top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Presiden B.J. Habibie Mengecam Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Kerusuhan Mei 1998

Presiden B.J. Habibie mengecam kekerasan terhadap perempuan dan perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998. Habibie menyampaikan permintaan maaf.

16 Jun 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Presiden B. J. Habibie bersama Saparinah Sadli (duduk) dan Mely Tan (berdiri) membahas tentang kekerasan seksual yang dialami sejumlah perempuan di tengah kerusuhan Mei 1998 di Bina Graha Jakarta, 15 Juli 1998. (Foto Carla Bianpoen termuat di buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan karya Dewi Anggraeni).

Diperbarui: 17 Jun

MENTERI Kebudayaan Fadli Zon menyebut kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor. Pernyataan politikus Partai Gerindra tersebut menuai kecaman dari masyarakat.


“Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Kan tidak pernah ada. Rumor-rumor seperti itu, menurut saya, tidak akan menyelesaikan persoalan,” kata Fadli Zon saat membahas proyek penulisan ulang sejarah Indonesia bersama jurnalis senior sekaligus pemimpin redaksi IDN Times, Uni Zulfiani Lubis, di kanal youtube IDN Times pada Rabu, 10 Juni 2025.


Sebelumnya, proyek penulisan ulang sejarah Indonesia oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan dikritik sejumlah aktivis dan sejarawan karena dikhawatirkan mengaburkan sejumlah peristiwa sensitif di masa lalu, khususnya sejarah perempuan dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti kerusuhan Mei 1998.


Pernyataan Fadli Zon yang memandang kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor berbanding terbalik dengan pernyataan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.


Jurnalis Dewi Anggraeni menulis dalam Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, setelah mendapat informasi terkait kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya perempuan Tionghoa, di Jakarta dan beberapa wilayah, sejumlah aktivis dan masyarakat bahu-membahu melakukan advokasi dan perlindungan untuk para korban.


Tokoh-tokoh perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengajukan permohonan bertemu dengan Presiden Habibie yang baru menggantikan Soeharto untuk membicarakan kekerasan seksual dan penganiayaan fisik yang dialami para korban. Mereka beraudiensi dengan Presiden Habibie yang didampingi Mayor Jenderal TNI Sintong Panjaitan di Bina Graha pada 15 Juli 1998.


Para tokoh perempuan tersebut antara lain Saparinah Sadli (akademisi dan aktivis), Sinta Nuriyah Wahid (istri Abdurahmad Wahid alias Gus Dur, ketika itu pemerhati isu-isu hak asasi perempuan dan pendiri Yayasan PUAN Amal Hayati), Herawati Diah (tokoh pers nasional), Ita Fatia Nadia (aktivis sosial), Kamala Chandrakirana (pakar sosial politik dan aktivis sosial), Myra Diarsi (pakar dan aktivis sosial), Carla Bianpoen (jurnalis), Mayling Oey-Gardiner (akademisi dan peneliti), Kuraisin Sumhadi (tokoh perempuan yang pernah menjabat ketua umum International Council of Women, organisasi perempuan dunia di bawah naungan PBB), Rita Kalibonso (pengacara sekaligus direktur Badan Pengurus Mitra Perempuan Women’s Crisis Center), Hartini Hartarto (ketua Yayasan Dharma Wanita), Mely Tan (akademisi dan peneliti etnis Tionghoa), Smita Notosusanto (akademisi dan aktivis sosial), serta Chusnul Mariyah (pakar politik dan gender serta aktivis sosial).


Kepada Presiden Habibie, perwakilan Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyampaikan sikap mengecam keras perkosaan dan penyerangan seksual yang bersifat sistematis terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998. Mereka menuntut pemerintah dan aparat keamanan bertanggungjawab dengan tindakan-tindakan konkret, mulai dari mengakui kegagalannya dalam mewujudkan rasa aman untuk seluruh warga negara, membentuk tim penyelidik independen untuk mengusut tuntas kerusuhan Mei 1998, menindak tegas para pelaku dan perencananya melalui proses hukum, mendukung usaha tim relawan dalam menolong dan merehabilitasi korban, hingga menjamin peristiwa semacam itu tidak terulang lagi.


Para tokoh perempuan itu juga membawa data dan dokumentasi untuk diperlihatkan kepada Presiden Habibie yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika peristiwa demi peristiwa disebutkan dan dipaparkan kronologinya, wajah mantan Menteri Riset dan Teknologi era Orde Baru itu berubah.


“Saya ingat sekarang. Seorang keponakan saya, seorang dokter, pernah menceritakan hal serupa... Saya percaya Anda sekalian. Keponakan saya tidak akan berbohong kepada saya,” kata Habibie sebagaimana dikutip Anggraeni. Tak lama setelah itu, Presiden Habibie bersedia membuat pernyataan maaf pemerintah.


Sikap Presiden Habibie sontak mengejutkan Sintong Panjaitan, yang menanyakan apakah tidak sebaiknya presiden membahas hal ini lebih dahulu dengan kabinet. Namun, pertanyaan tersebut tak diindahkan Habibie. Bersama para tokoh perempuan, Habibie menyusun pernyataan maaf yang akan dibacakan dalam siaran langsung di televisi.


Dalam pernyataan resmi tersebut, Presiden Habibie tidak hanya mengutuk berbagai aksi kekerasan di berbagai tempat dalam kerusuhan Mei 1998, termasuk kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga menyampaikan bahwa pemerintah akan proaktif memberikan perlindungan dan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para perempuan, untuk mencegah kekerasan terulang kembali.


Momen ini turut dikisahkan Mely G. Tan dalam Etnis Tionghoa di Indonesia. Pada akhir pertemuan, setelah menyetujui tuntutan kelompok Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Presiden Habibie mengeluarkan pernyataan pers yang mengecam kerusuhan Mei 1998, termasuk kejahatan seksual terhadap perempuan. Selanjutnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 pada 9 Oktober 1998. Pada saat yang sama, Presiden Habibie juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang bertugas menyelidiki kerusuhan pada 13-15 Mei 1998, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan massal.


Pada 23 Juli 1998, Presiden Habibie bersama enam menteri menunjuk anggota Tim Gabungan Pencari Fakta yang terdiri dari angkatan bersenjata, polisi, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil.


Menurut peneliti Jemma Purdey dalam Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999, laporan penyelidikan yang diterbitkan TGPF beberapa bulan kemudian, merupakan dokumen yang luar biasa karena isi yang diselidiki, metodologinya, dan yang paling penting, kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan. Di sisi lain, laporan ini juga dianggap oleh beberapa pihak sebagai upaya “pengungkapan kebenaran” yang gagal karena ketidakmampuannya untuk memberikan keadilan bagi para korban.*


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Soebandrio, the Diplomat Who Fought for West Irian

Soebandrio, the Diplomat Who Fought for West Irian

He was Sukarno's confidant in the fight for West Irian. He traveled the world to “fight” in the diplomatic arena, but that journey almost ended tragically.
Persekutuan Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja

Persekutuan Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja

Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja bersekutu melawan Belanda. Keduanya telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Wanita Perkasa Pembela Jelata

Wanita Perkasa Pembela Jelata

S.K. Trimurti pejuang perempuan yang komplet, disegani kawan maupun lawan. Dia seorang pendidik, wartawan, pengarang, politisi, dan menteri perburuhan pertama.
Pengusaha Hiburan Malam Naik Haji

Pengusaha Hiburan Malam Naik Haji

Pengusaha hiburan malam yang mengorbitkan banyak penyanyi beken ini mengalami kejadian aneh saat menunaikan ibadah haji.
Biarkan Batin Melayang

Biarkan Batin Melayang

Zaman berubah. Kekuasaan berganti. Namun, S.K. Trimurti mampu melewatinya tanpa membuatnya tersingkir dari sejarah.
bottom of page