- Petrik Matanasi
- 29 Mei
- 2 menit membaca
Diperbarui: 29 Mei
TATKALA Gunung Krakatau masih ada dan belum meletus, tersebutlah seorang pangeran bernama Singa Branta. Ia hidup di sekitar Gunung Rajabasa di Lampung Selatan yang –beribukota Kalianda– salah satu sisinya menghadap Selat Sunda tempat Gunung Krakatau.
Java Bode tanggal 23 Agustus 1856 menyebut Pangeran Singa Branta sebagai kepala marga di daerah Rajabasa. Daerah itu terkenal dengan gunung vulkaniknya, Gunung Rajabasa, yang punya kandungan belerang dan di kaki gunungnya dipenuhi rumah-rumah. Bersama Radin Inten II, yang disebut-sebut sumber Belanda sebagai kepala marga Negara Ratu, Pangeran Singa Branta dicap pihak Belanda sebagai “penghasut pemberontakan.” Sejak 1851, mereka sudah dianggap biang kerusuhan di Lampung.
Sikap Singa Branta dan pengikutnya membuat daerah Rajabasa didatangi pasukan Batalyon Infanteri ke-1 tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Singa Branta dan pengikutnya bertahan di Benteng Bendulu yang terletak di lembah. Namun, Singa Branta akhirnya tertangkap lalu dibuang. Pembuangan orang sepertinya sangat umum di Hindia Belanda. Lebih dari 25 tahun setelah tertangkapnya Singa Branta, Gunung Krakatau meletus. Air lautnya mengancam daerah bawah Gunung Rajabasa.
Lama setelah Singa Branta dikalahkan, pengaruh Belanda di Kalianda dan sekitar Gunung Rajabasa menguat. De Indisch Courant tanggal 2 Mei 1939 menyebut, pada 1933 di lereng utara Gunung Rajabasa, yang dekat dengan Kalianda, ada tempat yang dijadikan daerah transmigrasi atau dalam istilah Belanda bernama Kolonitatie. Para transmigrannya (dalam istilah Belanda disebut kolonist) berasal dari Jawa.
Program transmigrasi kolonial di Kalianda itu melanjutkan program serupa yang telah berhasil di Gedong Tataan dan Gadingrejo. Penduduk asli Lampung, termasuk yang dari marga Rajabasa, membuka diri program tersebut diadakan di kaki Gunung Rajabasa. Koran De Locomotief tanggal 7 Februari 1937 menyebut, program transmigrasi di Kalianda ini membentuk desa bernama Pasuruaan (dirikan tahun 1933), Karangsari (1933), Totoraharjo (1932), dan Hargo Pancuran (1932).
Desa-desa itu tersebar di beberapa penjuru Gunung Rajabasa. Desa Hargo Pancuran berada di sisi selatan Gunung Rajabasa, tempat bergerilya Singa Branta dulu. Selain desa baru dan tersendiri ada pula program transmigrasi yang mencampur pendatang-transmigran dengan warga asli Lampung, seperti di Way Semah, Way Lima, dan Kalianda.
“Dengan cara ini para kolonist tidak lagi ditempatkan sekumpul,” catat M. Amral Sjamsu dalam Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955.
Dengan pencampuran itu, pembauran pun terjadi. Kedatangan orang Jawa ke daerah-daerah sekitar Kalianda tentu disertai budayanya. Akulturasi budaya pun perlahan terjadi.
Kedatangan transmigran Jawa tentu meramaikan perdagangan setempat. Orang-orang Jawa yang petani sohor sebagai pedagang sayur. Setelah adanya desa-desa orang Jawa itu, penyebaran agama Kristen juga berkembang di Kalianda.
Beranak-pinaknya para transmigran asal Jawa itu membuat jumlah orang Jawa di Kalianda, sebagaimana daerah-daerah transmigrasi lain di Lampung, cukup besar. Mengutip Dr. H. Loos, koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 9 Maret 1936 menyebut bahwa dari 380.000 jiwa penduduk Lampung, lebih dari 100.000 jiwa adalah pendatang dari Jawa.
Setelah Belanda dikalahkan Jepang dalam Perang Pasifik, orang Jawa di sana tetap tinggal dan terus bertambah banyak. Alhasil, seperti Metro atau Pringsewu, Kalianda kini juga jadi daerah yang mudah untuk menemukan orang Jawa di Lampung.*










Komentar