top of page

Sejarah Indonesia

Panglima Alex Kawilarang Dan Letnan Songong

Panglima Alex Kawilarang dan Letnan Songong

Orang suka salah sangka bila melihat paras dan postur panglima Siliwangi asal Minahasa ini. Seorang letnan kecolongan berlaku petakilan karena mengiranya sebagai seorang saudagar.

18 Januari 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kolonel Alexander Evert Kawilarang, panglima Divisi Siliwangi (1951--1956). (Sumber: Departemen Penerangan, 1954)

Diperbarui: 12 Jul

BADANNYA tinggi semampai. Kulitnya putih. Matanya rada sipit. Begitulah sekilas pandang perawakan Kolonel Alexander Evert Kawilarang. Kala mengenakan seragam tentara, panglima Divisi Siliwangi periode 1951—1956 ini seringkali dikira keturunan Indo-Belanda. Dengan postur tubuh mirip orang Belanda, Kawilarang kerap disangka musuh oleh para prajurit yang tak mengenalnya.


Tapi, ketika berpakaian preman, sosoknya yang gagah itu terlihat seperti seorang saudagar. Benarlah pernah kejadian. Suatu kali, di tepi jalan raya Cimahi, seorang perwira berpangkat letnan dua menyetop mobil yang melintas. Niatnya hendak menebeng.


“Mau ke mana nih?” tanya si letnan.


“Ke Jakarta,” jawab sopir.


“Boleh ikut?” pinta letnan, “Enggak sampai Jakarta, cuma sampai Karawang. Bisa kan?!”


Si sopir setengah ragu. Namun, setelah bertanya dengan tuannya yang duduk di jok belakang, si letnan tadi dipersilakan masuk mobil. Jadilah si letnan dengan sang tuan duduk bersama sederet di jok belakang.


Mobil melaju dengan cepatnya. Dari jalan raya Cimahi tak terasa sudah di Purwakarta. Sepanjang perjalanan, si letnan menampilkan laku sok asyik. Mungkin dia senang bisa sampai Karawang lebih cepat dan gratis pula. Atau dengan pangkat letnannya merasa dapat akrab dengan siapa saja.


Di mobil, si letnan tak sungkan menumpangkan kaki di atas kakinya yang lain. Dia ambil sebungkus rokok merek Commodore dari saku bajunya. Setelah menyalakan korek, diisapnya rokok sebatang. Sebatang yang lain dia tawarkan kepada sang tuan.


“Rokok, Bah,” ujarnya kepada tuan pemberi tumpangan yang dipanggilnya “Babah”. Babah adalah panggilan laki-laki untuk Tionghoa peranakan. Si letnan rupanya menyangka tuan tersebut seorang saudagar. Dia makin gembira lantaran “Babah” juga mau mengisap rokoknya.


Si letnan mulai membual. Macam-macam obrolan mencerocos dari mulutnya. Namun, si tuan bersedia menanggapi dengan ramah.      


“Wah, jadi tentara berat. Kerja berat. Tanggung jawab berat. Hidup berat. Enak jadi saudagar,” oceh si letnan.


“Tapi, kerja saudagar pun berat,” sahut si tuan.


“Biar kerjanya berat,” timpal letnan, “Untungnya pun berat.”


Si tuan kemudian balik menawarkan rokoknya. Bukan rokok bungkusan seperti punya si letnan. Melainkan rokok kalengan.


“Nah, Babah sih rokoknya kalengan. Harga mahal, tidak jadi soal,” celetuk si letnan sambil mengambil sebatang. Lambat laun sebatang demi sebatang. 


Sumringahlah hati si letnan. Ditariknya dalam-dalam isapan sigaret yang harum lagi mahal itu. Tanpa sadar, dia duduk seenaknya bersandar pada kasuran jok yang empuk. Asap sigaret yang mengepul di atas pakaiannya tidak dipedulikan. Asbak mobil pun penuh dengan abu sigaret si letnan.


Hati si letnan mulai tak enak setelah memperhatikan gerak-gerik si sopir. Kenapa sopir ini sigap benar. Bicaranya sigap. Kalau sang tuan perintahkan apa-apa, sopirnya selalu menjawab dengan sigap dan siap. Pikiran si letnan mengarah ke mana-mana.


Sikap duduknya berubah. Jaga-jaga kalau mobil yang ditumpanginya ternyata milik bukan sembarang orang. Dari posisi duduk di tengah, mulai meminggir, hingga ke sudut betul. Kakinya yang bertumpang kaki diturunkan. Sigaret mahal yang harum itu mulai terasa tak sedap lagi. Lama-lama si letnan gelisah.


Di tempat duduk, di dekatnya ada bungkusan koran. “Babah” tadi bilang isi bungkusan koran itu hanya pakaian saja. Bukan barang dagangan. Namun, ketika hembusan angin dari jendela mobil bertiup, bungkusan koran tadi terbuka. Mata si letnan terbelalak. Pakaian yang terbungkus koran itu warnanya khaki, yang lazimnya warna seragam perwira.


Sesaat kemudian, angin kembali bertiup. Bungkusan koran terangkat lagi. Jantung si letnan mau copot. Mukanya kecut. Terlihat olehnya kemeja khaki dengan 3 bintang emas di bahu kanan dan kiri. 


Mobil belum sampai Karawang, si letnan buru-buru minta turun di Purwakarta. Dia permisi ingin melanjutkan perjalanan dengan kereta api saja. Rupanya si letnan baru sadar, orang yang dia sangka “Babah” tadi bukanlah saudagar, melainkan Kolonel Kawilarang, panglima Divisi Siliwangi.


Kisah letnan dan Panglima Kawilarang itu terkenal di kalangan opsir-opsir Siliwangi saat itu. Ini memang cerita yang sungguh-sungguh terjadi. Siapa saja yang pernah berhadapan dengan Kawilarang dapat mengerti bagaimana si letnan muda itu bisa keliru terhadap panglimanya.


“Karena ia terpedaya oleh wajah dan bentuk badan panglima yang mengingatkan kita kepada saudagar kaya yang berasal dari lembah Sungai Hoang-Ho, atau paling tidak pedagang kaya dari Kota Osaka,” demikian dikisahkan dalam Majalah Minggu Pagi, No. 53, 28 Maret 1954.*

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Sebagai anak “broken home”, Soeharto pontang-panting cari pekerjaan hingga masuk KNIL. Copot seragam ketika Jepang datang dan pulang kampung dari uang hasil main kartu.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Melatih Andjing NICA

Melatih Andjing NICA

Martin Goede melatih para mantan interniran Belanda di kamp. Pasukannya berkembang jadi andalan Belanda dalam melawan pejuang Indonesia.
Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Sjoerd Albert Lapré, "anak Jakarte" yang jadi komandan kompi di Batalyon Andjing NICA. Pasukannya terdepan dalam melawan kombatan Indonesia.
bottom of page