top of page

Sejarah Indonesia

Minuman Keras Champarade Dari Tjampoer

Minuman Keras Champarade dari Tjampoer Adoek

Champarade adalah minuman keras yang disajikan di kedai minuman atau penginapan di Batavia. Mirip nama champagne, nama minuman ini berasal dari bahasa Melayu, Tjampoer adoek.

26 Agustus 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Diperbarui: 27 Agu

KEDAI minuman merupakan tempat hiburan populer di Batavia pada abad ke-17. Jumlah kedai minuman, yang dapat dikenali dari kaleng timah atau kendi tembikar, sangat banyak di kawasan Batavia.


Seiring meningkatnya aktivitas perdagangan VOC, jumlah orang Eropa yang datang ke Batavia terus bertambah. Mereka datang sebagai bagian dari VOC, mulai dari pelaut, pedagang, hingga tentara. Bagi banyak orang, hidup merantau bukanlah hal mudah. Selain harus bekerja jauh dari rumah dan keluarga, orang-orang Eropa di Batavia juga harus beradaptasi dengan lingkungan dan iklim yang berbeda dari negara asalnya.


Di masa awal kehadiran permukiman orang Eropa di Batavia, tak banyak hiburan yang bisa dilakukan di sana. Orang-orang Eropa yang kebanyakan pria biasanya pergi berburu untuk mengisi waktu luang. Di waktu lain, mereka mendatangi kedai minuman untuk bercengkerama atau sekadar rehat dari aktivitas harian yang menjemukan.


Sebagai tempat hiburan yang banyak dikunjungi orang-orang Eropa, baik yang menetap di Batavia maupun pelancong, pelaut, dan pedagang yang singgah, kedai-kedai minuman memiliki aturan.


Arsiparis Belanda Frederik De Haan mencatat dalam Oud Batavia Volume 2, para budak tidak diizinkan menikmati minuman yang disajikan di sana. Selain itu, para tentara juga tidak boleh masuk ke kedai minuman setelah pukul lima sore dan ketika lonceng berbunyi pukul sembilan malam, semua tempat seperti itu harus tutup, begitu pula pada jam-jam ibadah di gereja.


Tidak hanya menyajikan anggur Spanyol, kedai-kedai minuman juga menyajikan berbagai minuman keras seperti tjioe atau arrack, saki (brendi Jepang), toewak, kilang (minuman hasil fermentasi gula dengan berbagai macam rempah-rempah), dan zetbier (disebut juga bir gula karena hasil fermentasi gula Jawa dengan asam Jawa dan lemon), yang seringkali dianggap tidak sehat, terutama ketika pemilik kedai mencampurkan ramuan pedas dari air laut untuk meningkatkan rasanya.


“Orang-orang bisa mengamuk karena minuman tersebut, dan aturan lama untuk meletakkan senjata saat memasuki kedai minuman cukup dimengerti,” tulis De Haan.


Selain kedai-kedai minuman, tempat lain yang menjadi tujuan para pencari hiburan untuk minum-minum maupun bercengkerama adalah penginapan. Di sini disajikan minuman campuran dan ada kesempatan bermain ticktacqbort (mungkin tic tac toe board), tarok (permainan kartu) atau klostafel, trou madame, dan biliar.


Minuman lain yang disajikan adalah champarade. Meskipun mirip dengan nama champagne, minuman ini tidak memiliki kesamaan dengan anggur mewah tersebut. Champarade dibuat dari mum dengan bir gula, lalu ditambahkan bahan-bahan lainnya. Yang menarik dari minuman ini bukan karena rasa atau popularitasnya, De Haan menyebut minuman ini kurang populer di kalangan penduduk Batavia pada abad ke-17, melainkan namanya. Alih-alih berasal dari Eropa, nama champarade berasal dari dua kata dalam bahasa Melayu, tjampoer (champar) dan adoek (ade), yang jika diucapkan dengan cepat dan asal-asalan, menghasilkan bunyi tersebut.


Champarade menggambarkan akulturasi budaya dalam lingkungan penduduk yang beragam seperti di Batavia, meskipun pemerintah VOC memberlakukan pemisahan kelompok etnis. Menurut sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun, jumlah anggota yang kecil dan kekurangan perempuan di dalam banyak kelompok menyebabkan tingginya tingkat percampuran antaretnis. Dengan demikian berkembanglah sebuah bahasa bersama di Batavia.


“Agar dapat melakukan perdagangan atau menyelesaikan kesepakatan domestik dengan orang lain, dibutuhkan sebuah lingua franca atau bahasa perantara,” tulis Blackburn.


Bahasa Melayu menjadi semakin populer setelah meningkatnya jumlah budak dari berbagai etnis yang datang ke Batavia. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perantara dalam aktivitas perdagangan, khususnya perdagangan tradisional.


“Pada abad ke-18, bahasa ini telah menjadi bahasa Batavia di daerah yang mayoritas berbahasa Sunda dan Jawa. Di tengah etnis yang beraneka ragam, bahasa Melayu merupakan satu-satunya sarana komunikasi antara kelompok-kelompok imigran yang berbeda serta antara para perempuan Batavia dan para laki-laki imigran pasangannya,” tulis Blackburn.*


Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Sumatra Utara dan Aceh dulu juga pernah dilanda banjir parah. Penyebabnya sama-sama penebangan hutan.
S.K. Trimurti di Tengah Tokoh Kiri

S.K. Trimurti di Tengah Tokoh Kiri

Sikap politik S.K. Trimurti bersinggungan dengan tiga tokoh kiri terkemuka Republik: Tan Malaka, Amir Sjarifoeddin, dan Musso.
bottom of page