- Amanda Rachmadita
- 17 Jun
- 3 menit membaca
PERNYATAAN Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 hanya rumor menuai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini disampaikan mantan Wakil Ketua DPR RI itu ketika membahas penulisan ulang sejarah Indonesia bersama jurnalis senior sekaligus pemimpin redaksi IDN Times, Uni Zulfiani Lubis di kanal youtube IDN Times pada Rabu, 10 Juni 2025.
“Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Kan tidak pernah ada. Rumor-rumor seperti itu, menurut saya, tidak akan menyelesaikan persoalan,” kata Fadli Zon.
Pernyataan Fadli Zon tersebut semakin menguatkan penolakan publik terhadap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang dikerjakan oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan. Proyek buku sejarah nasional tersebut ditolak karena dikhawatirkan mengaburkan sejumlah peristiwa sensitif di masa lalu, khususnya sejarah perempuan dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti kerusuhan Mei 1998.
Kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 merupakan temuan hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden B.J. Habibie. Dalam laporannya, TGPF menyebutkan sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 diderita oleh perempuan dari etnis Tionghoa. Jumlah korban kekerasan seksual terhadap perempuan sebanyak 52 orang korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual.
TGPF menemukan bahwa “sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.”
Kekerasan seksual yang menimpa perempuan pada kerusuhan Mei 1998 disebut dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia Edisi Pemutakhiran yang disusun oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. Peristiwa tersebut dijelaskan dalam subbab K Bab V yang membahas berbagai kerusuhan dan akhir pemerintahan Orde Baru. Buku “sejarah resmi” SNI (enam jilid) terbit pertama kali tahun 1977 dan terakhir 1984, sedangkan edisi pemutakhiran terbit pada 2007.
Dalam subbab K Bab V SNI Jilid VI (halaman 669-670) tersebut dijelaskan, penembakan terhadap empat orang mahasiswa Universitas Trisakti; di antaranya Elang Mulya Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan Hafidhin Royan, pada 12 Mei 1998, memicu berbagai gerakan proreformasi untuk menyatukan langkah dan mendesak Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Sehari setelahnya, 13 Mei 1998, setelah acara pemakaman keempat mahasiswa tersebut, ribuan mahasiswa Trisakti mengadakan aksi berkabung di kampusnya. Massa mulai membanjiri sekitar kampus Universitas Trisakti untuk bergabung dengan mahasiswa. Di lain pihak, aparat keamanan berusaha mencegah aksi massa itu, akibatnya massa mengamuk dan mulai melakukan aksi pelemparan serta perusakan.
Kondisi yang tak jauh berbeda juga terlihat di kawasan Universitas Katolik Atma Jaya di Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta; tempat para mahasiswa menggelar aksi keprihatinan dan dukacita bagi mahasiswa Trisakti yang dipandang telah menjadi martir untuk mewujudkan reformasi di Indonesia.
Sementara itu, di tempat lain, sejumlah warga melakukan pembakaran di kompleks pertokoan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Aksi ini berkembang dan menyebar menjadi kerusuhan rasial. Toko-toko warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran penjarahan massa tidak dikenal. Selain itu, rumah-rumah mereka pun dirusak dan dibakar.
“Massa yang semula berada di Jalan S. Parman, Jakarta Barat secara cepat bergerak ke arah Jalan Daan Mogot. Mereka melakukan perusakan dan pembakaran mobil-mobil serta gedung-gedung di sepanjang jalan yang dilalui. Selain itu, terjadi pula pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan-perempuan Indonesia keturunan Tionghoa. Kerusuhan dan perusakan serupa terjadi di kota-kota lainnya, terutama di Solo,” tulis Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia.
Kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah Jakarta membuat kawasan tersebut menjadi seperti kota mati, tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Di tempat-tempat tertentu, khususnya kawasan pertokoan, aksi-aksi penjarahan masih terus berlangsung hingga dini hari.*
Comments