masih terbilang terbatas, tetapi juga membuka cakrawala baru dalam memahami relasi antara ilmu pengetahuan, kekuasaan, dan juga masyarakat.
“Buku ini menjadi bacaaan penting bagi para sejarawan, dokter, dan pembuat kebijakan kesehatan yang ingin memahami akar historis persoalan kesehatan dan juga sistem medis kontemporer. Khusus sejarawan, buku ini dapat menjadi pedoman metodologis dan epistemologis dalam penelitian sejarah kesehatan. Sementara bagi masyarakat umum, ia adalah jendela untuk memahami bagaimana tubuh dan kesehatan kita tak pernah lepas dari dari sejarah kuasa dan pengetahuan,” ulas Ravando.
Sejak masa kolonial hingga era kemerdekaan dan sesudahnya, Pols mengungkapkan bahwa ilmu kedokteran tidak pernah netral. Ia dibentuk, dibatasi, dan diarahkan oleh relasi kuasa yang lebih besar. Sebagai contoh, pemerintah kolonial Hindia Belanda menciptakan norma-norma perilaku “waras” dan “tidak waras” untuk menertibkan masyarakat kolonial yang dianggap tidak rasional atau berbahaya. Sampai saat ini para penderita kesehatan jiwa atau mental masih kerap mendapat stigma.
Selain itu, Pols juga menjelaskan bagaimana dokter pribumi memperjuangkan otonomi intelektual dan profesional di tengah hegemoni pengetahuan Barat. Di saat yang sama, muncul dinamika yang kompleks antara pengobatan tradisional dan biomedis; antara kekuasaan negara dan kebutuhan rakyat; antara cita-cita kesehatan masyarakat dan realitas politik-ekonomi.
Dalam menguak sejarah psikologi dan psikiatri di Hindia Belanda, menurut Eunike Sri Tyas Suci, psikolog UNIKA Atmajaya, buku karya Pols ini cukup komprehensif. Pols menguraikannya mulai dari teori tentang karakter pribumi di Hindia Belanda, keahlian psikiatri di Hindia Belanda, sampai fenomena “amok” di Asia Tenggara. Hal ini cukup penting mengingat sejarah psikologi dimulai dengan psikiatri atau kedokteran jiwa.
“Buku ini merupakan pekerjaan besar selama 20 tahun Hans Pols mengenal Indonesia. Saya berharap kita yang orang Indonesia bacalah buku ini, karena ini tentang kita, khususnya terkait kesehatan dan kedokteran,” kata Tyas.
Comments