top of page

Sejarah Indonesia

Pasukan Jelata Ki Ageng Suryomentaram

Pasukan Jelata Ki Ageng Suryomentaram

Selain dikenal dengan ajaran ilmu bahagia, Ki Ageng Suryomentaram juga terlibat perang gerilya melawan agresi Belanda.

30 Oktober 2022

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Potret Ki Ageng Suryomentaram tak lama setelah menanggalkan gelar pangeran dan berpenampilan seperti rakyat jelata. (Repro Falsafah Ilmu Bahagia).

MESKI dikenal sebagai seorang spiritualis yang mengajarkan ilmu bahagia yang bersifat personal, Ki Ageng Suryomentaram tak lepas dari kehidupan politik di Hindia Belanda. Sejak 1930, ketika ajarannya mulai ramai dibicarakan, ia telah dicurigai oleh polisi rahasia Belanda, Politieke Inlichtingen Dienst (PID).


“Betapa tidak akan curiga? Seorang pangeran yang turun. Yang pada dasarnya menaruh benci terhadap penjajahan. Bertempat tinggal di sebuah desa terpencil. Menyiarkan ajarah yang militan. Dikerumuni oleh ribuan murid, jauh dan dekat!” tulis majalah Minggu Pagi, 11 Februari 1951.


Belanda curiga bahwa kelak Ki Ageng Suryomentaram menyiarkan ajaran “ratu adil”. Satu istilah yang dikhawatirkan Belanda muncul kembali seperti pada masa Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.


Ki Ageng Suryomentaram baru benar-benar terlibat politik pada masa pendudukan Jepang, ketika ia mengeluarkan wejangan “Jimat Perang”. Satu ajaran mengenai berani mati turut dalam perang bersama Jepang.



Ki Ageng Suryomentaram dengan “Jimat Perang”-nya, disebut anaknya Grangsang Suryomentaram, berjasa dalam pembentukan tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Namun, klaim ini masih simpang siur karena ada klaim lain dari Gatot Mangkupraja sebagai penggagas PETA.


Marcel Bonneff dalam “Ki Ageng Suryomentaram, Javanese Prince and Philosopher (1892-1962)” yang termuat dalam Archipel No. 57, April 1995, menyebut versi Grangsang masih bisa diperdebatkan, namun peran Ki Ageng Suryomentaram dalam perjuangan kemerdekaan tampak jelas.


“Mengenai hal ini tidak diragukan lagi, kesiapannya untuk mengangkat senjata selama periode 1947–1949 sebagai pimpinan Pasukan Rakyat Jelata untuk menghadapi tentara Belanda di dekat Yogya sudah dikenal luas,” tulis Bonneff.


Pasca kemerdekaan, Ki Ageng Suryomentaram memang terlibat dalam gerakan melawan agresi Belanda. Ia memimpin pasukan gerilya yang dinamakan Pasukan Rakyat Jelata versi Bonneffatau Pasukan Jelata versi Grangsang. Nama pasukan ini tampaknya cocok dengan persona Ki Ageng Suryomentaram yang jelata.



Dalam “Riwayat Hidup Ki Ageng Suryomentaram” yang termuat dalam Falsafah Hidup Bahagia,Grangsang menyebut pasukan ini bermarkas di Wonosegoro, wilayah yang rawan pertempuran antara Republik dan Belanda di Kabupaten Boyolali.


Namun, tak banyak catatan mengenai sepak terjang Pasukan Jelata. Setelah ibukota Yogyakarta diduduki pasukan Belanda, Ki Ageng Suryomentaram dan keluarganya mengungsi ke daerah Gunung Kidul.


“Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tantara gerilya, dan masih memimpin pasukannya yang bermarkas di Wonosegoro,” tulis Grangsang.


Pada masa ini, setiap malam Jumat, Ki Ageng Suryomentaram mengunjungi pemakaman raja-raja Jawa di Imogiri. Ia duduk di bangsal Suwargan dikelilingi oleh tentara-tentara gerilya dan masyarakat sipil. Mereka mendengarkan wejangannya mengenai kondisi bangsa Indonesia.



“Ki Ageng mengatakan bahwa kelemahan bangsa Indonesia disebabkan karena gampang dipecah belah, gampang diadu domba, dan suka mengejar semat, drajat, kramat (harta, tahta, kehormatan) sehingga gampang untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, asal bisa mendapatkan semat, drajat, kramat,” tulis Grangsang.


Selain pernah memimpin Pasukan Jelata, Ki Ageng Suryomentaram juga mengeluarkan ceramah-ceramah seperti “Pembangunan Djiwa Warga Negeri”, “Djiwa Persatuan”, “Djiwa Buruh”, “Tata Negara”, “Raos Pantjasila”, hingga “Pandangan Keadaan Dunia”.


Pada 1957, Bung Karno mengundang Ki Ageng Suryomentam ke Istana Merdeka untuk dimintai pandangan mengenai berbagai permasalahan negara. Seperti biasa, Ki Ageng Suryomentam datang hanya memakai celana hitam, kaos, dan batik parang rusak barong yang dikalungkan di leher. Ia tetap menjadi jelata meski bertemu dengan seorang presiden.


Kisah selengkapnya Ki Ageng Suryomentaram baca di Historia Premium: Pangeran Yang Bahagia.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page