top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Pamer Kekayaan di Rumah Indische Woonhuis

Rumah berpilar ala bangunan klasik. Serambi luas untuk dansa-dansi dan main kartu.

Oleh :
Historia
25 Jun 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Rumah berlanggam Indische Imperial Style atau Indische Woonhuis di Magelang, Jawa Tengah, pada 1900. (geheugenvannederland.nl).

Batavia mempunyai pusat kota baru pada awal abad ke-19. Wilayah itu berada di selatan pusat kota lama dan berjarak sekira 10 kilometer. Orang Eropa menyebut pusat kota baru sebagai Weltevreden atau wilayah yang memuaskan hati. Sekeliling Weltevreden masih berupa kebun-kebun asri. Di rimbunan kebun itulah mereka mendirikan bangunan secara lebih cermat dan sesuai dengan teknologi dan ketersediaan bahan setempat.


Situasi pusat kota baru banyak berlainan dengan pusat kota lama. Udara di sini lebih bersih ketimbang di pusat kota lama. Bangunan pun lebih nyaman dihuni karena langgamnya telah mengadopsi iklim setempat.


Adaptasi terhadap iklim setempat tampak pada luasnya beranda depan dan belakang. “Merupakan penyesuaian dengan iklim tropis lembab, yang menyukai adanya cross ventilation yang baik,” catat Handinoto dalam “Indische Empire Style: Gaya Arsitektur Tempo Doeloe yang Sekarang Sudah Mulai Punah,” termuat di Dimensi 20/Ars, Desember 1994.


Bangunan termaksud buah dari interaksi orang Eropa dengan orang-orang dari beragam identitas di Batavia. Interaksi beragam orang itu menciptakan kebudayaan campur alias kebudayaan Hindis. Sebutan langgam untuk rumah orang Eropa selama abad ke-19 pun seturut dengan kebudayaan campur itu: langgam Indische Empire Style.


Empire style (gaya imperium) atau colonial style (gaya kolonial)merujuk pada pilar (kolom) di bagian muka (fasade) rumah. Pilar-pilar ini tipikal bangunan masa Yunani dan Romawi Klasik (abad ke-5 sampai ke-4 SM). Arus penerapan kembali pilar-pilar ini dalam bangunan abad ke-19 disebut aliran neo-klasik.


Beda Sebutan, Sama Ciri


Handinoto menyebutkan bahwa Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Timur 1808—1811, berjasa dalam menghadirkan langgam Empire Style. “Daendels mengubah rumah landhuizen yang ada di Hindia Belanda ini dengan suatu gaya ‘Empire Style’ yang berbau Perancis,” tulis Handinoto. Landhuizen adalah rumah dengan kebun luas di pinggiran kota, tetapi belum menampilkan ciri imperium atau neo-klasik.


Semula Daendels menggunakan langgam Indische Empire Style untuk bangunan pemerintahan. Sepeninggal Daendels, langgam ini merasuk ke rumah-rumah pejabat kolonial. Rumah-rumah ini berdiri di sekitar Koningsplein (sekarang menjadi Lapangan Monas atau Merdeka, Jakarta Pusat).


Penggunaan tertua langgam Indische Empire Style untuk rumah tersua pada 1817. Adolf Heuken dalam Medan Merdeka Jantung Ibukota RI menyebut gedung Galeri Nasional sebagai contohnya. Dia mempunyai istilah sendiri untuk menamakan rumah berlanggam campuran antara kebudayaan Hindis dan Eropa.


“Pada tahun 1817 G.C. van Rijck membangun sebuah Indische Woonhuis di atas kavling ini dengan material yang diambil dari bekas Kasteel Batavia,” catat Heuken. Indische Woonhuis berciri serupa dengan Indische Empire Style. Antara lain terdiri atas dua bagian besar (inti dan pendukung), beratap trapesium besar, berberanda (serambi) luas di bagian depan dan belakang, berkolom-kolom ala Dorik di fasade depan, dan berkebun lapang dengan pot tanaman atau pepohonan rimbun.


Heuken mengatakan rumah Indische Woonhuis tidak bernilai tinggi secara estetik dan miskin ornamen. “Denah Indische Woonhuis sederhana,” lanjut Heuken. Tetapi dia memandang Indische Woonhuis sangat cocok untuk iklim panas serta lembab.


Rumah terletak agak menjauh dari jalan utama demi menghindari debu. Pemilik rumah tinggal di hoofdgebouw (inti), sedangkan tetamu dan jongos bertempat di bijgebouwen (pendukung). Di bijgebouwen pula ada kamar mandi, WC, dapur, gudang, dan kandang kuda. Biasanya bagian ini berada di sisi kiri dan kanan hoofdgebouw.


Serambi untuk Pesta


Banyaknya pembagian fungsi ruang tersebut membuat rumah berlanggam Indische Empire Style atau Indische Woonhuis membutuhkan tanah yang luas. Ini tak menjadi masalah bagi kebanyakan pejabat kolonial. Mereka bergaji di atas rata-rata orang kebanyakan. Harga tanah di pusat kota baru juga masih murah dan terhampar luas.


Para pejabat kolonial menggunakan rumah untuk mempertontonkan kekuasaan dan kekayaan mereka. Semakin besar kuasa dan banyak harta seorang pejabat, semakin luas pula rumahnya. “Rumah besar Indis yang serba lega merupakan ikon arsitektur dalam abad ini,” tulis Cor Passchier dalam “Arsitektur Kolonial di Indonesia” termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia.


Saking berlimpahnya harta, pemilik rumah kerap menggelar pesta hampir tiap sore dan malam di serambi depan. Yang muda dansa-dansi, yang tua main kartu. Fungsi serambi pada rumah ini merupakan kelanjutan dari fungsi serambi pada rumah-rumah orang Eropa abad ke-17 dan 18. Bedanya, serambi rumah abad ke-19 jauh lebih lapang.


Rumah-rumah ini menyebar luas ke antero kota-kota besar di Hindia Belanda seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Tetapi persebaran cepat ini tidak diimbangi dengan kebertahanan terhadap kritik dan pertumbuhan penduduk.


Dihajar Arsitek Muda


Memasuki abad ke-20, rumah-rumah besar Indis ini memperoleh kecaman dari kelompok arsitek muda Belanda di Hindia Belanda. “Mengkritik gaya ini sebagai tidak kreatif dan terlalu mengikuti normal atau standard ontwerpen (buku panduan, red.) saja,” catat Heuken dan Grace Pamungkas ST dalam Menteng ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia.


Saat bersamaan, kota-kota di Hindia Belanda mengalami kenaikan jumlah penduduk. “Daerah-daerah yang dahulu adalah desa, kini dikelilingi oleh perluasan kota baru dan berubah menjadi kampung kota,” ungkap Passchier.


Akibatnya lahan-lahan untuk membangun rumah menjadi lebih sempit. Rumah-rumah besar dengan kebun luas tidak cocok lagi dengan semangat zaman di kota. Dan tidak semua warga kota mempunyai penghasilan tinggi untuk membeli tanah luas. Makin lama rumah menjadi lebih kecil tetapi lebih mahal.


Pada masa ini pula, para arsitek muda memperkenalkan langgam baru untuk rumah, langgam modern. Bentuk rumah menyesuaikan fungsi. Kadang-kadang mempunyai ciri berbentuk kubistis, beratap rata, dan menggunakan garis lengkung art deco. Rumah-rumah ini mengubur rumah berlanggam Indische Empire Style. Sekarang sisa-sisa rumah itu hanya berjumlah hitungan jari di beberapa kota. Di Jakarta misalnya masih tampak berdiri di Jalan Medan Merdeka Selatan (Balai Kota dan Perpustakaan Nasional).


Semangat meniru Indische Empire Style muncul pada dekade 1980-an seiring pembentukan kelas menengah baru di kota besar. Tiang-tiang ala Yunani dan Romawi biasa tersua di rumah-rumah mewah demi mempertontonkan kesan wibawa, harta, dan kuasa. Bedanya, rumah-rumah itu tak memiliki lagi kebun atau taman luas.

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Mengintip Kelamin Hitler

Mengintip Kelamin Hitler

Riset DNA menyingkap bahwa Adolf Hitler punya cacat bawaan pada alat kelaminnya. Tak ayal ia acap risih punya hubungan yang intim dengan perempuan.
bottom of page