- Martin Sitompul
- 18 Jun
- 4 menit membaca
LEMBARAN sejarah kasus kekerasan seksual yang menyasar warga etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 kembali dibuka menyusul pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Dalam sebuah siniar, Menteri Fadli menyatakan kasus tersebut masih sebatas rumor dan belum terbukti secara hukum. Sontak pernyataan itu menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama dari pihak yang berempati pada korban.
“Tentu pernyataan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual dan pemerkosaan hanya rumor adalah ahistoris. (Pembentukan) lembaga Komnas Perempuan yang berdiri pada Oktober 1998 oleh negara, merupakan bukti nyata bahwa peristiwa itu terjadi. Jika tidak ada kekerasan seksual dan pemerkosaan tahun 1998 maka Komnas Perempuan tidak akan didirikan. Hal tersebut juga sudah diakui oleh Presiden Republik Indonesia BJ Habibie,” kata pengamat politik dan peneliti sejarah kontemporer Insan Praditya Anugrah kepada Historia.ID.
Komnas Perempuan mengutip laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden Habibie menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya. Sebanyak 52 orang korban pemerkosaan yang dilaporkan setelah diverifikasi oleh TGPF sampai akhir masa kerjanya. Dari jumlah itu, tiga orang didengar langsung kesaksiannya, sembilan orang diperiksa dokter secara medis, pengakuan orang tua korban tiga orang, keterangan dari saksi (perawat, psikiater, psikolog) 10 orang, dan melalui kesaksian rohaniawan/pendamping (konselor) 27 orang.
Selain itu, terdapat 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan; 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan sembilan orang korban pelecehan seksual. Jadi, terdapat 85 kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual pada kerusuhan 1998.
Meski mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah/bangunan, kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha. TGPF juga menemukan bahwa mayoritas kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.
TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan sesudah kerusuhan Mei. Dalam kunjungan ke daerah Medan, TGPF telah menerima laporan tentang ratusan korban pelecehan seksual yang terjadi pada kerusuhan tanggal 4-8 Mei 1998. Setelah kerusuhan Mei, dua kasus terjadi di Jakarta pada 2 Juli dan dua kasus terjadi di Solo pada 8 Juli.
“Meskipun korban kekerasan tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 diderita oleh perempuan etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial,” catat Komnas Perempuan dalam laporan Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Menurut Insan, pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 merupakan puncak sentimen ketimpangan kelas sosial antara non-Tionghoa dan etnis Tionghoa yang dianggap mendominasi perekonomian dan hidup sejahtera. Ketimpangan tak lepas dari kebijakan Presiden Soeharto yang memberikan akses lebih kepada orang Tionghoa untuk menjalankan usaha-usaha konglomerasi berskala besar dan melibatkan modal luar negeri. Ketika krisis ekonomi memuncak memasuki 1998, muncul stigma terhadap etnis Tionghoa. Dalam semangat menumbangkan kekuasaan seperti itu, sambung Insan, kekuatan massa yang tak terkendali menumpahkan rasa kemarahannya kepada perempuan-perempuan Tionghoa. Kekerasan seksual dan pemerkosaan ramai-ramai (gang rape) jadi aksi penaklukkan terhadap etnis Tionghoa yang selama era Soeharto merupakan bagian dari penopang kekuasaannya.
“Dan seperti yang kerap terjadi dalam setiap perang dan penaklukan, perempuan sebagai gender yang dianggap subordinat menjadi target penaklukan simbolis. Kita semua sebagai bangsa bersalah atas kejadian ini, bukan hanya negara tetapi juga masyarakatnya yang patriarkal dan memandang perempuan hanya sebagai objek,” terang Insan.
Dari para korban yang tercatat hingga 3 Juli 1998, 20 di antaranya meninggal dunia. Hal ini diperkuat dengan kesaksian yang menyebutkan bahwa terdapat banyak mayat korban perkosaan tergeletak di jalan pada 14 Mei 1998. Sementara itu, mereka yang jadi penyintas kebanyakan berada dalam kondisi fisik dan psikologis yang sangat berat. Jumlah total korban perkosaan dan pelecehan seksual yang melapor sampai 3 Juli 1998, menurut data Komnas Perempuan, mencapai 168 orang (152 dari Jakarta dan sekitarnya, 16 dari Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya).
Insan menimpali, angka sejatinya masih belum merepresentasikan data sepenuhnya. Pemerkosaan dan kekerasan seksual banyak terjadi di titik-titik penjarahan yang dekat dengan tempat tinggal orang Tionghoa, yakni di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Para korban yang kebanyakan perempuan Tionghoa memilih untuk tidak bercerita dan pergi ke luar negeri. Kepergian mereka meninggalkan Indonesia disebabkan memori buruk yang membuat trauma. Di antara mereka ada yang sampai harus mengganti identitasnya karena ingin melupakan trauma masa lalu.
“Pembunuhan Ita Martadinata sebelum sempat bersaksi di PBB dengan kondisi alat kelamin tertancap benda tumpul menjadi salah satu contoh kekejaman aksi pemerkosaan ketika itu,” ujar Insan.
Meski kelam dan tragis, peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 tidak sepatutnya luput dalam catatan sejarah. Bukan untuk mengumbar luka lama, tapi sebagai tonggak ingatan agar generasi berikutnya belajar dari masa lalu. Dengan demikian, kesalahan atau bahkan kebiadaban yang sama tidak terulangi lagi di kemudian hari.
Menurut Insan, tidak ada bangsa besar dengan cara menyembunyikan sejarah. Negara Eropa bisa berkembang menjadi negara maju karena mereka mengakui periode kegelapannya, seperti era diskriminasi Yahudi, era anti sains, era penyelewengan dogma agama, dan sebagainya. Australia juga dapat menjadi negara yang relatif makmur karena mereka telah mengakui kesalahan kolonialisme sebagai bagian dari sejarah alih-alih menyembunyikannya.
“Ketidakjujuran historiografis tidak akan membuat suatu bangsa terlihat baik, tetapi malah menjadikan suatu bangsa tidak pernah berani mengakui kesalahan masa lalunya dan masyarakatnya secara kolektif tidak akan pernah belajar memperbaiki kesalahan agar tidak terulang di era yang akan datang,” pungkas Insan.*
Comentários