- Petrik Matanasi
- 15 Agu
- 3 menit membaca
PERKAWINAN antar-bangsa bukan hal baru di negeri ini. Setidaknya sudah empat abad laki-laki Eropa mengawini perempuan pribumi. Seperti yang dilakukan Johan Fredrick Thierbach dan Ketjiel. Alhasil mereka punya anak yang umum disebut sebagai “Sinyo” jika laki-laki dan “Noni” jika perempuan.
Johan menamai anak laki-lakinya yang lahir di Semarang pada 24 Oktober 1841 dengan Napoleon Fredrick Thierbach. Sinyo bernama Napoleon ini hidup di zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda menghadapi banyak peperangan di wilayahnya yang sekarang disebut Indonesia. Maka, serdadu adalah pekerjaan yang sangat lowong bagi mereka yang butuh uang.
Sinyo Napoleon pun mengambil jalan bedil itu untuk penghidupannya sekaligus ikut menegakkan Hindia Belanda. Stamboek militernya mencatat, dia mendaftar militer di Makassar ketika usianya masih belasan tahun. Pada usia 17 tahun dia menjadi relawan dalam tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL), di Batalyon Infanteri ke-7 di Makassar. Tinggi badannya ketika mendaftar 1,634 meter.
Napoleon sempat dikirim ke sekitar Cirebon dan Pamanukan. Pada 11 Maret 1859, atau satu tahun empat bulan setelah bergabung sebagai sukarelawan, pangkatnya naik menjadi kopral. Baca-tulis, selain bahasa Belanda, adalah kemampuan yang menjauhkan seseorang dari pangkat terendah. Jika dalam ketentaraan, dia menjadi prajurit dengan pangkat terendah seperti fuselier. Itu terjadi saat sekolah masih sangat sedikit dibangun pemerintah kolonial. Menurut cerita orang tua di Bagelen, Jawa tnegah zaman dulu, kalau seseorang bisa menulis nama sendiri ketika mendaftar jadi tentara, maka dia bisa jadi kopral.
Pangkat kopral hanya dijalani Napoleon sebentar, yakni setahun tiga bulan. Pada 11 Juni 1860, pangkat Napoelon sudah sersan meski tugasnya masih di Batalyon 7. Bersama batalyonnya, pada pertengahan 1860 Sersan Napoleon dikirim ke Kalimantan Selatan. Dia ditugaskan memadamkan perlawanan orang-orang Banjar pimpinan Pangeran Antasari dalam Perang Banjar (1859-1906).
Di Kalimantan, Sersan Napoleon yang dalam catatan orang Belanda disebut sebagai Sersan Thierbach itu termasuk yang ditugaskan ke Amuntai. Komandannya Letnan Van Emde. Menurut Gusti Mayur dalam Perang Banjar, Letnan Emde terkenal berani dan cerdik.
Pada 15 September 1860, tiga peleton KNIL berjumlah sekitar 60 personel di bawah Letnan Satu Emde, Letnan Verspyck, dan Letnan Van der Wyck bergerak ke luar kota. Mereka hendak mencari Datuk Haji Abdullah yang sedang sakit.
Rombongan Letnan Emde kemudian tiba di daerah Sungai Malang. Letnan Emde sempat bertemu Haji Abdullah dan mengajaknya ikut ke Amuntai. Upayanya berhasil. Namun ketika Haji Abdullah ditandu ke luar rumah, orang-orang Banjar di sekitarnya mengamuk kepada serdadu-serdadu kompeni. Perkelahian adu klewang atau pedang pun terjadi. Letnan Emde sendiri kena bacok namun berhasil membalas dengan klewangnya hingga penyerangnya roboh. Ketika itu, Sersan Napoleon Thierbach masih berada di muka rumah.
“Maka di situ ada juga seorang sersan yang bernama Thierbach yang amat muda, umurnya belum sampai 19 tahun maka ia dikepung oleh beberapa musuh tetapi tiada ia mundur. Maka barang siapa maju dibunuh oleh dia sehingga mati semua,” kisah Letnan H. Aars dalam Hikajat Perang.
Napoleon tak terluka dalam perkelahian jarak dekat itu. Register Ridders Militaire Willemsorde 4e klasse Nomor 3801 menyebut Sersan Napoleon berusaha menyelamatkan Letnan Emde yang terluka parah dan seorang diri memukul mundur tiga peyerang. Napoleon menunjukkan kehebatannya dengan memberikan perintah yang diperlukan selama pertempuran jarak dekat itu.
Berkat aksinya di Sungai Malang itu, berdasar Koninklijk Besluit tanggal 7 Maret 1863 nomor 68, Sersan Napoleon dianugerahi gelar Ridders Militaire Willemsorde kelas empat. Predikat tersebut membuatnya dihormati.
Napoleon terus berkarier di KNIL. Dia pernah ditempatkan di Batalyon Infanteri ke-3 dan Batalyon Infanteri ke-13 dan pernah bertugas di Aceh dan Surabaya. Pada 12 Juni 1870, pangkatnya naik menjadi sersan mayor.
Namun, prestasi cemerlang itu kemudian tercoreng. Di Yogyakarta, Napoleon terlibat masalah dengan melakukan sebuah pelanggaran. Pangkatnya pun diturunkan menjadi fuselier dan gelar ksatrianya nyaris dicabut.
“Bintara terhormat ini diadili di depan pengadilan militer, dinyatakan bersalah dan dihukum oleh pengadilan itu, tetapi dibebaskan pada banding oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi, Departemen Perang menemukan bahwa perilaku Thierbach sedemikian rupa sehingga ia tidak mungkin dapat terus bertugas di pangkatnya,” demikian De Sumatra Courant tanggal 29 Oktober 1878 memberitakan.
Napoleon akhirnya harus hidup dalam kemalangan. Namun berdasar Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 17 tanggal 10 Juni 1881, dia tetap mendapatkan uang sebesar 305 gulden tiap tahun atas pengabdian sebagai tentara. Pada 8 April 1883, Napoleon meninggal dunia di Magelang.*













Komentar