- Petrik Matanasi
- 19 Jun
- 3 menit membaca
KARAENG Besse tak bisa hidup tenang pada 1950-an. Sebagaimana orang-orang di kampungnya, gadis asal Sulawesi Selatan itu terpaksa hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain demi mendapatkan rasa aman. Kala itu, gerombolan Kahar Muzakkar telah “meneror” seantero Sulawesi Selatan.
Setelah Kahar dan pengikutnya memberontak karena kecewa tak bisa jadi tentara, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) datang mendompleng ke Sulawesi Selatan. Kahar Muzakkar pun kemudian sering dicap sebagai DI/TII ketimbang segembolan pejuang kemerdekaan yang kecewa terhadap pemerintah pusat.
Di Sulawesi Selatan, mereka mengganggu keamanan hampir sepanjang dekade 1950-an hingga awal 1960-an. Gerombolan mereka merasa diri bergerilya sehingga kerap disebut sebagai “Gorila”.
Untuk menghadapi Gorila, pemerintah pusat mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Apapun dalih perangnya, rakyat sipil adalah golongan yang paling disengsarakan. Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari tradisi ke DI/TII menyebut jika siang, tentara mencurigai rakyat di daerah itu sebagai pendukung Gorila. Jika malam, pemberontak menggarong dan menuduh mereka pendukung tentara pemerintah.
Alhasil, penduduk di daerah konflik terjepit antara dua “anak bangsa” yang saling memerangi itu. Perekonomian daerah pelosok Sulawesi Selatan tentu memburuk akibatnya.
“Tidak ada yang bersedia bertani di tengah kekacauan masa pemberontakan DI/TII,” catat Windah Makkarodda dalam Karaeng Besse: Si Gadis Dari Punranga.
Selain itu, Gorila rupanya melarang orang desa pergi ke kota dan orang desa dilarang memakai barang-barang dari kota. Kedatangan tentara pemerintah dengan cara yang tak ramah bagi warga desa juga membuat banyak orang meninggalkan rumah dan sawah mereka.
Besse termasuk yang hidup berpindah-pindah tempat tinggal. Dari desa satu ke desa lain di seputar Bulukumba. Dia juga pernah mengungsi ke desa lain di Sinjai.
Besse punya kerabat yang seorang pemain biola. Suatu hari, si pemain biola bersama dua kawannya mengobrol dengan tentara. Hari berikutnya, pemain biola itu ditemukan tewas mengenaskan. Dari cerita yang sampai pada Besse, daging kerabatnya itu dicincang-cincang.
Kendati situasi keamanan tak kondusif, Besse tetap melangkah demi kehidupannya tetap berjalan sesuai kodrati. Pada November 1961, Besse menikah dengan Muhammad, seorang yang bekerja menjalankan toko Petani di Tanete, Kabupaten Sinjai. Toko itu bukan milik suami Besse.
Pada 1965, setelah Kahar Muzakkar ditumpas TNI, pasangan Muhammad dan Besse memulai buka toko sendiri. Tokonya dinamai Toko Muda. Toko itu cukup berhasil dan kekayaan pasangan itu bertambah, baik berupa sawah maupun sepeda motor.
Orang Bugis yang dicap sebagai bangsa pelaut rupanya adalah orang-orang yang punya bakat dagang. Ketika terpaksa merantau dari kampung halaman, mereka tak hanya bisa bertahan hidup namun di antaranya berhasil menjadi saudagar. Tentu saja kisah pengungsi korban Gorila tak selalu manis. Ada pengungsi yang pulang kampung setelah Kahar Muzakkar terbunuh namun ketika begitu sampai di kampung, mereka sudah kehilangan tanah dan properti lain.
Di daerah Watampone, Bone, ada seorang pedagang bernama Kalla. Dia juga mengungsi ke Makassar akibat gangguan Gorila.
“Beberapa desa di Kabupaten Bone menjadi sasaran amuk dan pembumihangusan gerombolan Kahar Muzakkar,” tulis Harsubeno dkk. dalam H.A. Muhammad Ghalib: Menepis Badai Menegakkan Supremasi Hukum.
Para pria dewasa di Bone ada yang dipaksa menjadi pengikut Gorila. Mereka yang menolak bisa dibunuh.
Kalla, yang setelah naik haji dikenal sebagai Haji Kalla, kemudian berdagang di Makassar. Tak dinyana upayanya jauh melampaui sekadar laku untuk survive. Sekitar 1952, dia mendirikan perusahaan angkutan Cahaya Bone dan NV Hadji Kalla Trading Company.
Christian Pelras dalam Manusia Bugis menyebut, sejak 1955 dia sudah bisnis tekstil.
Bisnis keluarga Haji Kalla itu makin membesar. Terlebih setelah gangguan gerombolan Gorila di Sulawesi Selatan mereda. Setelah Haji Kalla tutup usia, anaknya yang bernama Jusuf Kalla memperbesar bisnis keluarga tersebut hingga gaungnya tak hanya di Sulawesi Selatan saja tapi di Indonesia, terutama Indonesia Timur. Belakangan, Jusuf Kalla diingat sebagai mantan wakil presiden di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintahan Joko Widodo.*
Comments